Kisah serupa terulang kembali sekarang, saat aku berumur 21 dan David 23 tahun. Setelah bertahun-tahun meninggalkan aku ke Batam tanpa kabar, akhirnya 3 tahun yang lalu, David kembali dan merajut kisah baru denganku. Pertemuan kami semakin intens, aku semakin mengenal David luar dan dalam. Tetapi hari kemarin, segala hal yang ku tahu tentang David seperti terputar balik. Mengapa ia tidak mempercayaiku? Mengapa ia menyimpan semua ini sendirian? Mengapa ia baru jujur padaku kemarin? Aku benci harus mengingat kejadian kemarin di taman bunga.
"Darla... aku mendapat program beasiswa dan akan pergi ke Prancis..."
"APA? Prancis?? Kamu studi banding ke sana??"
"Ehm... semacam itu..."
"Astaga! Hebat!! Jangan lupa oleh-olehnya saat kembali nanti yaa." aku girang sekali mendengar berita ini, kapan lagi David bisa jalan-jalan ke Prancis? Negara yang sangat ia impi-impikan.
"Kamu gak apa-apa aku tinggal Darla?" David bertanya, menurutku itu pertanyaan yang sangat konyol.
"Hahahaha... tidak apa-apa lah, masa aku gak seneng melihat kamu pergi jalan-jalan ke Prancis? Itu impianmu kan? Kapan lagi kamu bisa ke Prancis gratis selama beberapa bulan, iya kan?" senyumku semakin girang, antusias mendengar berita keberhasilan David.
"Ehm.... maaf Darla, tapi... aku akan pergi ke Prancis dalam waktu dekat."
"Eh... apa?"
"Aku akan segera pergi."
"Oh... tidak apa-apa, kamu kan masih harus persiapan ini dan itu, masih sebulan lagi kan?"
David menundukan wajahnya, bermuram durja.
"Hei... Kamu kenapa? Kok gak semangat sih? Ini Prancis lho."
"Sebenarnya, aku sudah dapat kabar ini beberapa bulan lalu dan.... 2 hari lagi Darla."
Aku hanya terdiam; marah, kesal, aku tidak tahu harus menungkapkan apa.
"Mengapa kamu gak ngomong sama aku dari awal??!"
"Aku takut kamu sedih dan gak izinin aku."
"Apa??! Itu alasan kamu Dave? Kamu tahu gak? Kamu itu bodoh banget! Aku benci kamu!"
Aku berjalan menjauhi Dave, tetapi Dave berhasil menarik tanganku dan mendekapku erat dalam pelukannya.
"Maafin aku Darla, aku tahu aku egois banget, tetapi ini untuk masa depan kita juga Darla, makanya aku menerima beasiswa itu."
Aku meronta dalam dekapannya, ku dorong dirinya.
"Kita katamu??! Persetan dengan masa depan kita! Kamu hanya memikirkan masa depanmu saja, sekarang terserah kamu, aku gak peduli!"
"Tapi Darla, aku akan segera kembali...."
"Tujuh tahun menunggu sudah cukup bagiku! Aku lelah harus menunggu dan berharap selama bertahun-tahun!"
"Darla... Darla..."
Aku beranjak dari tempat tidurku menuju jendela. Hujan masih turun, masih deras, tetapi dia masih setia menunggu di sana. David, sehabatku yang malang dan kekasihku yang bodoh. Tetapi aku benci sekali jika harus mengingat hal itu lagi. Tetapi... Aku tidak kuasa menghukum dia seperti itu. Tampak ia kedingingan di bawah sana. David duduk meringkuk di bawah siraman hujan, wajahnya tetap mengadah pada jendela kamarku. Di balik jendela, di balik siraman hujan aku bisa melihat segaris senyuman tertarik pada bibir Dave, senyuman hangat yang mencairkan segalanya. Senyuman itu seolah berkata, "tenang Darla... aku akan terus menunggumu di sini."
Aku tak kuasa membendung air mataku. Semuanya tumpah, aku tidak tahan lagi melihat ia kedinginan di bawah sana. Aku segera keluar dari kamarku, menuruni tangga dan mengambil payung pink-ku dari dalam guci. Dengan dua putaran aku berhasil membuka kunci pintu rumahku. Perlahan aku berjalan menuju teras dan membuka payungku. Aku sampai lupa memakai sendal, tetapi aku tidak peduli. Ada nyawa yang harus terselamatkan dari pada kakiku. Ku buka gerbang dan... ku temukan dia.
Masih duduk meringkuk di bawah hujan. Hatiku semakin sakit melihat wajahnya yang basah, tubuhnya yang menggigil kedinginan, di balik senyumannya yang hangat, aku tahu giginya sedang bergemeletuk dahsyat.
"Darla" ucapnya sambil mulai berdiri.
"Jangan berdiri! Tetaplah di sana!" Aku tidak tahan jika dia harus mendekati diriku.
Perlahan aku berjalan melangkah mendekati dirinya yang masih duduk manis, patuh dibawah perintahku. Teman macam apa aku ini dan orang macam apa kamu ini Dave yang mau saja patuh pada perintahku?? Mengapa kau tidak melawan?!
Aku merasa berada di dalam ruang sesak saat berdiri tepat di samping Dave. Ku lindungi dia di bawah payungku. Senyum Dave mulai merekah kembali
"Terimakasih Princess, ehm... kok kamu gak pake alas kaki? Nanti kamu sakit lho."
Hatiku kembali bergetar. Dave, kali ini aku benar-benar membencimu!
Ku lempar payungku ke belakang, ku jatuhkan diriku duduk berlutut di samping Dave. Kuberanikan diriku, kusentuh wajahnya dengan sebelah tanganku, kulitnya dingin sekali. Mata kami saling bertemu, tangisku pun semakin menjadi-jadi. Di balik kacamatanya yang basah aku masih bisa melihat matanya berbinar bahagia dan tanpa merespon lama, ia memelukku dengan erat.
"Sssshhh... udah-udah jangan nangis lagi, aku di sini Darla, aku janji gak akan ninggalin kamu lagi," bisik Dave sambil membelai lembut rambutku.
"Enggak... Jangan Dave, kamu harus mengejar impianmu."
"No Darla... No... Aku tidak akan pergi meninggalkan orang yang aku cintai lagi."
Isak tangisku mereda. Apa katanya tadi? Cinta? Dave menatap mataku lekat dengan matanya. Cukup lama, perlahan namun pasti, wajahnya semakin mendekati wajaku, dengan lembut, ia mengecup bibirku.
Astaga... Aku pasti bermimpi!
Tubuhku membatu, mataku semakin tidak bisa terlepas menatap matanya.
This is our first kiss.
"Darla ma cherrie... Aku tidak jadi mengambil beasiswa 4 tahun itu, tetapi akan membawamu pergi ke Prancis..." segaris senyum terurai dari bibirnya yang lembut.
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment