Kegalauan membawaku ke dalam masa lalu yang lebih dalam. Saat itu aku masih berumur 11 tahun dan David 13 tahun. David dan keluarganya pindah ke Batam untuk memenuhi panggilan dinas ayahnya sebagai PNS. Walaupun David sudah mengabariku sejak 2 bulan sebelumnya, perasaanku (sebagai bocah kecil) masih saja direlung rasa gelisah.
Sungguh, berat sekali rasanya saat berpisah dengan David; saat acara perpisahan, hanya aku satu-satunya tamu undangan yang tidak bisa mnenikmati pesta itu, tetapi untunglah ada David yang merubah suasana hatiku saat itu.
"Darla... Kamu kok diem aja sih?"
"Aku sedih Dave."
"Loh? Sedih kenapa? Pestanya kurang seru? Atau kamu masih laper? Sini aku temenin makan deh."
Mendengar tawaran David, aku mengangguk dan tersenyum, walaupun perutku tidak lapar sama sekali.
Yah... Aku hanya bocah ingusan yang tidak mengerti apa isi hatiku saat itu, yang aku tahu aku hanya sedih melihat pesta itu dan aku hanya ingin selalu berada di samping David. Sepanjang hari itu kami menghabiskan waktu bersama. David mengajakku ke sebuah ruangan besar, ruang pribadi miliknya. Lantai ruangan itu berupa kayu pelitur dan dinding-dindingnya dibalut wallpaper coklat muda dengan gambar not balok. Dinding ruangan ini juga di gantungi lukisan-lukisan abstrak karya ayah David. Inilah ruang musik milik David. Di tengah ruangan hangat ini berdiri sebuah Grand Piano hitam. David mempersilahkan aku duduk di sebuah sofa, sementara ia berjalan menuju Grand Pianonya dan mulai melantunkan sebuah lagu, ia bilang judulnya Je Chante Pour Passer le Temps karya Giovanni Mirabassi seorang pianis Prancis, lagu itu cukup panjang, tetapi aku menyukai lagu itu. David sangat suka hal-hal berbau Prancis, bahkan menurutku sejak kecil ada bibit pria romantis Prancis yang tertanam dalam dirinya, ku rasa itu gen dari ayahnya yang memiliki darah campuran Prancis-Jawa.
Selesai bermain Piano, David menuntunku ke taman bunga milik ibunya. Rasanya baru kali itu David mengajakku ke dalam taman bunga yang indah itu. Taman itu di penuhi bunga-bunga, ada Lili, bunga Matahari, Lavender, bunga Pukul Empat yang sedang mengerutkan kelopaknya dan beraneka Mawar merah, alba dan ada juga mawar merah muda. Mataku terpana pada setangkai mawar merah muda yang lembut dan menjanjikan itu. Aku menjulurkan tanganku perlahan ingin menyentuh kelopaknya, tetapi tangan David segera menahan tanganku dengan lembut.
"Jangan... Aku tidak ingin mengecewakan mamaku."
Aku hanya menatapnya dengan tatapan bingung.
"Mamaku berjuang cukup keras untuk menciptakan mawar ini. Mama sudah puluhan kali mencoba menggabungkan dua mawar yang berbeda tetapi gagal dan inilah satu-satunya Mawar yang berhasil mama buat. Jadi maaf ya Darla."
Akupun paham, aku tersenyum dan mengangguk padanya. Ia membalas tersenyum. Ia menyuruhku menunggu sebentar di taman sementara ia pergi ke dalam rumah. Cukup lama, sambil menunggu, aku duduk di atas batu dekat sebuah kolam ikan buatan. Aku mendengar suara derap sepatu berlari menyusuri rerumputan dan suara desah nafas yang keras. Yap itu David. Ia menyembunyikan sesuatu di belakangnya.
"Apa itu?", tanyaku polos.
"Bukan apa-apa sampai kamu mau menuruti instruksiku, kamu mau?"
Permainan apa yang akan David tunjukan kepadaku? Aku mengangguk tanda setuju.
"Oke, pejamkan matamu."
Tanpa membantah ataupun bertanya, aku langsung memejamkan mataku. Aku mendengar suara sepatu David melangkah menjauhiku, ingin ku buka mata tetapi aku tidak mau, aku tidak mau mengecewakannya. Kupejamkan mataku kuat-kuat, kubalik tubuhku membelakangi David dan pekerjaannya. Cukup lama, aku mendengar suara-suara seperti tangkai bunga yang digunting, ranting yang dipatahkan dan desir angin. Aku semakin penasaran, apa yang dikerjakan David di luar sana? Tak lama aku mendengar langkah kaki David mendekat padaku.
"Buka matamu", ucapnya lembut. Lalu aku buka mataku. Aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Di atas kedua belah tanggannya aku melihat rangkaian mahkota bunga mawah putih dengan mawar merah di tengah-tengahnya. Aku tercengang, kagum menyaksikan rangkaian bunga indah itu.
"Mahkota ini untuk yang mulia sang putri. Semoga kecantikan dan kelembutan hati sang putri terus terpancar seperti pancaran putih mahkota ini". Aku hanya tertawa. Tertawa bahagia menerima pujian itu.
"Masih ada sesuatu yang ingin aku beri untuk yang mulia."
"Apa itu?"
"Emm... sebelumnya yang mulia berbalik arah dulu ya, jangan ngintip, hehehe..."
"Hehe... Oke", seruku menikmati permainan itu seraya membalikan tubuh.
Tidak lama kemudian David menepuk bahuku dan menyuruhku berdiri. Ia menyembunyikan sesuatu lagi di belakangnya. David berlutut di hadapanku, lalu menyodorkan serangkai mawar merah untukku.
"Princess, would you be my queen?"
Aku tersenyum, tertawa melihat aksi lucu David hari itu. David yang semula wajahnya serius juga ikut tertawa.
"Hahaha... Princess, I'm waiting for your answer."
"Hihihi... Yes, I would be your queen", jawabku seraya menerima rangkaian bunga itu.
Aku suka sekali permainan ini, entahlah, ada sesuatu yang membuat aku ingin selalu berada di dekat David.
"Oh tidak David, tangan kamu!", seruku menunjuk tangan David yang berdarah tersayat-sayat duri Mawar.
"Oh ini? Gak apa-apa, udah biasa kok."
"Loh, gak bisa dibiarin begini aja Dave, ayo kita obatin dulu lukanya, oke?"
Di dalam rumah, aku mulai membersihkan lukanya dan memberinya larutan iodin.
"Bagaimana rasanya Dave?"
"Lebih baik. Terima kasih ya Princess."
Aku hanya tersenyum malu.
Kami berjalan menuju taman lagi, waktu berjalan cepat, langit siang berubah menjadi senja dengan semburat merah keemasan yang cantik. Sambil berjalan aku memerhatikan seikat bunga mawar yang Dave beri untukku. Aku menemukan setangkai mawar merah muda, aku mulai was-was mengingat ibu Dave, tetapi untunya ini bukan mawar asli, ini hanya mawar plastik. Aku penasaran apa maksud Dave menyisipkan mawar ini?
"Dave, kenapa kamu nyisipin mawar plastik merah muda di antara bunga mawar merah?"
David tersenyum, seperti merasa lucu.
"Darla. Mawar merah itu adalah janji-janji yang aku kasih buat kamu".
"Dan mawar merah muda plastik ini?"
"Itu... adalah sebuah harapan."
"Maksudmu?"
"Darla, kamu itu sahabat terbaik yang pernah aku punya, aku beruntung banget bertemu orang kayak kamu. Tetapi, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku benci mengatakan ini, tetapi... sudah saatnya kita berpisah Darla."
Aku tak sanggup menahan air mataku, hari itu pertama kali dalam hidup aku menangisi kepergian seseorang, seorang sahabat.
"Ta....tapi... aku.. Gak mau pisah.. hiks... sama kamu.."
"Tenang Darla, aku janji, cepat atau lambat aku akan kembali suatu saat nanti".
"Tapi... bagaimana kalau kamu gak kembali?"
"Selalu ada harapan Darla. Sekecil apapun itu, simpanlah baik-baik di dalam hatimu".
Aku tidak bisa menahan tangis kepedihanku. Ditinggal seorang sahabat jauh lebih menyakitkan. David memelukku, membelai lembut rambutku, membiarkan setiap tetes air mataku membasahi bajunya, merembes hingga ke dadanya. Membiarkan air mata itu mengering di sana. Ia merengkuh wajah kecilku dengan tangannya yang besar dan kasar. Jari-jarinya menghapus air mataku dengan lembut dan hati-hati agar tidak menyakiti mataku.
"Aku akan kembali, sahabat", ucapnya sambil mengecup keningku. Kecupan persahabatan.
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment