Aku tidak percaya... Itu... Tidak logis!
“Ssst... Udah jangan diomongin lagi! Nanti ketahuan lho!”, bisik Lila pada Sela dan Toni sambil buru-buru beranjak dari meja Grace.
“Eh dia dateng, dia dateng”, teriak Darla dari depan pintu kelas.
Mereka berempat berkumpul di meja pojok belakang kelas, berbisik-bisik sambil mengamati sosok nona cantik, ya itu Grace yang mulai memasuki kelas. Saat Grace menoleh pada mereka, mereka berpura-pura memalingkan pandangan mereka dari Grace. Grace merasa ada sesuatu yang sangat aneh pagi ini, walaupun hampir setiap hari ia mengalami kejadian yang aneh, tetapi... Ya sudahlah pikir Grace, tidak ada gunanya juga memikirkan hal-hal aneh.
Kriiiing.... Bel sekolah berdering.
Semua murid XI-IPB mulai memasuki ruang kelas. Ruang kelas menjadi semakin ramai dengan obrolan, gelak tawa dan teriakan 20 murid kelas bahasa yang terkenal bawel dan usil. Dalam sekejab suara gaduh itu menjadi hening. Ibu Saly, guru muda sastra Indonesia yang terkenal killer mulai memasuki ruangan.
“Selamat pagi anak-anak”
“Selamat pagi bu!”
“Anak-anak, pagi ini kita kedatangan teman baru.”
“YES! Asik! Gak ada ujian puisi!!”, teriak Toni penuh kegirangan disambut tepuk tangan riuh teman-teman IPB.
“DIAM! Ujian memang ditiadakan pagi ini, tetapi akan diganti besok pagi.”
“Yah.....”, keluh 20 murid secara bersamaan.
Tok.. tok.. tok.. Seseorang mengetok pintu.
“Itu pasti dia, anak-anak tunggu sebentar”, ibu Saly mulai membuka pintu dan tersenyum pada seseorang.
“Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kita Fransisco”.
Sesosok pemuda dengan wajah yang sangat rupawan, berkulit coklat, berpostur tubuh tinggi, tegap dan.... wow! Memukau! Terdengar bisik-bisik diantara 14 gadis-gadis yang sepertinya terkagum-kagum, sedangkan keenam pemuda hanya berdeham dan menggelengkan kepala; sepertinya akan ada yang menyaingi mereka sebentar lagi.
“Ayo Fransisco, perkenalkan dirimu”, pinta ibu Saly sambil tersenyum-senyum, hmmm... sepertinya ibu Saly juga ikut terpukau ketampanan Fransisco.
“Ehm..”, dehaman suaranya berat tetapi lembut, membuat hati gadis-gadis yang mendengarnya melonjak.
“Nama saya Fransisco Danielle, tetapi saya lebih suka dipanggil Danielle atau Danil. Saya pindah dari SMA Santo Yakobus kelas XI-IPB juga”. Danielle menutup presentasinya dengan senyum memukau.
“Anak-anak ada yang mau bertanya?” tampak tangan-tangan terangkat ke atas, siap melontarkan pertanyaan.
“Oke karena Lila yang mengangkat tangan terlebih dahulu, silahkan ajukan pertanyaanmu.”
“Ehm... Danil, udah punya pacar belum?”
“Wooo nyari kesempatan wooo!”, pertanyaan Lila disambut dengan sorakan teman-teman sekelas.
“Pertanyaan kamu tidak penting Lila, tapi... kamu emang masih single gak Dan?”, tanya ibu Saly dengan senyum genit. Tetapi kali ini tidak ada yang berani menyoraki pertanyaan ibu Saly, yang terdengar hanya bisik-bisik dan tawa kecil.
“Belum”, jawab Danielle singkat, mulai terdengar bisik-bisik “yes!”, “asik!”.
“Pertanyaan selanjutnya kamu yang pilih.”
Danielle terdiam sejenak memandangi tangan-tangan yang terangkat, tetapi pandangannya tertuju pada satu orang yang dudu ditengah kelas yang hanya melipat manis tangannya.
“Ehm, lo gak mau nanya apa-apa?” tanya Danielle pada Grace. Mata Grace terbelalak kaget sementara dari setiap sudut ruangan terdengar suara anak-anak terkesiap kaget dan beberapa desisan sinis.
“Eng... Enggak kok”, jawab Grace, wajahnya memerah karena ia merasakan setiap mata tertuju padanya.
“Kalau gitu, gue yang tanya ya. Siapa nama lo?” tanya Danielle sambil datang menghampiri Grace dan menyodorkan tangannya.
“Oh... ehm... nama gue Gracia Danielle, biasa dipanggil Grace. Salam kenal.”
“Salam kenal juga Grace. Ternyata nama belakang kita sama ya?”, senyuman lebar merekah di bibir Danielle, membuatnya terlihat semakin manis.
“ Ehm, kalau boleh tau hobi lo apa ya?” tanya Grace.
“Lho? Katanya tadi gak mau nanya, kok sekarang nanya?”, pipi Grace memerah kembali saat Danielle bertanya balik.
“Hahaha, sorry sorry Grace, gue bercanda, hobi gue main musik, kalau lo?”
“Ehm. Danielle, ini adalah sesi tanya jawab kelas bukan pribadi”, ibu Saly menyangga pertanyaan Danielle.
“Oh iya. Maaf bu, saya kebablasan”, jawab Danielle.
“Tidak apa-apa. Ayo maju ke depan kelas lagi.”
“Ehm... Grace kita lanjutin pas istirahat nanti ya”, bisik Danielle pada Grace. Gadis-gadis di kelas itu semakin memandang iri ke arah Grace.
“Oke anak-anak, ada yang mau bertanya lagi?”. Tetapi kali ini tidak ada satu tangan pun yang terangkat.
“Sepertinya sudah tidak ada yang mau bertanya lagi. Ya sudah, kalian bisa lanjutkan pertanyaan kalian sambil jalan. Danielle, silahkan pilih tempat dudukmu”, ibu Saly mempersilahkan Danielle duduk. Daniell memilih duduk di meja kosong urutan ke dua dari depan, tepat di depan Grace.
“Oke anak-anak 3 jam ke depan kita akan memperdalam materi puisi baru Indonesia. Oh sebelumnya, Danil, materi kamu sudah sampai mana?”
“Sama ibu, terakhir kelas saya membahas soal puisi mbeling karya Remy Sylado.”
“Bagus sekali! Karena hari ini kita akan membahas bentuk puisi mbeling juga. Oke, anak-anak kumpulkan PR contoh puisi mbeling yang saya minta kemarin.”
Semua anak mulai maju ke depan mengumpulkan puisi. Tiba-tiba
“AAAAAAAA!”, Grace berteriak keras.
“Ada apa Grace??”, tanya bu Saly kaget.
Wajah Grace sangat ketakutan, ia hanya terisak-isak, matanya berlinang air mata. Danielle mendatangi Grace dan mengambil tas yang Grace pangku. Danielle menemukan ada 2 ekor tikus buduk besar di dalam tas Grace.
“EH! Siapa yang masukin tikus ke tas Grace?!”, tanya Danielle dengan nada kesal.
“Ada apa Danielle?”, tanya bu Saly.
“Ada orang yang masukin tikus ke dalam tas Grace bu”
“Selalu saja kalian mem-bully Grace! Ada apa ini? Sekarang yang merasa memasukan tikus ke dalam tas Grace maju ke depan kelas!”
Ketegangan meliputi kelas selama beberapa menit, murid-murid duduk terdiam dan kaku.
“CEPAT! Atau kalian semua, kecuali Grace dan Danielle akan saya skors!”
Bisik-bisik kembali memenuhi kelas. Lila, Sela dan Toni tampak gelisah, perlahan tapi pasti mereka berdiri dari tempat duduk mereka.
“Kami yang bersalah bu”, ucap Lila mewakili teman-temannya.
***
Kriiing.....
Tiga jam berlajar sastra Indonesia pun berlalu, bel istirahat berbunyi, semua murid XI IPB berjalan keluar kelas, kecuali Lila, Sela dan Toni. Dari jendela luar kelas tampak mereka sedang duduk di pojok kelas menyalin catatan dari beberapa buku paket ke dalam sebuah buku catatan, sepertinya bu Saly menghukum mereka untuk membuat rangkuman materi dari awal hingga akhir semester, ckckck.
Sementara, di taman sekolah duduk Grace yang sedang membaca novel sambil mengunyah beberapa potong kentang goreng. Danielle yang melihat Grace sedang menyendiri langsung menghampirinya lalu duduk di sebelah kanan Grace.
“Ehm. Hai. Sendirian aja?”
Grace hanya terpaku menatap Danielle yang duduk begitu dekat dengannya.
“Kok bengong sih? Kenapa? Takut sama gue? Hahaha”
“Hahaha, enggak lah, ia gue sendirian aja.”
Danielle tersenyum melihat Grace tertawa lepas, sepertinya ada hal berbeda yang mengagumkan dari gadis ini?
“Emm, Grace, kenapa sih lo keliatan kaku banget di dalam kelas?”
“Hah? Kaku? Maksud lo?”
“Ya begitu, yang gue amati seharian ini, lo selalu diem, saat temen-temen lagi asik ngobrol lo cuma baca-baca buku atau nyalin catetan atau pas yang lain udah mulai ngantuk lo masih aja fokus dengerin bu Saly berkotbah, heran gue sama lo”
“Ehm... Danil, jadi dari tadi lo meratiin gue doang nih di kelas?”, tanya Grace polos.
Suasana canggung terbentang di antara mereka, Danielle mulai salah tingkah dan Grace tiba-tiba mengunyah kentang gorengnya lebih cepat, “bodoh!” ucap Grace dalam hati pada dirinya.
“Ehm maksud gue...”, Danielle dan Grace mengucapkan frasa yang sama bersamaan. Danielle tersenyum menatap Grace, sementara Grace merasakan wajahnya memerah mulai tersenyum juga.
“Hahahahaha...”, tawa terlepas dari senyum mereka berdua.
“Ah, apaan sih lo Dan?!”
“Lho? Apanya yang apaan??”
“Ngapain sih senyum-senyum kayak tadi?”
“Lo malu ya gue liatin? Atau lo suka gue senyumin? Atau mungkin lo malu-malu tapi suka sama gue? Hahahahaha”, ucap Danielle sambil tersenyum lebar menatap Grace.
“Idih! Pede banget sih? Baru aja kenal masa udah suka? Gak mungkinlah Nil”.
“Ehm, lo pernah denger yang namanya cinta pandangan pertama gak?”
“Sering banget, apalagi di novel-novel atau cerpen remaja, tapi gue gak percaya tuh”.
“Yap, lo gak percaya karena belum pernah merasakan, iya kan?”
“Errr... Iya sih, tapi gak logis aja, masa baru kenal udah jatuh cinta?”
“Hahaha... Grace... Grace... Makanya jangan sering melogika segala hal, ada beberapa hal yang cuma butuh perasaan kok Grace, contohnya..... cinta”.
“Ehm, cinta itu kan cuma hormon, gak lebih dari itu, buat apa terus-terusan dirasain kalau ujung-ujungnya selalu nyakitin”.
“Itu kan kata teori, kata novel-novel dan cerpen remaja yang lo baca Grace”.
Grace hanya terdiam, berpikir, berusaha mendebat pernyataan Danielle, tetapi sial, pernyataan Danielle mutlak benar.
“Atau lo pernah patah hati ya Grace?”
Mata Grace terbelalak lebar, ia menatap heran pada Danielle.
“Eng... Iya...”
“Oh, pantesan. Tapi baguslah”. Ucap Danielle enteng.
“Apa? Bagus? Gara-gara kejadian itu gue gak bisa fokus belajar selama sebulan, nilai gue jatuh, prestasi gue berantakan, itu gara-gara dia!”
“Tenang Grace, tenang. Kalo boleh tahu gimana ceritanya?”
“Kejadiaanya udah 3 bulan yang lalu, dia ninggalin gue pergi gitu aja, dia lanjutin sekolah ke luar negeri, tapi dia gak bilang apa-apa sama gue, dia cuma ninggalin surat mohon maaf doang. Gak ada perpisahan, gak ada pertemuan terakhir. Bahkan dia udah punya cewe di sana”, tutur Grace penuh rasa kesal.
“Lo masih sayang sama dia?”
“Enggak. Udah gak ada rasa apa-apa lagi.”
“Lo masih benci sama dia?”
Grace terdiam sesaat.
“Enggak. Lagi pula gak ada untungnya dendam sama dia.”
“Ehm.. Grace, gue rasa lo harus maafin dia.”
“Maksud lo?”
“Mungkin lo udah gak mau ambil pusing soal masalah lo sama dia. Tapi dari lubuk hati lo yang paling dalam belum ada pengampunan buat dia. Coba liat diri lo tadi di kelas, lo bener-bener orang yang membosankan, pendiem, kaku, geek lah padahal penampilan luar lo jauh dari kata membosankan. Lo masih terbawa suasana hati lo yang jengkel dan benci sama cowo lo sampai-sampai lo gak bisa tampil jadi diri lo sendiri kayak sekarang; yang cerewet, bawel, lucu, riang. Ehm... gimana Grace?”
“Tapi kan....”
“Demi kebaikan lo Grace”
Grace hanya terdiam. Ia menundukan wajah memandangi sampul novel yang ia baca. Beberapa saat keheningan mengisi waktu. Danielle terus menunggu reaksi Grace.
Kemudian Grace mengangkat wajahnya, menatap Danielle dan tersenyum.
“Yah, memang seharusnya gue maafin dia”.
“Lantas? Tindakan nyata lo?”
“Hari ini gue mau hubungin dia. Gue berharap aja, semoga nomor yang dia kasih masih sama, atau mungkin lewat chat juga bisa”
“Bagus Grace!”, Danielle tersenyum kembali menatap Grace.
“Ehm by the way Grace, waktu itu gimana sih proses lo bisa jadian sama dia?”
“Oh iya gue belum cerita, nama dia Mike. Prosesnya? Bisa dibilang kami jatuh cinta pada pandangan pertama”, mata Grace menerawang jauh.
“Terus?”
“Yah gitu, setelah PDKT beberapa minggu kita jadian. Ehm baru jadian 2 bulan udah ditinggal pergi gue. Hmm”
“Gak apa-apa Grace, jangan patah harapan, asal lo juga ubah pembawaan diri lo, jangan tampil kayak geek. Gak heran temen-temen jadi suka isengin lo.”
“Iya sih, gue udah capek juga diisengin terus”.
“Tenang, jangan takut ada yang isengin lo. Ada gue di sini”, ucap Danielle sambil menepuk dada.
“Iya yah ada body guard gratisan, hahaha. Bercanda Dan. Eh, thanks banget loh udah mau jadi temen sharing dan ngasih gue pemecahan masalah. Lega rasanya setelah 3 bulan mendem sendiri hari ini ada lo yang mau jadi temen sharing gue”, Grace tersenyum lebar menatap Danielle.
Danielle merangkul pundak Grace sambil berkata, “itulah gunanya teman, Grace”.
“Iya Dan, teman”, Grace merangkul pundak Danielle juga.
“Ehm... Grace..”
“Ya Dan?”
“Apa lo udah percaya dengan cinta pandangan pertama?” Danielle menatap dalam ke mata Grace sambil tersenyum.
Grace membalas tatapan Danielle dan tersenyum.
“Seperti yang dikatakan novel-novel dan cerpen remaja”. Jawab Grace sambil tersenyum lebar pada Danielle.
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment