Desir angin, membisik mesra di telingaku. Daun-daun kering berdansa dalam pusaran angin, membumbung tinggi ke angkasa, seperti balerina, melenggok anggun di atas panggung teater, dedaunan dan kelopak bunga berterbangan. Dedaunan pohon menguning, melepaskan diri dari ranting, jatuh sehelai demi sehelai. Aspal dipenuhi dedaunan emas. Indahnya pemandangan di dunia emas ini.
Di sini aku. Duduk termenung di depan pintu hatiku, sedang menikmati drama musim gugur ini. Tak lama kemudian, kau kembali berhembus lembut, mengecup pipiku, membelai tengkukku, memeluk tubuhku erat. Ku gapai dirimu, kupeluk erat, berharap kau tidak akan pernah berlalu dari sisiku barang semenit saja.
"Angin, maukah kau terus berhembus bagiku? Tubuhku panas, aku butuh kesejukan dirimu di sini."
"Aku mau, aku ingin sekali mendesir, membelai wajahmu, bergelung dalam pelukanmu, tetapi... aku tidak tega, Dandelionku."
Aku tak perlu membantah dirinya, cukup mendengar namaku disebutnya saja, aku sudah mengerti.
"Dandelionku, kau begitu rapuh sayang dan diriku terlalu berbahaya untukmu, terutama untuk musim ini."
"Tapi Angin, aku tidak mau berpisah denganmu..."
"Aku tidak akan pergi jauh, aku selalu di dekatmu. Setiap hari aku berdesir halus untuk melelapkanmu dari terjaga dan membuatmu terjaga dari terlelap. Jika kau rindu aku, dengarlah riakan daun-daun itu, itulah nyanyian yang kumainkan untukmu."
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment