Langit senja berganti langit kelam. Aku lapar. Saat aku masih menjadi ulat, aku akan mencari beberapa helai daun muda untuk makan malamku. Di hadapanku berdiri kokoh sebuah pohon besar dengan daun-daun hijau muda yang segar, seharusnya dengan sayap ini aku bisa mencapai pucuk pohon dengan mudah, tetapi, entah mengapa sekarang aku tidak berselera mengunyah daun. Ada apa dengan lidahku? Aneh... Yang aku inginkan sekarang adalah sesuatu yang harum, manis dan..... lengket??? Entahlah benda apa itu?
Aku tetap terbang melintasi udara, dengan indra penciumanku, aku berusaha mencari sesuatu yang harum dan manis. Indra penciumanku menangkap aroma harum dan manis. Hmmmm.... Aku terbang merendah mendekati sumber aroma itu dan aku menemukan...
"Setangkai bunga?"
"Hai nona manis, ada yang bisa aku bantu?"
Bunga ini bisa berbicara? Sejak kapan aku mengerti bahasa bunga?
"Oh... Kamu pasti bingung, kenapa kamu bisa mengerti bahasa kami para bunga, iya kan?"
Aku hanya mengangguk.
"Tidak apa-apa, lama kelamaan kau juga akan mengerti."
Jawabnya sambil menebarkan senyumnya yang mempesona.
"Oh iya, kamu ada perlu apa di sini? Hmmm... Kamu lapar ya?"
Gosh... Bagaimana ia bisa tahu? Lagi-lagi aku hanya mengangguk.
"Sini, kemari dan lihat lah ke dalam."
Ia membuka lebar kelopaknya, aku melihat tangkai-tangkai yang dipenuhi sebuk-sebuk kuning dan pada dasar kelopak aku menemukan cairan yang aromanya harum dan manis, sangat menggoda seleraku.
"Kamu lihat cairan itu? Itu nektar, ambillah sebanyak yang kamu mau, kamu pasti sangat kelaparan."
"Ehm... Terima kasih bunga."
Ku tak dapat menahan hasratku untuk mencicipi nektar itu.
Ternyata.... Rasanya nikmat sekali, seperti.... madu? Aku tidak tahu, yang pasti nektar ini enak! Lengket, harum dan manis.
"Bagaimana menurutmu? Nektarku enakkan?"
"Hehe... Iya"
Jawabku sambil terus mengunyah nektar itu.
"Di antara sekian bunga, nektarku lah yang terenak, hahaha."
Aku hanya tersenyum, antara percaya dan tidak dengan ucapan bunga ini, tetapi memang nektar ini sangat spesial.
"Bagaimana? Kamu masih lapar? Ambillah yang banyak."
"Ehm... Tidak, terima kasih, aku sudah kenyang. Jika aku memakan semua nektarmu, nanti kau tidak kebagian."
"Tidak kebagian? Hahaha... Nona biru, walau pun aku yang menghasilkan nektar ini, tetapi nektar ini bukan untukku, tetapi untuk siapa pun yang membutuhkannya."
"Tetapi, kau pasti membutuhkan nektar ini juga kan? Kau juga perlu makan bunga."
"Nona, mungkin kamu belum paham, tetapi kita diciptakan untuk saling melengkapi, apa yang aku miliki itu untukmu."
Aku masih belum mengerti apa maksud bunga, tetapi aku salut dengan dirinya yang masih mau berbagi dalam kesederhanaannya.
"Maaf, nona biru, boleh ku tahu siapa namamu?"
"Oh, kenalkan, aku Butterfly. Siapa namamu?"
"Aku Dafodil, senang berkenalan denganmu nona."
"Terima kasih, maaf Dafodil, aku harus kembali ke rumah pohon, kami akan berpesta nektar."
"Wow... Berpesta? Sepertinya asik sekali rasanya... saat kau bisa bebas, terbang ke sana kemari tanpa halangan."
"Kau mau ikut? Aku bisa mengajakmu terbang bersamaku."
"Oh... Tidak terima kasih, aku masih mau menikmati kehidupanku."
"Bagaimana kamu bisa menikmati hidup tanpa berpindah sejengkal dari sini? Kamu butuh hiburan, Dafodil."
"Iya, tetapi bukan itu caranya. Kehadiran dirimu saja sudah menjadi hiburan untukku."
Senyuman menawan itu merekah lagi.
Aku masih tidak mengerti apa maksud bunga ini.
"Oh, baiklah, besok aku akan berkunjung lagi. Sampai jumpa Dafodil."
"Sampai jumpaaa... Jaga dirimu!!"
Suara itu terdengar seperti sayup-sayup, aku terus mengepakkan sayapku, terbang melintasi langit kelam.
Listen
In loneliness, I learnt how to having each other.
In my sadness, I learnt how to smiling without tears.
In silent, I learnt a lot how to loving without pain.
In my cocon, I learnt how to fly without wings.
Bergulat dalam balutan kepompong sutraku yang hangat. Sudah saatnya aku keluar, mengejar impianku; terbang. Walau pun aku belum mengerti apa itu terbang dan kata itu masih terdengar asing, entah mengapa saraf-sarafku menegang saat aku memikirkan kata itu. Jantungku berdetak keras, adrenalin mengalir deras dalam tubuhku, seolah-olah terbang adalah sesuatu yang sangat menantang, lebih menantang dari pada memanjat pucuk pohon demi mengunyah sehelai daun muda.
Aku semakin tidak sabar, ku gerakan tubuhku kesegala arah, berusaha menembus pertahanan kain putih ini. Aku yakin hidup di luar sana sebagai kupu-kupu pasti sangat indah. Aku jadi tidak sabar!! Dengan segenap kekuatanku, akhirnya aku berhasil menembus kepompong ini.
Setelah tak terhitung berhari-hari lamanya, akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi. Sekali tarikan napas udara dingin dan segar langsung memenuhi paru-paru kecilku, sekali hembusan aku merasakan tubuhku mulai memanas, energi mulai terbakar dalam diriku. Ku lihat diriku, sekarang aku bukan seekor ulat lagi, aku adalah seekor kupu-kupu. Walau pun aku belum bisa melihat seperti apa sayapku, tetapi aku sudah bisa merasakannya. Aku punya sepasang sayap yang lembut.
Dengan kakiku yang masih lunglai, aku bertengger di ranting pohon, aku menunggu diriku sepenuhnya sadar. Aku merasakan cairan dalam tubuhku mengalir memompa sayapku yang masih rapuh. Perlahan namun pasti, ku rasakan sayap-sayap ini kian mengembang. Sepasang sayap yang layu kini membentang dengan indah di punggungku.
Dari ranting ini aku menyaksikan pemandangan spektakuler langit senja yang manis, burung-burung camar berterbangan di angkasa bunga-bunga mulai menguncupkan keopaknya, hewan-hewan nokturnal berkeliaran dari sarangnya. Indah sekali. Aku melihat ke bawah, ternyata aku berada di pucuk tertinggi pohon, daratan jauh sekali dari jangkauan ku. Aku yakinkan diriku untuk siap meluncur ke depan. Ku bentangkan kedua sayapku. Jantungku berdebar keras, semakin tidak karuan; bimbang apakah aku bisa terbang dengan sayap ini atau aku akan jatuh menghantam humus? Adrenalin membasahi dinding nadi-nadiku. Ku pejamkan mata, ku coba melangkah beberapa langkah ke depan dan ku kepakan kedua sayapku.
"Wuuush....", angin berhembus mengangkatku semakin tinggi ke angkasa. Sayap-sayapku meronta, tidak bisa melawan arah angin ini.
"Wuuuuush....", angin semakin keras, aku mulai kehilangan keseimbangan, kakiku meronta-ronta di udara.
"Tolong! Tolong!!", tetapi tidak ada satu makhluk pun yang mendengar diriku.
"Wuuuuush.....", angin membalik tubuhku.
"Aku akan jatuh... aku akan jatuuh!!"
Tubuhku tertarik gravitasi, menukik ke bawah siap menghantam bumi. Bau humus semakin pekat, ku kumpulkan segenap kekuatanku ku kepakan kedua sayapku yang rapuh dan.....
Aku berhasil melayang di udara, perlahan aku terbang ke depan mengikuti arah angin berhembus, ku kepakan kembali sayapku dan diriku semakin melambung tinggi, tinggi dan tinggi.
"Wohooooo! Ini asik sekali!!"
Aku tak pernah melihat pemandangan seindah ini, rumput-rumput hijau menari, bunga-bunga memandangku takjub, aku melihat segerombol kupu-kupu kuning terbang dari arah berlawanan, senyuman merekah di wajah mereka,
"Selamat bergabung sobat!"
"Nikmati hari barumu"
"Sampai berjumpa malam nanti di pesta nektar di bawah pohon mapel"
"Terima kasih!!", seruku pada mereka. Ku kepakan kembali sayapku.
Aku terbang menuju sebuah danau, aku melihat sekumpulan angsa putih sedang berpesta ikan. Kasihan, ikan-ikan yang malang, aku terbang melintasi permukaan danau yang jernih. Kini aku melihat sosok bayangan indah yang terbang dengan gemulai,
"Hah?? Apakah itu diriku?", aku bertanya-tanya sambil terus terbang mengamati bayangan itu.
"Iya. Itu kamu cantik." Ucap seekor angsa padaku.
Aku masih tidak percaya, ternyata.... Aku seekor kupu-kupu bersayap biru yang cantik. Aku melihat gradasi warna hitam dan biru yang memukau, di tambah totolan warnah putih dan sedikit corak coklat pada tepi sayapku.
Ini... Luar biasa. Aku suka sayap-sayapku, bahkan aku mulai jatuh cinta dengan bayanganku. Aku segera terbang menjauhi danau, takut bila aku kehilangan akal sehatku.
In my sadness, I learnt how to smiling without tears.
In silent, I learnt a lot how to loving without pain.
In my cocon, I learnt how to fly without wings.
Bergulat dalam balutan kepompong sutraku yang hangat. Sudah saatnya aku keluar, mengejar impianku; terbang. Walau pun aku belum mengerti apa itu terbang dan kata itu masih terdengar asing, entah mengapa saraf-sarafku menegang saat aku memikirkan kata itu. Jantungku berdetak keras, adrenalin mengalir deras dalam tubuhku, seolah-olah terbang adalah sesuatu yang sangat menantang, lebih menantang dari pada memanjat pucuk pohon demi mengunyah sehelai daun muda.
Aku semakin tidak sabar, ku gerakan tubuhku kesegala arah, berusaha menembus pertahanan kain putih ini. Aku yakin hidup di luar sana sebagai kupu-kupu pasti sangat indah. Aku jadi tidak sabar!! Dengan segenap kekuatanku, akhirnya aku berhasil menembus kepompong ini.
Setelah tak terhitung berhari-hari lamanya, akhirnya aku bisa menghirup udara segar lagi. Sekali tarikan napas udara dingin dan segar langsung memenuhi paru-paru kecilku, sekali hembusan aku merasakan tubuhku mulai memanas, energi mulai terbakar dalam diriku. Ku lihat diriku, sekarang aku bukan seekor ulat lagi, aku adalah seekor kupu-kupu. Walau pun aku belum bisa melihat seperti apa sayapku, tetapi aku sudah bisa merasakannya. Aku punya sepasang sayap yang lembut.
Dengan kakiku yang masih lunglai, aku bertengger di ranting pohon, aku menunggu diriku sepenuhnya sadar. Aku merasakan cairan dalam tubuhku mengalir memompa sayapku yang masih rapuh. Perlahan namun pasti, ku rasakan sayap-sayap ini kian mengembang. Sepasang sayap yang layu kini membentang dengan indah di punggungku.
Dari ranting ini aku menyaksikan pemandangan spektakuler langit senja yang manis, burung-burung camar berterbangan di angkasa bunga-bunga mulai menguncupkan keopaknya, hewan-hewan nokturnal berkeliaran dari sarangnya. Indah sekali. Aku melihat ke bawah, ternyata aku berada di pucuk tertinggi pohon, daratan jauh sekali dari jangkauan ku. Aku yakinkan diriku untuk siap meluncur ke depan. Ku bentangkan kedua sayapku. Jantungku berdebar keras, semakin tidak karuan; bimbang apakah aku bisa terbang dengan sayap ini atau aku akan jatuh menghantam humus? Adrenalin membasahi dinding nadi-nadiku. Ku pejamkan mata, ku coba melangkah beberapa langkah ke depan dan ku kepakan kedua sayapku.
"Wuuush....", angin berhembus mengangkatku semakin tinggi ke angkasa. Sayap-sayapku meronta, tidak bisa melawan arah angin ini.
"Wuuuuush....", angin semakin keras, aku mulai kehilangan keseimbangan, kakiku meronta-ronta di udara.
"Tolong! Tolong!!", tetapi tidak ada satu makhluk pun yang mendengar diriku.
"Wuuuuush.....", angin membalik tubuhku.
"Aku akan jatuh... aku akan jatuuh!!"
Tubuhku tertarik gravitasi, menukik ke bawah siap menghantam bumi. Bau humus semakin pekat, ku kumpulkan segenap kekuatanku ku kepakan kedua sayapku yang rapuh dan.....
Aku berhasil melayang di udara, perlahan aku terbang ke depan mengikuti arah angin berhembus, ku kepakan kembali sayapku dan diriku semakin melambung tinggi, tinggi dan tinggi.
"Wohooooo! Ini asik sekali!!"
Aku tak pernah melihat pemandangan seindah ini, rumput-rumput hijau menari, bunga-bunga memandangku takjub, aku melihat segerombol kupu-kupu kuning terbang dari arah berlawanan, senyuman merekah di wajah mereka,
"Selamat bergabung sobat!"
"Nikmati hari barumu"
"Sampai berjumpa malam nanti di pesta nektar di bawah pohon mapel"
"Terima kasih!!", seruku pada mereka. Ku kepakan kembali sayapku.
Aku terbang menuju sebuah danau, aku melihat sekumpulan angsa putih sedang berpesta ikan. Kasihan, ikan-ikan yang malang, aku terbang melintasi permukaan danau yang jernih. Kini aku melihat sosok bayangan indah yang terbang dengan gemulai,
"Hah?? Apakah itu diriku?", aku bertanya-tanya sambil terus terbang mengamati bayangan itu.
"Iya. Itu kamu cantik." Ucap seekor angsa padaku.
Aku masih tidak percaya, ternyata.... Aku seekor kupu-kupu bersayap biru yang cantik. Aku melihat gradasi warna hitam dan biru yang memukau, di tambah totolan warnah putih dan sedikit corak coklat pada tepi sayapku.
Ini... Luar biasa. Aku suka sayap-sayapku, bahkan aku mulai jatuh cinta dengan bayanganku. Aku segera terbang menjauhi danau, takut bila aku kehilangan akal sehatku.
Aku tidak percaya... Itu... Tidak logis!
“Ssst... Udah jangan diomongin lagi! Nanti ketahuan lho!”, bisik Lila pada Sela dan Toni sambil buru-buru beranjak dari meja Grace.
“Eh dia dateng, dia dateng”, teriak Darla dari depan pintu kelas.
Mereka berempat berkumpul di meja pojok belakang kelas, berbisik-bisik sambil mengamati sosok nona cantik, ya itu Grace yang mulai memasuki kelas. Saat Grace menoleh pada mereka, mereka berpura-pura memalingkan pandangan mereka dari Grace. Grace merasa ada sesuatu yang sangat aneh pagi ini, walaupun hampir setiap hari ia mengalami kejadian yang aneh, tetapi... Ya sudahlah pikir Grace, tidak ada gunanya juga memikirkan hal-hal aneh.
Kriiiing.... Bel sekolah berdering.
Semua murid XI-IPB mulai memasuki ruang kelas. Ruang kelas menjadi semakin ramai dengan obrolan, gelak tawa dan teriakan 20 murid kelas bahasa yang terkenal bawel dan usil. Dalam sekejab suara gaduh itu menjadi hening. Ibu Saly, guru muda sastra Indonesia yang terkenal killer mulai memasuki ruangan.
“Selamat pagi anak-anak”
“Selamat pagi bu!”
“Anak-anak, pagi ini kita kedatangan teman baru.”
“YES! Asik! Gak ada ujian puisi!!”, teriak Toni penuh kegirangan disambut tepuk tangan riuh teman-teman IPB.
“DIAM! Ujian memang ditiadakan pagi ini, tetapi akan diganti besok pagi.”
“Yah.....”, keluh 20 murid secara bersamaan.
Tok.. tok.. tok.. Seseorang mengetok pintu.
“Itu pasti dia, anak-anak tunggu sebentar”, ibu Saly mulai membuka pintu dan tersenyum pada seseorang.
“Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kita Fransisco”.
Sesosok pemuda dengan wajah yang sangat rupawan, berkulit coklat, berpostur tubuh tinggi, tegap dan.... wow! Memukau! Terdengar bisik-bisik diantara 14 gadis-gadis yang sepertinya terkagum-kagum, sedangkan keenam pemuda hanya berdeham dan menggelengkan kepala; sepertinya akan ada yang menyaingi mereka sebentar lagi.
“Ayo Fransisco, perkenalkan dirimu”, pinta ibu Saly sambil tersenyum-senyum, hmmm... sepertinya ibu Saly juga ikut terpukau ketampanan Fransisco.
“Ehm..”, dehaman suaranya berat tetapi lembut, membuat hati gadis-gadis yang mendengarnya melonjak.
“Nama saya Fransisco Danielle, tetapi saya lebih suka dipanggil Danielle atau Danil. Saya pindah dari SMA Santo Yakobus kelas XI-IPB juga”. Danielle menutup presentasinya dengan senyum memukau.
“Anak-anak ada yang mau bertanya?” tampak tangan-tangan terangkat ke atas, siap melontarkan pertanyaan.
“Oke karena Lila yang mengangkat tangan terlebih dahulu, silahkan ajukan pertanyaanmu.”
“Ehm... Danil, udah punya pacar belum?”
“Wooo nyari kesempatan wooo!”, pertanyaan Lila disambut dengan sorakan teman-teman sekelas.
“Pertanyaan kamu tidak penting Lila, tapi... kamu emang masih single gak Dan?”, tanya ibu Saly dengan senyum genit. Tetapi kali ini tidak ada yang berani menyoraki pertanyaan ibu Saly, yang terdengar hanya bisik-bisik dan tawa kecil.
“Belum”, jawab Danielle singkat, mulai terdengar bisik-bisik “yes!”, “asik!”.
“Pertanyaan selanjutnya kamu yang pilih.”
Danielle terdiam sejenak memandangi tangan-tangan yang terangkat, tetapi pandangannya tertuju pada satu orang yang dudu ditengah kelas yang hanya melipat manis tangannya.
“Ehm, lo gak mau nanya apa-apa?” tanya Danielle pada Grace. Mata Grace terbelalak kaget sementara dari setiap sudut ruangan terdengar suara anak-anak terkesiap kaget dan beberapa desisan sinis.
“Eng... Enggak kok”, jawab Grace, wajahnya memerah karena ia merasakan setiap mata tertuju padanya.
“Kalau gitu, gue yang tanya ya. Siapa nama lo?” tanya Danielle sambil datang menghampiri Grace dan menyodorkan tangannya.
“Oh... ehm... nama gue Gracia Danielle, biasa dipanggil Grace. Salam kenal.”
“Salam kenal juga Grace. Ternyata nama belakang kita sama ya?”, senyuman lebar merekah di bibir Danielle, membuatnya terlihat semakin manis.
“ Ehm, kalau boleh tau hobi lo apa ya?” tanya Grace.
“Lho? Katanya tadi gak mau nanya, kok sekarang nanya?”, pipi Grace memerah kembali saat Danielle bertanya balik.
“Hahaha, sorry sorry Grace, gue bercanda, hobi gue main musik, kalau lo?”
“Ehm. Danielle, ini adalah sesi tanya jawab kelas bukan pribadi”, ibu Saly menyangga pertanyaan Danielle.
“Oh iya. Maaf bu, saya kebablasan”, jawab Danielle.
“Tidak apa-apa. Ayo maju ke depan kelas lagi.”
“Ehm... Grace kita lanjutin pas istirahat nanti ya”, bisik Danielle pada Grace. Gadis-gadis di kelas itu semakin memandang iri ke arah Grace.
“Oke anak-anak, ada yang mau bertanya lagi?”. Tetapi kali ini tidak ada satu tangan pun yang terangkat.
“Sepertinya sudah tidak ada yang mau bertanya lagi. Ya sudah, kalian bisa lanjutkan pertanyaan kalian sambil jalan. Danielle, silahkan pilih tempat dudukmu”, ibu Saly mempersilahkan Danielle duduk. Daniell memilih duduk di meja kosong urutan ke dua dari depan, tepat di depan Grace.
“Oke anak-anak 3 jam ke depan kita akan memperdalam materi puisi baru Indonesia. Oh sebelumnya, Danil, materi kamu sudah sampai mana?”
“Sama ibu, terakhir kelas saya membahas soal puisi mbeling karya Remy Sylado.”
“Bagus sekali! Karena hari ini kita akan membahas bentuk puisi mbeling juga. Oke, anak-anak kumpulkan PR contoh puisi mbeling yang saya minta kemarin.”
Semua anak mulai maju ke depan mengumpulkan puisi. Tiba-tiba
“AAAAAAAA!”, Grace berteriak keras.
“Ada apa Grace??”, tanya bu Saly kaget.
Wajah Grace sangat ketakutan, ia hanya terisak-isak, matanya berlinang air mata. Danielle mendatangi Grace dan mengambil tas yang Grace pangku. Danielle menemukan ada 2 ekor tikus buduk besar di dalam tas Grace.
“EH! Siapa yang masukin tikus ke tas Grace?!”, tanya Danielle dengan nada kesal.
“Ada apa Danielle?”, tanya bu Saly.
“Ada orang yang masukin tikus ke dalam tas Grace bu”
“Selalu saja kalian mem-bully Grace! Ada apa ini? Sekarang yang merasa memasukan tikus ke dalam tas Grace maju ke depan kelas!”
Ketegangan meliputi kelas selama beberapa menit, murid-murid duduk terdiam dan kaku.
“CEPAT! Atau kalian semua, kecuali Grace dan Danielle akan saya skors!”
Bisik-bisik kembali memenuhi kelas. Lila, Sela dan Toni tampak gelisah, perlahan tapi pasti mereka berdiri dari tempat duduk mereka.
“Kami yang bersalah bu”, ucap Lila mewakili teman-temannya.
***
Kriiing.....
Tiga jam berlajar sastra Indonesia pun berlalu, bel istirahat berbunyi, semua murid XI IPB berjalan keluar kelas, kecuali Lila, Sela dan Toni. Dari jendela luar kelas tampak mereka sedang duduk di pojok kelas menyalin catatan dari beberapa buku paket ke dalam sebuah buku catatan, sepertinya bu Saly menghukum mereka untuk membuat rangkuman materi dari awal hingga akhir semester, ckckck.
Sementara, di taman sekolah duduk Grace yang sedang membaca novel sambil mengunyah beberapa potong kentang goreng. Danielle yang melihat Grace sedang menyendiri langsung menghampirinya lalu duduk di sebelah kanan Grace.
“Ehm. Hai. Sendirian aja?”
Grace hanya terpaku menatap Danielle yang duduk begitu dekat dengannya.
“Kok bengong sih? Kenapa? Takut sama gue? Hahaha”
“Hahaha, enggak lah, ia gue sendirian aja.”
Danielle tersenyum melihat Grace tertawa lepas, sepertinya ada hal berbeda yang mengagumkan dari gadis ini?
“Emm, Grace, kenapa sih lo keliatan kaku banget di dalam kelas?”
“Hah? Kaku? Maksud lo?”
“Ya begitu, yang gue amati seharian ini, lo selalu diem, saat temen-temen lagi asik ngobrol lo cuma baca-baca buku atau nyalin catetan atau pas yang lain udah mulai ngantuk lo masih aja fokus dengerin bu Saly berkotbah, heran gue sama lo”
“Ehm... Danil, jadi dari tadi lo meratiin gue doang nih di kelas?”, tanya Grace polos.
Suasana canggung terbentang di antara mereka, Danielle mulai salah tingkah dan Grace tiba-tiba mengunyah kentang gorengnya lebih cepat, “bodoh!” ucap Grace dalam hati pada dirinya.
“Ehm maksud gue...”, Danielle dan Grace mengucapkan frasa yang sama bersamaan. Danielle tersenyum menatap Grace, sementara Grace merasakan wajahnya memerah mulai tersenyum juga.
“Hahahahaha...”, tawa terlepas dari senyum mereka berdua.
“Ah, apaan sih lo Dan?!”
“Lho? Apanya yang apaan??”
“Ngapain sih senyum-senyum kayak tadi?”
“Lo malu ya gue liatin? Atau lo suka gue senyumin? Atau mungkin lo malu-malu tapi suka sama gue? Hahahahaha”, ucap Danielle sambil tersenyum lebar menatap Grace.
“Idih! Pede banget sih? Baru aja kenal masa udah suka? Gak mungkinlah Nil”.
“Ehm, lo pernah denger yang namanya cinta pandangan pertama gak?”
“Sering banget, apalagi di novel-novel atau cerpen remaja, tapi gue gak percaya tuh”.
“Yap, lo gak percaya karena belum pernah merasakan, iya kan?”
“Errr... Iya sih, tapi gak logis aja, masa baru kenal udah jatuh cinta?”
“Hahaha... Grace... Grace... Makanya jangan sering melogika segala hal, ada beberapa hal yang cuma butuh perasaan kok Grace, contohnya..... cinta”.
“Ehm, cinta itu kan cuma hormon, gak lebih dari itu, buat apa terus-terusan dirasain kalau ujung-ujungnya selalu nyakitin”.
“Itu kan kata teori, kata novel-novel dan cerpen remaja yang lo baca Grace”.
Grace hanya terdiam, berpikir, berusaha mendebat pernyataan Danielle, tetapi sial, pernyataan Danielle mutlak benar.
“Atau lo pernah patah hati ya Grace?”
Mata Grace terbelalak lebar, ia menatap heran pada Danielle.
“Eng... Iya...”
“Oh, pantesan. Tapi baguslah”. Ucap Danielle enteng.
“Apa? Bagus? Gara-gara kejadian itu gue gak bisa fokus belajar selama sebulan, nilai gue jatuh, prestasi gue berantakan, itu gara-gara dia!”
“Tenang Grace, tenang. Kalo boleh tahu gimana ceritanya?”
“Kejadiaanya udah 3 bulan yang lalu, dia ninggalin gue pergi gitu aja, dia lanjutin sekolah ke luar negeri, tapi dia gak bilang apa-apa sama gue, dia cuma ninggalin surat mohon maaf doang. Gak ada perpisahan, gak ada pertemuan terakhir. Bahkan dia udah punya cewe di sana”, tutur Grace penuh rasa kesal.
“Lo masih sayang sama dia?”
“Enggak. Udah gak ada rasa apa-apa lagi.”
“Lo masih benci sama dia?”
Grace terdiam sesaat.
“Enggak. Lagi pula gak ada untungnya dendam sama dia.”
“Ehm.. Grace, gue rasa lo harus maafin dia.”
“Maksud lo?”
“Mungkin lo udah gak mau ambil pusing soal masalah lo sama dia. Tapi dari lubuk hati lo yang paling dalam belum ada pengampunan buat dia. Coba liat diri lo tadi di kelas, lo bener-bener orang yang membosankan, pendiem, kaku, geek lah padahal penampilan luar lo jauh dari kata membosankan. Lo masih terbawa suasana hati lo yang jengkel dan benci sama cowo lo sampai-sampai lo gak bisa tampil jadi diri lo sendiri kayak sekarang; yang cerewet, bawel, lucu, riang. Ehm... gimana Grace?”
“Tapi kan....”
“Demi kebaikan lo Grace”
Grace hanya terdiam. Ia menundukan wajah memandangi sampul novel yang ia baca. Beberapa saat keheningan mengisi waktu. Danielle terus menunggu reaksi Grace.
Kemudian Grace mengangkat wajahnya, menatap Danielle dan tersenyum.
“Yah, memang seharusnya gue maafin dia”.
“Lantas? Tindakan nyata lo?”
“Hari ini gue mau hubungin dia. Gue berharap aja, semoga nomor yang dia kasih masih sama, atau mungkin lewat chat juga bisa”
“Bagus Grace!”, Danielle tersenyum kembali menatap Grace.
“Ehm by the way Grace, waktu itu gimana sih proses lo bisa jadian sama dia?”
“Oh iya gue belum cerita, nama dia Mike. Prosesnya? Bisa dibilang kami jatuh cinta pada pandangan pertama”, mata Grace menerawang jauh.
“Terus?”
“Yah gitu, setelah PDKT beberapa minggu kita jadian. Ehm baru jadian 2 bulan udah ditinggal pergi gue. Hmm”
“Gak apa-apa Grace, jangan patah harapan, asal lo juga ubah pembawaan diri lo, jangan tampil kayak geek. Gak heran temen-temen jadi suka isengin lo.”
“Iya sih, gue udah capek juga diisengin terus”.
“Tenang, jangan takut ada yang isengin lo. Ada gue di sini”, ucap Danielle sambil menepuk dada.
“Iya yah ada body guard gratisan, hahaha. Bercanda Dan. Eh, thanks banget loh udah mau jadi temen sharing dan ngasih gue pemecahan masalah. Lega rasanya setelah 3 bulan mendem sendiri hari ini ada lo yang mau jadi temen sharing gue”, Grace tersenyum lebar menatap Danielle.
Danielle merangkul pundak Grace sambil berkata, “itulah gunanya teman, Grace”.
“Iya Dan, teman”, Grace merangkul pundak Danielle juga.
“Ehm... Grace..”
“Ya Dan?”
“Apa lo udah percaya dengan cinta pandangan pertama?” Danielle menatap dalam ke mata Grace sambil tersenyum.
Grace membalas tatapan Danielle dan tersenyum.
“Seperti yang dikatakan novel-novel dan cerpen remaja”. Jawab Grace sambil tersenyum lebar pada Danielle.
“Ssst... Udah jangan diomongin lagi! Nanti ketahuan lho!”, bisik Lila pada Sela dan Toni sambil buru-buru beranjak dari meja Grace.
“Eh dia dateng, dia dateng”, teriak Darla dari depan pintu kelas.
Mereka berempat berkumpul di meja pojok belakang kelas, berbisik-bisik sambil mengamati sosok nona cantik, ya itu Grace yang mulai memasuki kelas. Saat Grace menoleh pada mereka, mereka berpura-pura memalingkan pandangan mereka dari Grace. Grace merasa ada sesuatu yang sangat aneh pagi ini, walaupun hampir setiap hari ia mengalami kejadian yang aneh, tetapi... Ya sudahlah pikir Grace, tidak ada gunanya juga memikirkan hal-hal aneh.
Kriiiing.... Bel sekolah berdering.
Semua murid XI-IPB mulai memasuki ruang kelas. Ruang kelas menjadi semakin ramai dengan obrolan, gelak tawa dan teriakan 20 murid kelas bahasa yang terkenal bawel dan usil. Dalam sekejab suara gaduh itu menjadi hening. Ibu Saly, guru muda sastra Indonesia yang terkenal killer mulai memasuki ruangan.
“Selamat pagi anak-anak”
“Selamat pagi bu!”
“Anak-anak, pagi ini kita kedatangan teman baru.”
“YES! Asik! Gak ada ujian puisi!!”, teriak Toni penuh kegirangan disambut tepuk tangan riuh teman-teman IPB.
“DIAM! Ujian memang ditiadakan pagi ini, tetapi akan diganti besok pagi.”
“Yah.....”, keluh 20 murid secara bersamaan.
Tok.. tok.. tok.. Seseorang mengetok pintu.
“Itu pasti dia, anak-anak tunggu sebentar”, ibu Saly mulai membuka pintu dan tersenyum pada seseorang.
“Anak-anak, perkenalkan ini teman baru kita Fransisco”.
Sesosok pemuda dengan wajah yang sangat rupawan, berkulit coklat, berpostur tubuh tinggi, tegap dan.... wow! Memukau! Terdengar bisik-bisik diantara 14 gadis-gadis yang sepertinya terkagum-kagum, sedangkan keenam pemuda hanya berdeham dan menggelengkan kepala; sepertinya akan ada yang menyaingi mereka sebentar lagi.
“Ayo Fransisco, perkenalkan dirimu”, pinta ibu Saly sambil tersenyum-senyum, hmmm... sepertinya ibu Saly juga ikut terpukau ketampanan Fransisco.
“Ehm..”, dehaman suaranya berat tetapi lembut, membuat hati gadis-gadis yang mendengarnya melonjak.
“Nama saya Fransisco Danielle, tetapi saya lebih suka dipanggil Danielle atau Danil. Saya pindah dari SMA Santo Yakobus kelas XI-IPB juga”. Danielle menutup presentasinya dengan senyum memukau.
“Anak-anak ada yang mau bertanya?” tampak tangan-tangan terangkat ke atas, siap melontarkan pertanyaan.
“Oke karena Lila yang mengangkat tangan terlebih dahulu, silahkan ajukan pertanyaanmu.”
“Ehm... Danil, udah punya pacar belum?”
“Wooo nyari kesempatan wooo!”, pertanyaan Lila disambut dengan sorakan teman-teman sekelas.
“Pertanyaan kamu tidak penting Lila, tapi... kamu emang masih single gak Dan?”, tanya ibu Saly dengan senyum genit. Tetapi kali ini tidak ada yang berani menyoraki pertanyaan ibu Saly, yang terdengar hanya bisik-bisik dan tawa kecil.
“Belum”, jawab Danielle singkat, mulai terdengar bisik-bisik “yes!”, “asik!”.
“Pertanyaan selanjutnya kamu yang pilih.”
Danielle terdiam sejenak memandangi tangan-tangan yang terangkat, tetapi pandangannya tertuju pada satu orang yang dudu ditengah kelas yang hanya melipat manis tangannya.
“Ehm, lo gak mau nanya apa-apa?” tanya Danielle pada Grace. Mata Grace terbelalak kaget sementara dari setiap sudut ruangan terdengar suara anak-anak terkesiap kaget dan beberapa desisan sinis.
“Eng... Enggak kok”, jawab Grace, wajahnya memerah karena ia merasakan setiap mata tertuju padanya.
“Kalau gitu, gue yang tanya ya. Siapa nama lo?” tanya Danielle sambil datang menghampiri Grace dan menyodorkan tangannya.
“Oh... ehm... nama gue Gracia Danielle, biasa dipanggil Grace. Salam kenal.”
“Salam kenal juga Grace. Ternyata nama belakang kita sama ya?”, senyuman lebar merekah di bibir Danielle, membuatnya terlihat semakin manis.
“ Ehm, kalau boleh tau hobi lo apa ya?” tanya Grace.
“Lho? Katanya tadi gak mau nanya, kok sekarang nanya?”, pipi Grace memerah kembali saat Danielle bertanya balik.
“Hahaha, sorry sorry Grace, gue bercanda, hobi gue main musik, kalau lo?”
“Ehm. Danielle, ini adalah sesi tanya jawab kelas bukan pribadi”, ibu Saly menyangga pertanyaan Danielle.
“Oh iya. Maaf bu, saya kebablasan”, jawab Danielle.
“Tidak apa-apa. Ayo maju ke depan kelas lagi.”
“Ehm... Grace kita lanjutin pas istirahat nanti ya”, bisik Danielle pada Grace. Gadis-gadis di kelas itu semakin memandang iri ke arah Grace.
“Oke anak-anak, ada yang mau bertanya lagi?”. Tetapi kali ini tidak ada satu tangan pun yang terangkat.
“Sepertinya sudah tidak ada yang mau bertanya lagi. Ya sudah, kalian bisa lanjutkan pertanyaan kalian sambil jalan. Danielle, silahkan pilih tempat dudukmu”, ibu Saly mempersilahkan Danielle duduk. Daniell memilih duduk di meja kosong urutan ke dua dari depan, tepat di depan Grace.
“Oke anak-anak 3 jam ke depan kita akan memperdalam materi puisi baru Indonesia. Oh sebelumnya, Danil, materi kamu sudah sampai mana?”
“Sama ibu, terakhir kelas saya membahas soal puisi mbeling karya Remy Sylado.”
“Bagus sekali! Karena hari ini kita akan membahas bentuk puisi mbeling juga. Oke, anak-anak kumpulkan PR contoh puisi mbeling yang saya minta kemarin.”
Semua anak mulai maju ke depan mengumpulkan puisi. Tiba-tiba
“AAAAAAAA!”, Grace berteriak keras.
“Ada apa Grace??”, tanya bu Saly kaget.
Wajah Grace sangat ketakutan, ia hanya terisak-isak, matanya berlinang air mata. Danielle mendatangi Grace dan mengambil tas yang Grace pangku. Danielle menemukan ada 2 ekor tikus buduk besar di dalam tas Grace.
“EH! Siapa yang masukin tikus ke tas Grace?!”, tanya Danielle dengan nada kesal.
“Ada apa Danielle?”, tanya bu Saly.
“Ada orang yang masukin tikus ke dalam tas Grace bu”
“Selalu saja kalian mem-bully Grace! Ada apa ini? Sekarang yang merasa memasukan tikus ke dalam tas Grace maju ke depan kelas!”
Ketegangan meliputi kelas selama beberapa menit, murid-murid duduk terdiam dan kaku.
“CEPAT! Atau kalian semua, kecuali Grace dan Danielle akan saya skors!”
Bisik-bisik kembali memenuhi kelas. Lila, Sela dan Toni tampak gelisah, perlahan tapi pasti mereka berdiri dari tempat duduk mereka.
“Kami yang bersalah bu”, ucap Lila mewakili teman-temannya.
***
Kriiing.....
Tiga jam berlajar sastra Indonesia pun berlalu, bel istirahat berbunyi, semua murid XI IPB berjalan keluar kelas, kecuali Lila, Sela dan Toni. Dari jendela luar kelas tampak mereka sedang duduk di pojok kelas menyalin catatan dari beberapa buku paket ke dalam sebuah buku catatan, sepertinya bu Saly menghukum mereka untuk membuat rangkuman materi dari awal hingga akhir semester, ckckck.
Sementara, di taman sekolah duduk Grace yang sedang membaca novel sambil mengunyah beberapa potong kentang goreng. Danielle yang melihat Grace sedang menyendiri langsung menghampirinya lalu duduk di sebelah kanan Grace.
“Ehm. Hai. Sendirian aja?”
Grace hanya terpaku menatap Danielle yang duduk begitu dekat dengannya.
“Kok bengong sih? Kenapa? Takut sama gue? Hahaha”
“Hahaha, enggak lah, ia gue sendirian aja.”
Danielle tersenyum melihat Grace tertawa lepas, sepertinya ada hal berbeda yang mengagumkan dari gadis ini?
“Emm, Grace, kenapa sih lo keliatan kaku banget di dalam kelas?”
“Hah? Kaku? Maksud lo?”
“Ya begitu, yang gue amati seharian ini, lo selalu diem, saat temen-temen lagi asik ngobrol lo cuma baca-baca buku atau nyalin catetan atau pas yang lain udah mulai ngantuk lo masih aja fokus dengerin bu Saly berkotbah, heran gue sama lo”
“Ehm... Danil, jadi dari tadi lo meratiin gue doang nih di kelas?”, tanya Grace polos.
Suasana canggung terbentang di antara mereka, Danielle mulai salah tingkah dan Grace tiba-tiba mengunyah kentang gorengnya lebih cepat, “bodoh!” ucap Grace dalam hati pada dirinya.
“Ehm maksud gue...”, Danielle dan Grace mengucapkan frasa yang sama bersamaan. Danielle tersenyum menatap Grace, sementara Grace merasakan wajahnya memerah mulai tersenyum juga.
“Hahahahaha...”, tawa terlepas dari senyum mereka berdua.
“Ah, apaan sih lo Dan?!”
“Lho? Apanya yang apaan??”
“Ngapain sih senyum-senyum kayak tadi?”
“Lo malu ya gue liatin? Atau lo suka gue senyumin? Atau mungkin lo malu-malu tapi suka sama gue? Hahahahaha”, ucap Danielle sambil tersenyum lebar menatap Grace.
“Idih! Pede banget sih? Baru aja kenal masa udah suka? Gak mungkinlah Nil”.
“Ehm, lo pernah denger yang namanya cinta pandangan pertama gak?”
“Sering banget, apalagi di novel-novel atau cerpen remaja, tapi gue gak percaya tuh”.
“Yap, lo gak percaya karena belum pernah merasakan, iya kan?”
“Errr... Iya sih, tapi gak logis aja, masa baru kenal udah jatuh cinta?”
“Hahaha... Grace... Grace... Makanya jangan sering melogika segala hal, ada beberapa hal yang cuma butuh perasaan kok Grace, contohnya..... cinta”.
“Ehm, cinta itu kan cuma hormon, gak lebih dari itu, buat apa terus-terusan dirasain kalau ujung-ujungnya selalu nyakitin”.
“Itu kan kata teori, kata novel-novel dan cerpen remaja yang lo baca Grace”.
Grace hanya terdiam, berpikir, berusaha mendebat pernyataan Danielle, tetapi sial, pernyataan Danielle mutlak benar.
“Atau lo pernah patah hati ya Grace?”
Mata Grace terbelalak lebar, ia menatap heran pada Danielle.
“Eng... Iya...”
“Oh, pantesan. Tapi baguslah”. Ucap Danielle enteng.
“Apa? Bagus? Gara-gara kejadian itu gue gak bisa fokus belajar selama sebulan, nilai gue jatuh, prestasi gue berantakan, itu gara-gara dia!”
“Tenang Grace, tenang. Kalo boleh tahu gimana ceritanya?”
“Kejadiaanya udah 3 bulan yang lalu, dia ninggalin gue pergi gitu aja, dia lanjutin sekolah ke luar negeri, tapi dia gak bilang apa-apa sama gue, dia cuma ninggalin surat mohon maaf doang. Gak ada perpisahan, gak ada pertemuan terakhir. Bahkan dia udah punya cewe di sana”, tutur Grace penuh rasa kesal.
“Lo masih sayang sama dia?”
“Enggak. Udah gak ada rasa apa-apa lagi.”
“Lo masih benci sama dia?”
Grace terdiam sesaat.
“Enggak. Lagi pula gak ada untungnya dendam sama dia.”
“Ehm.. Grace, gue rasa lo harus maafin dia.”
“Maksud lo?”
“Mungkin lo udah gak mau ambil pusing soal masalah lo sama dia. Tapi dari lubuk hati lo yang paling dalam belum ada pengampunan buat dia. Coba liat diri lo tadi di kelas, lo bener-bener orang yang membosankan, pendiem, kaku, geek lah padahal penampilan luar lo jauh dari kata membosankan. Lo masih terbawa suasana hati lo yang jengkel dan benci sama cowo lo sampai-sampai lo gak bisa tampil jadi diri lo sendiri kayak sekarang; yang cerewet, bawel, lucu, riang. Ehm... gimana Grace?”
“Tapi kan....”
“Demi kebaikan lo Grace”
Grace hanya terdiam. Ia menundukan wajah memandangi sampul novel yang ia baca. Beberapa saat keheningan mengisi waktu. Danielle terus menunggu reaksi Grace.
Kemudian Grace mengangkat wajahnya, menatap Danielle dan tersenyum.
“Yah, memang seharusnya gue maafin dia”.
“Lantas? Tindakan nyata lo?”
“Hari ini gue mau hubungin dia. Gue berharap aja, semoga nomor yang dia kasih masih sama, atau mungkin lewat chat juga bisa”
“Bagus Grace!”, Danielle tersenyum kembali menatap Grace.
“Ehm by the way Grace, waktu itu gimana sih proses lo bisa jadian sama dia?”
“Oh iya gue belum cerita, nama dia Mike. Prosesnya? Bisa dibilang kami jatuh cinta pada pandangan pertama”, mata Grace menerawang jauh.
“Terus?”
“Yah gitu, setelah PDKT beberapa minggu kita jadian. Ehm baru jadian 2 bulan udah ditinggal pergi gue. Hmm”
“Gak apa-apa Grace, jangan patah harapan, asal lo juga ubah pembawaan diri lo, jangan tampil kayak geek. Gak heran temen-temen jadi suka isengin lo.”
“Iya sih, gue udah capek juga diisengin terus”.
“Tenang, jangan takut ada yang isengin lo. Ada gue di sini”, ucap Danielle sambil menepuk dada.
“Iya yah ada body guard gratisan, hahaha. Bercanda Dan. Eh, thanks banget loh udah mau jadi temen sharing dan ngasih gue pemecahan masalah. Lega rasanya setelah 3 bulan mendem sendiri hari ini ada lo yang mau jadi temen sharing gue”, Grace tersenyum lebar menatap Danielle.
Danielle merangkul pundak Grace sambil berkata, “itulah gunanya teman, Grace”.
“Iya Dan, teman”, Grace merangkul pundak Danielle juga.
“Ehm... Grace..”
“Ya Dan?”
“Apa lo udah percaya dengan cinta pandangan pertama?” Danielle menatap dalam ke mata Grace sambil tersenyum.
Grace membalas tatapan Danielle dan tersenyum.
“Seperti yang dikatakan novel-novel dan cerpen remaja”. Jawab Grace sambil tersenyum lebar pada Danielle.
Ini adalah kisah dari sebuah keluarga kecil 100 tahun yang lalu. Keluarga itu terdiri dari bapak Jhon dan ibu Ema. Meski keluarga mereka kecil, mereka adalah salah satu dari orang-orang kaya di desa Iris dan mereka terkenal sebagai orang yang dermawan dan rendah hati, mereka tidak sungkan menolong warga di desa Iris setiap kali mereka membutuhkan bantuan. Bapak Jhon adalah pengusaha hebat yang berlayar keliling dunia dan ibu Ema adalah ibu rumah tangga yang bekerja seharian mengurus rumah dengan bantuan para pelayannya. Mereka adalah pasangan paling serasi yang dikagumi oleh teman-teman mereka.
Tetapi sayang, walaupun kekayaan mereka melimpah, orang-orang desa mengagumi mereka dan mereka punya banyak teman, mereka merasa kesepian. Mengapa? Karena mereka belum memiliki seorang anak. Hal yang paling diimpikan oleh bapak Jhon dan ibu Ema. Setiap malam mereka berdoa pada Tuhan, meminta kehadiran seorang anak.
Tuhan memang baik, setelah 5 tahun penantian, ibu Ema pun mengandung seorang anak. Sungguh keluarga kecil itu merasa sangat bahagia. Setiap malam ibu Ema membacakan dongeng bagi si calon bayi di dalam perutnya, setiap pagi pun ibu Ema menyanyikan lagu-lagu indah untuk menghibur anak dalam perutnya.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan..... hingga sembilan bulan menunggu, akhirnya tepat pada malam Natal, ibu Ema melahirkan bayi perempuan yang ia namakan Aurel. Sungguh, Aurel adalah kado Natal istimewa bagi bapak Jhon dan ibu Ema.
Tujuh tahun kemudian, Aurel tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik, pintar dan riang. Tetapi.... Aurel sedih, ia malu. Karena sampai saat ini belum ada sehelai rambut yang tumbuh di kepalanya. Aurel tidak berani keluar rumah bertemu dengan anak-anak seumurannya, karena setiap kali ia bertemu dengan teman-temannya, mereka malah mengejek Aurel.
“Hahaha, Aurel botak!”
“Aurel jelek!”
“Aku gak mau main sama orang botak kayak kamu, hahaha”
Aurel pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya, ia hanya bisa menangis dan bermain sendirian di rumahnya. Aurel kesepian tanpa teman, ayahnya bekerja dan ibunya sekarang juga sudah bekerja di toko kue, tidak ada yang menemani Aurel, hanya ia dan dirinya.
Suatu malam sebelum tidur mama berpesan pada Aurel, “ Aurel sayang, apa pun yang kamu inginkan, minta sama Tuhan dalam doa. Jangan pernah lelah atau malas berdoa demi impian kamu. Tetapi kamu juga harus berusaha ya, karena doa tanpa perbuatan
tidak akan menghasilkan apa-apa”.
“Apakah itu benar ma?”, tanya Aurel.
“Iya, kamu tahu sayang? Kamu adalah doa terbesar mama yang telah dikabulkan”, jawab mama tersenyum, lalu mencium kening Aurel dan meninggalkan Aurel.
“Selamat tidur sayang, jangan lupa berdoa”
“Iya mama”
Aurel berlutut di depan kasur, melipat tangan, menutup mata dan mulai berdoa.
“Tuhan, selamat malam. Malam ini Aurel ingin tidur, berkati agar Aurel bisa tidur dengan nyenyak. Ehm. Oh ya. Tuhan, Aurel ingin sekali punya rambut, gak apa-apa deh kalau rambutnya gak seindah rambut teman-teman Aurel, asal Aurel sudah punya saja, Aurel sudah senang kok, terimakasih ya Tuhan, amin”. Setelah berdoa, Aurel naik ke tempat tidurnya dan tertidur lelap.
Malam itu Aurel bermimpi bertemu dengan malaikat. Malaikat itu sangat cantik, kulitnya putih, bersinar, matanya hijau, rambutnya coklat, lurus, indah dan sangat panjang melebihi punggungnya. Aurel takjub melihat malaikat yang begitu cantik itu.
“Hai Aurel, aku malaikat Glory dan aku tahu apa impianmu, sayang”, ucap malaikat Glory sambil tersenyum.
“Hah? Benarkah? Kau ingin memberiku rambut?”, Aurel bertanya-tanya penuh semangat.
“Ya, benar sekali sayang. Kau lihat rambutku ini? Bagaimana menurutmu?”
“Wah, rambutmu sangat indah Glory, tetapi mana mungkin aku bisa punya rambut seindah itu”, Aurel mengusap-usap kepala botaknya sambil cemberut kecewa.
“Tidak juga sayang. Lihat ini”, di tangan malaikat Glory terdapat sebilah belatih perak, lalu ia memotong rambut panjangnya hingga sependek bahunya.
“Astaga, apa yang kau lakukan Glory?”
Malaikat Glory hanya tersenyum, ia mengusap kepala Aurel dengan rambut panjangnya dan dalam sekejap, rambut itu menempel di kepala Aurel.
“Ini tidak mungkin! Aku punya rambut panjang, indah, ini tidak mungkin Glory”, Aurel mengusap kepalanya yang sekarang telah ditumbuhi rambut indah malaikat Glory.
“Tidak ada yang tidak mungkin sayang”, malaikat Glory tersenyum.
“Terimakasih malaikat Glory, terimakasih atas rambut indah ini. Tetapi apa kau tidak apa-apa?”
“Hahaha, sayang, rambutku masih bisa tumbuh. Oh ya, aku ingin berpesan, jaga rambutmu baik-baik, rawatlah agar tetap indah dan gunakan rambutmu untuk kemuliaan Tuhan. Dan ingat, jangan sombong ya”, lagi-lagi Glory tersenyum.
“Oke malaikat Glory, aku janji”, jawab Aurel penuh semangat.
“Oh ya, sekarang bangunlah dari tidurmu dan bermainlah bersama teman-temanmu”.
Dalam sekejap, Aurel terbangun dari mimpi indahnya.
“Ah, mimpiku indah sekali. Yah, sayang itu hanya mimpi. Jadi tidak mungkin itu terjadi padaku”, Aurel beranjak dari tempat tidurnya dan bercermin.
“ASTAGA! Mimpiku jadi kenyataan! Asik aku punya rambut! MAMA!!! PAPA!!! KEMARI”
Papa dan mama berlari menuju kamar Aurel dan menemukan Aurel dengan rambut barunya sedang tersenyum bahagia. Mereka pun ikut bahagia dan langsung memeluk Aurel.
“Pa, ma, lihat! Doa ku semalam telah dikabulkan”
“Iya sayang, ternyata kamu menuruti nasehat mama. Sekarang kamu percaya dengan kuasa doa kan?, tanya mama pada Aurel.
“Wah, anak papa cantik sekali dengan rambut barunya. Sekarang mandi dan pergilah bermain bersama teman-temanmu sayang”.
“Iya papa”. Aurel langsung bergegas mandi, berpakaian dan menyisir rambutnya agar tetap rapih.
Pada pagi hari, Aurel mendatangi teman-temannya di taman. Aurel yang biasanya dihina, tiba-tba menjadi primadona di mata teman-temannya.
“Wah Aurel cantik sekali”
‘Aku tidak berani mengejek Aurel lagi ah”
“Ayo Aurel, ayo kita bermain bersama”
“Wah, terimakasih ya teman-teman, kalian sudah mau bermain denganku”, jawab Aurel dan ikut bermain bersama.
Aurel begitu bahagia, baru kali ini ia bisa merasakan bermain kejar-kejaran di taman yang indah, yang dipenuhi bunga-bunga dan dedaunan hijau, Aurel juga menikmati permainan ayunan yang menghempas rambut indahnya ke udara.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan hingga enam bulan berlalu, rambut indah Aurel terus menjadi topik pembicaraan teman-temannya sepanjang hari. Hal ini membuat Aurel merasa sangat bangga terhadap dirinya yang berambut panjang. Tetapi sayang, kebanggaan Aurel berubah menjadi kesombongan, ia menjadi gadis kecil yang angkuh, yang suka memilih-milih teman, yang suka mengejek dan merendahkan teman-temannya yang tidak cantik di matanya.
Pada suatu sore, Aurel sedang bermain di taman bersama teman-temannya, mereka anak pengusaha kaya seperti Aurel. Tiba-tiba Clara datang.
“Hai Aurel, Cindy, Saly, aku ikut bermain bersama kalian ya”, Clara ingin sekali bergabung dengan mereka.
“Apa? Hahaha, kau yakin ingin bermain bersama kami?”, tanya Cindy dengan nada mengejek.
“Ih, pergi sana, kau kan hanya anak tukang kayu yang miskin, pakaianmu saja jelek, aku tidak mau bermain denganmu”, ucap Aurel dengan penuh kesinisan.
“Aurel, kenapa kamu jadi sombong? Dulu kamu masih mau bermain bersama aku?”
“Itu dulu, sekarang lain. Sudah sana, jangan ganggu kami”, ucap Cindy.
“Huss, pergi sana!”, Aurel mulai mengusir Clara.
“Kamu jahat Aurel!”, Clara pergi sambil menangis.
Datang Ricky, sahabat karib Aurel yang mengajak Aurel bermain. “Hai Aurel, ayo kita bermain bersama, bagaimana kalau kita memancing ikan di danau. Nanti aku akan memasak ikan yang lezat untukmu”, Ricky mengajak Aurel dengan penuh semangat.
“Gak mau! Kamu pergi sana! Kamu cuma anak yatim miskin, aku tidak mau makan ikan kotor itu lagi!”, ucap Aurel.
“Kenapa kamu jadi sombong begini sih? Dulu kita sahabat dekat Aurel, sama kamu lupa?”
“Pokoknya aku gak mau main sama orang miskin dan jelek seperti kamu, pergi sana!”, Aurel mulai mengusir Ricky.
Ricky pun pergi, begitu juga dengan teman-teman Aurel yang lainnya, merka tidak suka dengan sifat Aurel yang angkuh dan suka menghina itu. Walaupun mama dan papa sudah mengingatkan, Aurel masih saja tidak mau mendengarkan. Hingga lama- kelamaan Aurel tidak punya teman lagi, ia sendirian lagi, ia sedih dan bingung bagaimana ia harus mendapatkan teman-temannya.
Pada suatu sore, Aurel sedang duduk di ayunan sendirian, menikmati hembusan angin yang mengibarkar rambutnya
“Mengapa mereka membenciku?”, Aurel bertanya-tanya.
Tiba-tiba muncul sosok cahaya putih di depan Aurel.
“Hai Aurel, masih ingat aku?”, ternyata itu malaikat Glory.
“Malaikat Glory? IYA! Tentu aku masih mengingatmu. Eh, ada apa dengan rambutmu? Kemana rambut indahmu? Emm... maksudku mengapa rambutmu....”
“Iya Aurel, rambutku mulai menipis, rambutku rontok Aurel”, jawab malaikat Glory dengan wajah sedih.
“Lho? Bagaimana bisa? Bukannya rambutmu bisa tumbuh memanjang lagi?”
“Iya, tetapi karena rambutmu itu, rambutku jadi seperti ini”, jawab malaikat Glory lirih.
“Lho? Bagaimana bisa? Lagi pula aku merawat rambut ini kok, aku mencucinya, menyisirnya, merapikannya. Lihat saja, rambutku masih indah sampai sekarang”, jawab Aurel polos.
“Iya, rambutmu memang terlihat indah, tetapi tidak seindah akibat dari rambutmu itu. Aurel sayang, mengapa kamu ingkar janji? Mengapa kamu menjadi anak yang sombong, Aurel?”
Aurel terdiam. Ia melihat rambutnya yang indah, lalu ia teringat perbuatan yang ia lakukan pada teman-temannya. Aurel mulai menyesal atas perbuatannya,
“Lalu, aku harus bagaimana sekarang?”
“Minta maaflah pada teman-temanmu”, jawab malaikat Glory sambil tersenyum.
“Tetapi, mereka sudah membenciku, apa mereka mau memaafkan aku?”
“Jangan pikirkan itu dahulu, meminta maaflah terlebih dahulu”, jawab malaikat Glory dan tiba-tiba ia menghilang.
“Malaikat Glory? Kau sudah pergi?”, Aurel bertanya-tanya. Sekarang hati Aurel di landa rasa bersalah, tanpa berpikir panjang Aurel berjalan menuju rumah teman-temannya untuk meminta maaf.
Pertama Aurel mendatangi rumah Charlie, ia anak seorang tukang roti, tetapi Charlie tidak mau bertemu dengannya. Kemudian ia berjalan ke rumah Emy, tetapi Emy sedang tidak ada di rumah. Lalu Aurel menemukan teman-temannya yang lain, mereka sedang berkumpul di taman, sedang bermain, Aurel pun mendatangi mereka,
“Ehm. Teman-teman, aku datang kemari. Aku... Aku mau meminta maaf, aku menyesal sudah bertindak sombong dengan kalian”, ucap Aurel tertunduk malu. Teman-teman Aurel tidak mau memaafkan Aurel, mereka meninggalkan Aurel, kecuali satu orang, ia adalah Clara.
“Iya Aurel, aku memaafkanmu. Aku kira kau memang sangat sombong, ternyata tidak juga”, ucap Clara sambil tersenyum pada Aurel.
“Benarkah? Terimakasih Clara”, kemudian Aurel memeluk Clara penuh dengan rasa bahagia.
Perjalanan Aurel berlanjut menuju rumah di tepi danau. Iya, itu rumah Ricky. Aurel mengendap-endap mendekati pondok kumuh itu. Aurel mengintip dari lubang dinding kayu, ia melihat Ricky sedang duduk di samping ibunya yang sedang terkapar di ranjang. Ternyata itu Ricky sedang sakit parah.
“Uhuk... Uhuk.. Uhuk.... Sudah Ricky, waktu ibu tinggal sedikit, biar saja.”
“ Tidak ibu, Ricky akan bantu cari uang untuk ibu, ibu tenang saja, ibu pasti bisa bertahan.”
“Tidak usah nak, ibu masih bisa bekerja. OHOK... OHOK...”, batuk keras itu menyebabkan darah terhambur dari mulut itu Ricky.
“Astaga darah lagi! Ibu istirahat saja di sini. Sekarang Ricky akan bekerja mencari kayu di hutan”. Ricky membersihkan darah yang terhambur dari mulut ibunya, mencium kening ibunya lalu berjalan menuju pintu keluar. Saat itu juga Aurel langsung mendatangi Ricky.
“Ricky!”, seru Aurel.
“Ricky hanya menoleh sebentar sambil tersenyum kecut, lalu pergi”
“Ricky tunggu sebentar. Aku ke sini untuk meminta maaf. Aku jahat, aku sombong, maafin aku Ricky”, Aurel mulai memohon-mohon pada Ricky.
Senyum kecut Ricky berganti dengan senyum manis, Ricky mengusap kepala Aurel dan berkata,
“Iya, aku maafin. Tapi aku harus pergi sekarang, aku mau cari uang untuk ibuku, ia sedang sakit”
“Aku ikut kamu Ricky!”
“Jangan, bahaya lho gadis kecil kayak kamu masuk hutan mencari kayu bakar. Kamu pulang saja sana”, ucap Ricky sampil meninggalkan Aurel menuju hutan.
Aurel yang tidak bisa berbuat apa-apa kembali pulang, sambil terus memikirkan bagaimana cara memperoleh uang sendiri untuk membantu Ricky. Dalam perjalanan, tiba-tiba ia bertemu seorang wanita gelandangan, wanita itu menatap takjub pada Aurel,
“Amboi! Apakah kau seorang malaikat? Wajahmu cantik dan rambutmu indah”, ucap wanita itu sambil membelai rambut Aurel.
“Maaf, tapi jangan sentuh aku”, ucap Aurel sopan.
“Oh, maafkan wanita tua ini. Ohoho, tetapi aku belum pernah melihat rambut seindah ini? Sekali lagi aku bertanya, apakah kau malaikat?”
Lalu Aurel menjawab, “bukan, aku bukan malaikat, aku manusia biasa. Tetapi rambutku ini memang pemberian malaikat, Glory namanya”
“Ah, Glory, sukacita. Yah, memang seharusnya kamu menjadi pembawa sukacita itu nak”, wanita tua itu mulai berseru.
“Haruskah begitu, bu?”
Wanita tua itu menghiraukan pertanyaan Aurel, ia terus berbicara sendiri, “amboi, rambutmu itu pasti mahal sekali harganya, jika aku punya rambut seperti itu, pasti sudah ku jadikan rumah, ohoho. Tapi ya sudahlah, pulanglah nak, hari sudah hampir malam, tak usah kau dengarkan ocehan wanita tua ini”. Wanita tua itu pergi meninggalkan Aurel.
Aurel terus berjalan hingga sampai rumah. Sepanjang jalan Aurel masih memikirkan kembali percakapannya dengan wanita tua itu. Ia terus merenung hingga ia tertidur lelap malam itu.
Tetapi sayang, walaupun kekayaan mereka melimpah, orang-orang desa mengagumi mereka dan mereka punya banyak teman, mereka merasa kesepian. Mengapa? Karena mereka belum memiliki seorang anak. Hal yang paling diimpikan oleh bapak Jhon dan ibu Ema. Setiap malam mereka berdoa pada Tuhan, meminta kehadiran seorang anak.
Tuhan memang baik, setelah 5 tahun penantian, ibu Ema pun mengandung seorang anak. Sungguh keluarga kecil itu merasa sangat bahagia. Setiap malam ibu Ema membacakan dongeng bagi si calon bayi di dalam perutnya, setiap pagi pun ibu Ema menyanyikan lagu-lagu indah untuk menghibur anak dalam perutnya.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan..... hingga sembilan bulan menunggu, akhirnya tepat pada malam Natal, ibu Ema melahirkan bayi perempuan yang ia namakan Aurel. Sungguh, Aurel adalah kado Natal istimewa bagi bapak Jhon dan ibu Ema.
Tujuh tahun kemudian, Aurel tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik, pintar dan riang. Tetapi.... Aurel sedih, ia malu. Karena sampai saat ini belum ada sehelai rambut yang tumbuh di kepalanya. Aurel tidak berani keluar rumah bertemu dengan anak-anak seumurannya, karena setiap kali ia bertemu dengan teman-temannya, mereka malah mengejek Aurel.
“Hahaha, Aurel botak!”
“Aurel jelek!”
“Aku gak mau main sama orang botak kayak kamu, hahaha”
Aurel pun memutuskan untuk kembali ke rumahnya, ia hanya bisa menangis dan bermain sendirian di rumahnya. Aurel kesepian tanpa teman, ayahnya bekerja dan ibunya sekarang juga sudah bekerja di toko kue, tidak ada yang menemani Aurel, hanya ia dan dirinya.
Suatu malam sebelum tidur mama berpesan pada Aurel, “ Aurel sayang, apa pun yang kamu inginkan, minta sama Tuhan dalam doa. Jangan pernah lelah atau malas berdoa demi impian kamu. Tetapi kamu juga harus berusaha ya, karena doa tanpa perbuatan
tidak akan menghasilkan apa-apa”.
“Apakah itu benar ma?”, tanya Aurel.
“Iya, kamu tahu sayang? Kamu adalah doa terbesar mama yang telah dikabulkan”, jawab mama tersenyum, lalu mencium kening Aurel dan meninggalkan Aurel.
“Selamat tidur sayang, jangan lupa berdoa”
“Iya mama”
Aurel berlutut di depan kasur, melipat tangan, menutup mata dan mulai berdoa.
“Tuhan, selamat malam. Malam ini Aurel ingin tidur, berkati agar Aurel bisa tidur dengan nyenyak. Ehm. Oh ya. Tuhan, Aurel ingin sekali punya rambut, gak apa-apa deh kalau rambutnya gak seindah rambut teman-teman Aurel, asal Aurel sudah punya saja, Aurel sudah senang kok, terimakasih ya Tuhan, amin”. Setelah berdoa, Aurel naik ke tempat tidurnya dan tertidur lelap.
Malam itu Aurel bermimpi bertemu dengan malaikat. Malaikat itu sangat cantik, kulitnya putih, bersinar, matanya hijau, rambutnya coklat, lurus, indah dan sangat panjang melebihi punggungnya. Aurel takjub melihat malaikat yang begitu cantik itu.
“Hai Aurel, aku malaikat Glory dan aku tahu apa impianmu, sayang”, ucap malaikat Glory sambil tersenyum.
“Hah? Benarkah? Kau ingin memberiku rambut?”, Aurel bertanya-tanya penuh semangat.
“Ya, benar sekali sayang. Kau lihat rambutku ini? Bagaimana menurutmu?”
“Wah, rambutmu sangat indah Glory, tetapi mana mungkin aku bisa punya rambut seindah itu”, Aurel mengusap-usap kepala botaknya sambil cemberut kecewa.
“Tidak juga sayang. Lihat ini”, di tangan malaikat Glory terdapat sebilah belatih perak, lalu ia memotong rambut panjangnya hingga sependek bahunya.
“Astaga, apa yang kau lakukan Glory?”
Malaikat Glory hanya tersenyum, ia mengusap kepala Aurel dengan rambut panjangnya dan dalam sekejap, rambut itu menempel di kepala Aurel.
“Ini tidak mungkin! Aku punya rambut panjang, indah, ini tidak mungkin Glory”, Aurel mengusap kepalanya yang sekarang telah ditumbuhi rambut indah malaikat Glory.
“Tidak ada yang tidak mungkin sayang”, malaikat Glory tersenyum.
“Terimakasih malaikat Glory, terimakasih atas rambut indah ini. Tetapi apa kau tidak apa-apa?”
“Hahaha, sayang, rambutku masih bisa tumbuh. Oh ya, aku ingin berpesan, jaga rambutmu baik-baik, rawatlah agar tetap indah dan gunakan rambutmu untuk kemuliaan Tuhan. Dan ingat, jangan sombong ya”, lagi-lagi Glory tersenyum.
“Oke malaikat Glory, aku janji”, jawab Aurel penuh semangat.
“Oh ya, sekarang bangunlah dari tidurmu dan bermainlah bersama teman-temanmu”.
Dalam sekejap, Aurel terbangun dari mimpi indahnya.
“Ah, mimpiku indah sekali. Yah, sayang itu hanya mimpi. Jadi tidak mungkin itu terjadi padaku”, Aurel beranjak dari tempat tidurnya dan bercermin.
“ASTAGA! Mimpiku jadi kenyataan! Asik aku punya rambut! MAMA!!! PAPA!!! KEMARI”
Papa dan mama berlari menuju kamar Aurel dan menemukan Aurel dengan rambut barunya sedang tersenyum bahagia. Mereka pun ikut bahagia dan langsung memeluk Aurel.
“Pa, ma, lihat! Doa ku semalam telah dikabulkan”
“Iya sayang, ternyata kamu menuruti nasehat mama. Sekarang kamu percaya dengan kuasa doa kan?, tanya mama pada Aurel.
“Wah, anak papa cantik sekali dengan rambut barunya. Sekarang mandi dan pergilah bermain bersama teman-temanmu sayang”.
“Iya papa”. Aurel langsung bergegas mandi, berpakaian dan menyisir rambutnya agar tetap rapih.
Pada pagi hari, Aurel mendatangi teman-temannya di taman. Aurel yang biasanya dihina, tiba-tba menjadi primadona di mata teman-temannya.
“Wah Aurel cantik sekali”
‘Aku tidak berani mengejek Aurel lagi ah”
“Ayo Aurel, ayo kita bermain bersama”
“Wah, terimakasih ya teman-teman, kalian sudah mau bermain denganku”, jawab Aurel dan ikut bermain bersama.
Aurel begitu bahagia, baru kali ini ia bisa merasakan bermain kejar-kejaran di taman yang indah, yang dipenuhi bunga-bunga dan dedaunan hijau, Aurel juga menikmati permainan ayunan yang menghempas rambut indahnya ke udara.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan hingga enam bulan berlalu, rambut indah Aurel terus menjadi topik pembicaraan teman-temannya sepanjang hari. Hal ini membuat Aurel merasa sangat bangga terhadap dirinya yang berambut panjang. Tetapi sayang, kebanggaan Aurel berubah menjadi kesombongan, ia menjadi gadis kecil yang angkuh, yang suka memilih-milih teman, yang suka mengejek dan merendahkan teman-temannya yang tidak cantik di matanya.
Pada suatu sore, Aurel sedang bermain di taman bersama teman-temannya, mereka anak pengusaha kaya seperti Aurel. Tiba-tiba Clara datang.
“Hai Aurel, Cindy, Saly, aku ikut bermain bersama kalian ya”, Clara ingin sekali bergabung dengan mereka.
“Apa? Hahaha, kau yakin ingin bermain bersama kami?”, tanya Cindy dengan nada mengejek.
“Ih, pergi sana, kau kan hanya anak tukang kayu yang miskin, pakaianmu saja jelek, aku tidak mau bermain denganmu”, ucap Aurel dengan penuh kesinisan.
“Aurel, kenapa kamu jadi sombong? Dulu kamu masih mau bermain bersama aku?”
“Itu dulu, sekarang lain. Sudah sana, jangan ganggu kami”, ucap Cindy.
“Huss, pergi sana!”, Aurel mulai mengusir Clara.
“Kamu jahat Aurel!”, Clara pergi sambil menangis.
Datang Ricky, sahabat karib Aurel yang mengajak Aurel bermain. “Hai Aurel, ayo kita bermain bersama, bagaimana kalau kita memancing ikan di danau. Nanti aku akan memasak ikan yang lezat untukmu”, Ricky mengajak Aurel dengan penuh semangat.
“Gak mau! Kamu pergi sana! Kamu cuma anak yatim miskin, aku tidak mau makan ikan kotor itu lagi!”, ucap Aurel.
“Kenapa kamu jadi sombong begini sih? Dulu kita sahabat dekat Aurel, sama kamu lupa?”
“Pokoknya aku gak mau main sama orang miskin dan jelek seperti kamu, pergi sana!”, Aurel mulai mengusir Ricky.
Ricky pun pergi, begitu juga dengan teman-teman Aurel yang lainnya, merka tidak suka dengan sifat Aurel yang angkuh dan suka menghina itu. Walaupun mama dan papa sudah mengingatkan, Aurel masih saja tidak mau mendengarkan. Hingga lama- kelamaan Aurel tidak punya teman lagi, ia sendirian lagi, ia sedih dan bingung bagaimana ia harus mendapatkan teman-temannya.
Pada suatu sore, Aurel sedang duduk di ayunan sendirian, menikmati hembusan angin yang mengibarkar rambutnya
“Mengapa mereka membenciku?”, Aurel bertanya-tanya.
Tiba-tiba muncul sosok cahaya putih di depan Aurel.
“Hai Aurel, masih ingat aku?”, ternyata itu malaikat Glory.
“Malaikat Glory? IYA! Tentu aku masih mengingatmu. Eh, ada apa dengan rambutmu? Kemana rambut indahmu? Emm... maksudku mengapa rambutmu....”
“Iya Aurel, rambutku mulai menipis, rambutku rontok Aurel”, jawab malaikat Glory dengan wajah sedih.
“Lho? Bagaimana bisa? Bukannya rambutmu bisa tumbuh memanjang lagi?”
“Iya, tetapi karena rambutmu itu, rambutku jadi seperti ini”, jawab malaikat Glory lirih.
“Lho? Bagaimana bisa? Lagi pula aku merawat rambut ini kok, aku mencucinya, menyisirnya, merapikannya. Lihat saja, rambutku masih indah sampai sekarang”, jawab Aurel polos.
“Iya, rambutmu memang terlihat indah, tetapi tidak seindah akibat dari rambutmu itu. Aurel sayang, mengapa kamu ingkar janji? Mengapa kamu menjadi anak yang sombong, Aurel?”
Aurel terdiam. Ia melihat rambutnya yang indah, lalu ia teringat perbuatan yang ia lakukan pada teman-temannya. Aurel mulai menyesal atas perbuatannya,
“Lalu, aku harus bagaimana sekarang?”
“Minta maaflah pada teman-temanmu”, jawab malaikat Glory sambil tersenyum.
“Tetapi, mereka sudah membenciku, apa mereka mau memaafkan aku?”
“Jangan pikirkan itu dahulu, meminta maaflah terlebih dahulu”, jawab malaikat Glory dan tiba-tiba ia menghilang.
“Malaikat Glory? Kau sudah pergi?”, Aurel bertanya-tanya. Sekarang hati Aurel di landa rasa bersalah, tanpa berpikir panjang Aurel berjalan menuju rumah teman-temannya untuk meminta maaf.
Pertama Aurel mendatangi rumah Charlie, ia anak seorang tukang roti, tetapi Charlie tidak mau bertemu dengannya. Kemudian ia berjalan ke rumah Emy, tetapi Emy sedang tidak ada di rumah. Lalu Aurel menemukan teman-temannya yang lain, mereka sedang berkumpul di taman, sedang bermain, Aurel pun mendatangi mereka,
“Ehm. Teman-teman, aku datang kemari. Aku... Aku mau meminta maaf, aku menyesal sudah bertindak sombong dengan kalian”, ucap Aurel tertunduk malu. Teman-teman Aurel tidak mau memaafkan Aurel, mereka meninggalkan Aurel, kecuali satu orang, ia adalah Clara.
“Iya Aurel, aku memaafkanmu. Aku kira kau memang sangat sombong, ternyata tidak juga”, ucap Clara sambil tersenyum pada Aurel.
“Benarkah? Terimakasih Clara”, kemudian Aurel memeluk Clara penuh dengan rasa bahagia.
Perjalanan Aurel berlanjut menuju rumah di tepi danau. Iya, itu rumah Ricky. Aurel mengendap-endap mendekati pondok kumuh itu. Aurel mengintip dari lubang dinding kayu, ia melihat Ricky sedang duduk di samping ibunya yang sedang terkapar di ranjang. Ternyata itu Ricky sedang sakit parah.
“Uhuk... Uhuk.. Uhuk.... Sudah Ricky, waktu ibu tinggal sedikit, biar saja.”
“ Tidak ibu, Ricky akan bantu cari uang untuk ibu, ibu tenang saja, ibu pasti bisa bertahan.”
“Tidak usah nak, ibu masih bisa bekerja. OHOK... OHOK...”, batuk keras itu menyebabkan darah terhambur dari mulut itu Ricky.
“Astaga darah lagi! Ibu istirahat saja di sini. Sekarang Ricky akan bekerja mencari kayu di hutan”. Ricky membersihkan darah yang terhambur dari mulut ibunya, mencium kening ibunya lalu berjalan menuju pintu keluar. Saat itu juga Aurel langsung mendatangi Ricky.
“Ricky!”, seru Aurel.
“Ricky hanya menoleh sebentar sambil tersenyum kecut, lalu pergi”
“Ricky tunggu sebentar. Aku ke sini untuk meminta maaf. Aku jahat, aku sombong, maafin aku Ricky”, Aurel mulai memohon-mohon pada Ricky.
Senyum kecut Ricky berganti dengan senyum manis, Ricky mengusap kepala Aurel dan berkata,
“Iya, aku maafin. Tapi aku harus pergi sekarang, aku mau cari uang untuk ibuku, ia sedang sakit”
“Aku ikut kamu Ricky!”
“Jangan, bahaya lho gadis kecil kayak kamu masuk hutan mencari kayu bakar. Kamu pulang saja sana”, ucap Ricky sampil meninggalkan Aurel menuju hutan.
Aurel yang tidak bisa berbuat apa-apa kembali pulang, sambil terus memikirkan bagaimana cara memperoleh uang sendiri untuk membantu Ricky. Dalam perjalanan, tiba-tiba ia bertemu seorang wanita gelandangan, wanita itu menatap takjub pada Aurel,
“Amboi! Apakah kau seorang malaikat? Wajahmu cantik dan rambutmu indah”, ucap wanita itu sambil membelai rambut Aurel.
“Maaf, tapi jangan sentuh aku”, ucap Aurel sopan.
“Oh, maafkan wanita tua ini. Ohoho, tetapi aku belum pernah melihat rambut seindah ini? Sekali lagi aku bertanya, apakah kau malaikat?”
Lalu Aurel menjawab, “bukan, aku bukan malaikat, aku manusia biasa. Tetapi rambutku ini memang pemberian malaikat, Glory namanya”
“Ah, Glory, sukacita. Yah, memang seharusnya kamu menjadi pembawa sukacita itu nak”, wanita tua itu mulai berseru.
“Haruskah begitu, bu?”
Wanita tua itu menghiraukan pertanyaan Aurel, ia terus berbicara sendiri, “amboi, rambutmu itu pasti mahal sekali harganya, jika aku punya rambut seperti itu, pasti sudah ku jadikan rumah, ohoho. Tapi ya sudahlah, pulanglah nak, hari sudah hampir malam, tak usah kau dengarkan ocehan wanita tua ini”. Wanita tua itu pergi meninggalkan Aurel.
Aurel terus berjalan hingga sampai rumah. Sepanjang jalan Aurel masih memikirkan kembali percakapannya dengan wanita tua itu. Ia terus merenung hingga ia tertidur lelap malam itu.
Keesokan paginya Aurel terbangun. Ia mandi, berpakaian, menyisir rambut, menyisipkan rambutnya ke dalam topi, sarapan dan bersiap-siap pergi. Kemana ia akan pergi? Hanya Aurel yang tahu, ia sudah punya rencana dan belum ada seorang pun yang tahu.
Aurel berjalan menuju jalan pertokoan menuju sebuah rumah cukur rambut Joy, bangunannya besar, milik pengusaha ternama. Sampai di rumah cukur rambut, Aurel langsung mendatangi seorang bapak tukang cukur.
“Pak, apa aku bisa menjual rambut di sini?”
“Oh bisa, tapi tergantung kualitas rambutnya.”
“Paling murah berapa?”
“50 Gold, kau bisa beli sepasang sepatu dengan itu”
“Kalau paling mahal?”
“Ehm... Bisa 1000 Gold, kau bisa membeli rumah sekaligus mobil dengan itu”
“Apa kau punya uang sebanyak itu?”
“Aku? Hahaha... Tentu saja nak, aku adalah Joy, pengusaha kaya raya.”
“Tetapi mengapa kau menjadi tukang cukur?”, tanya Aurel penasaran.
“Aku sedang berlibur, aku memanfaatkan waktu luangku untuk membantu orang lain, lewat cara ini, nak”, jawab pak Joy sambil tersenyum.
“Baiklah kalau begitu pak Joy, aku ingin menjual rambutku seharga 1000 Gold”, jawab Aurel sambil membuka topinya. Rambutnya yang indah pun terurai.
“WAW! Indah sekali rambutmu nak, panjang, halus, sehat dan rapih. Aku bersedia memberimu 1050 Gold untuk ini”
“Wah benarkah? Kalau begitu, potong rambutku dan sisakan sebahu untuku”, ucap Aurel.
“Oh, maaf nak. Jika, aku baru mau menjual 1000 Gold jika rambutmu ku potong habis. Itu perjanjian yang berlaku di sini”, jawab bapak Joy.
Aurel menimbang-nimbang, berapa biaya yang dibutuhkan ibu Ricky, apa cukupkah 1050 Gold atau malah kelebihan? Akhirnya Aurel memutuskan,
“Ya sudah, potong saja semua rambut saya”, jawab Aurel lirih.
Dengan gunting rambut, bapak Joy memangkas habis semua rambut Aurel. Kurang lebih satu jam, rambut Aurel sudah terpangkas habis. Aurel menatap ke kaca, melihat kepalanya yang kembali botak tanpa sehelai rambut. Aurel merasa sedih.
Melihat wajah sedih Aurel, pak Joy pun mulai menghiburnya, “Nak, bapak tidak tahu untuk apa kamu menjual rambut indahmu untuk uang sebanyak itu, tetapi bagi bapak, kamu tampak lebih cantik dan bersinar tanpa rambutmu itu lagi”.
Hati Aurel berbunga-bunga, ia merasa sangat bahagia. Ia memakai topinya kembali dan dengan sekantong 1050 Gold, Aurel berlari penuh semangat menuju rumah tepi danau. Aurel melihat Ricky sedang duduk memancing ikan di tepi danau, Aurel mendatanginya.
“Hai Ricky, sedang apa kau?”
“Hai Aurel, aku sedang memancing. Ehm, tumben sekali kau memakai topi?”
“Ah, tidak apa-apa. Oh ya, Ricky, aku membawa sesuatu untukmu”, Aurel langsung menyodorkan sekantong logam emas untuk Ricky.
“A...Apa ini? Kau dapat dari mana? Kau mencuri?”, Ricky bertanya-tanya.
“Tidak! Enak saja, ini hasil usahaku Ricky”
“Bagaimana bisa kau menghasilkan uang sebanyak ini dalam semalam?”
Aurel membuka topinya dan Ricky menemukan jawabannya.
“Jadi.... Ini rambutmu?”, tanya Ricky
“Yap. Kau harus menerimanya Ricky, aku melakukan ini untuk sahabatku”,jawab Aurel penuh nada riang.
“Hiks.... Terimakasih Aurel!”, Ricky memeluk Aurel sambil menangis bahagia.
“Sama-sama Ricky”.
Sejak saat itu, ibu Ricky mendapat perawatan yang layak, dari hari ke hari kondisi tubuhnya membaik. Sementara Aurel, ia mendapatkan teman-temannya kembali. Mereka begitu takjub dengan kebaikan Aurel. Mama Ema dan papa Jhon juga sangat bangga memiliki anak sebaik Aurel. Aurel merasa sangat bahagia, walaupun ia tidak memiliki rambut lagi.
Pada suatu malam, Aurel bermimpi.
“Hai Aurel, masih ingat aku?”
“Malaikat Glory. Waw! Rambut indahmu sudah kembali!”
“Iya, ini berkat kebaikanmu dan rambutmu.”
“Iya, aku senang sekali bisa melakukan hal semacam itu dan sekarang aku tidak perlu pusing memikirkan berambut ataupun tidak”
“Oh iya? Coba kau usap kepalamu”
Aurel mengusap kepalanya dan....”wah, rambutku sudah tumbuh?”
“Tetapi rambutmu masih pendek, tidak apa-apakan?”, tanya malaikat Glory.
“Ya, tidak apa-apa kok, kan rambutku sudah bisa tumbuh”, jawab Aurel penuh semangat.
“Iya. Jaga baik-baik ya rambutmu, rawat agar tetap indah”, ucap malaikat Glory
Aurel terbangun dari tidurnya, melihat ke kaca dan tersenyum bahagia dengan rambut barunya.
Aurel berjalan menuju jalan pertokoan menuju sebuah rumah cukur rambut Joy, bangunannya besar, milik pengusaha ternama. Sampai di rumah cukur rambut, Aurel langsung mendatangi seorang bapak tukang cukur.
“Pak, apa aku bisa menjual rambut di sini?”
“Oh bisa, tapi tergantung kualitas rambutnya.”
“Paling murah berapa?”
“50 Gold, kau bisa beli sepasang sepatu dengan itu”
“Kalau paling mahal?”
“Ehm... Bisa 1000 Gold, kau bisa membeli rumah sekaligus mobil dengan itu”
“Apa kau punya uang sebanyak itu?”
“Aku? Hahaha... Tentu saja nak, aku adalah Joy, pengusaha kaya raya.”
“Tetapi mengapa kau menjadi tukang cukur?”, tanya Aurel penasaran.
“Aku sedang berlibur, aku memanfaatkan waktu luangku untuk membantu orang lain, lewat cara ini, nak”, jawab pak Joy sambil tersenyum.
“Baiklah kalau begitu pak Joy, aku ingin menjual rambutku seharga 1000 Gold”, jawab Aurel sambil membuka topinya. Rambutnya yang indah pun terurai.
“WAW! Indah sekali rambutmu nak, panjang, halus, sehat dan rapih. Aku bersedia memberimu 1050 Gold untuk ini”
“Wah benarkah? Kalau begitu, potong rambutku dan sisakan sebahu untuku”, ucap Aurel.
“Oh, maaf nak. Jika, aku baru mau menjual 1000 Gold jika rambutmu ku potong habis. Itu perjanjian yang berlaku di sini”, jawab bapak Joy.
Aurel menimbang-nimbang, berapa biaya yang dibutuhkan ibu Ricky, apa cukupkah 1050 Gold atau malah kelebihan? Akhirnya Aurel memutuskan,
“Ya sudah, potong saja semua rambut saya”, jawab Aurel lirih.
Dengan gunting rambut, bapak Joy memangkas habis semua rambut Aurel. Kurang lebih satu jam, rambut Aurel sudah terpangkas habis. Aurel menatap ke kaca, melihat kepalanya yang kembali botak tanpa sehelai rambut. Aurel merasa sedih.
Melihat wajah sedih Aurel, pak Joy pun mulai menghiburnya, “Nak, bapak tidak tahu untuk apa kamu menjual rambut indahmu untuk uang sebanyak itu, tetapi bagi bapak, kamu tampak lebih cantik dan bersinar tanpa rambutmu itu lagi”.
Hati Aurel berbunga-bunga, ia merasa sangat bahagia. Ia memakai topinya kembali dan dengan sekantong 1050 Gold, Aurel berlari penuh semangat menuju rumah tepi danau. Aurel melihat Ricky sedang duduk memancing ikan di tepi danau, Aurel mendatanginya.
“Hai Ricky, sedang apa kau?”
“Hai Aurel, aku sedang memancing. Ehm, tumben sekali kau memakai topi?”
“Ah, tidak apa-apa. Oh ya, Ricky, aku membawa sesuatu untukmu”, Aurel langsung menyodorkan sekantong logam emas untuk Ricky.
“A...Apa ini? Kau dapat dari mana? Kau mencuri?”, Ricky bertanya-tanya.
“Tidak! Enak saja, ini hasil usahaku Ricky”
“Bagaimana bisa kau menghasilkan uang sebanyak ini dalam semalam?”
Aurel membuka topinya dan Ricky menemukan jawabannya.
“Jadi.... Ini rambutmu?”, tanya Ricky
“Yap. Kau harus menerimanya Ricky, aku melakukan ini untuk sahabatku”,jawab Aurel penuh nada riang.
“Hiks.... Terimakasih Aurel!”, Ricky memeluk Aurel sambil menangis bahagia.
“Sama-sama Ricky”.
Sejak saat itu, ibu Ricky mendapat perawatan yang layak, dari hari ke hari kondisi tubuhnya membaik. Sementara Aurel, ia mendapatkan teman-temannya kembali. Mereka begitu takjub dengan kebaikan Aurel. Mama Ema dan papa Jhon juga sangat bangga memiliki anak sebaik Aurel. Aurel merasa sangat bahagia, walaupun ia tidak memiliki rambut lagi.
Pada suatu malam, Aurel bermimpi.
“Hai Aurel, masih ingat aku?”
“Malaikat Glory. Waw! Rambut indahmu sudah kembali!”
“Iya, ini berkat kebaikanmu dan rambutmu.”
“Iya, aku senang sekali bisa melakukan hal semacam itu dan sekarang aku tidak perlu pusing memikirkan berambut ataupun tidak”
“Oh iya? Coba kau usap kepalamu”
Aurel mengusap kepalanya dan....”wah, rambutku sudah tumbuh?”
“Tetapi rambutmu masih pendek, tidak apa-apakan?”, tanya malaikat Glory.
“Ya, tidak apa-apa kok, kan rambutku sudah bisa tumbuh”, jawab Aurel penuh semangat.
“Iya. Jaga baik-baik ya rambutmu, rawat agar tetap indah”, ucap malaikat Glory
Aurel terbangun dari tidurnya, melihat ke kaca dan tersenyum bahagia dengan rambut barunya.
Semua itu telah lepas
Semudah membalikan gelas berisi air
Tetapi membalikan hati yang terlalu penuh
lebih berat dari pada membalik segelas air
Harapan
Mimpi
dan keinginan
hanya sederet ketidak pastian
membumbung, memenuhi dan menyesaki hatiku
Tak kuatku menyimpannya
tak kuatku menahannya
sesak, hati kecilku hampir pecah
Kubalik segelas harapan itu
biarlah mereka mengalir
mengarungi perairan dangkal selokan
berkumpul dan bersatu
dengan sejuta harapan dan mimpi
yang telah ku sia-siakan juga
Semudah membalikan gelas berisi air
Tetapi membalikan hati yang terlalu penuh
lebih berat dari pada membalik segelas air
Harapan
Mimpi
dan keinginan
hanya sederet ketidak pastian
membumbung, memenuhi dan menyesaki hatiku
Tak kuatku menyimpannya
tak kuatku menahannya
sesak, hati kecilku hampir pecah
Kubalik segelas harapan itu
biarlah mereka mengalir
mengarungi perairan dangkal selokan
berkumpul dan bersatu
dengan sejuta harapan dan mimpi
yang telah ku sia-siakan juga
(Puisi ini terinspirasi dari sahabat baikku Sesil, ia yang mengajariku; bahkan dalam terdiam kita bisa belajar lebih banyak mencintai)
alif kaf wau sin ya nga kaf alif mim wau
alif kaf wau mim nga ha alif ra fa kaf nun ha dal ra mim wau
tetapi aku bodoh
alif kaf wau mim nga ha alif ra fa kaf nun ha dal ra nya jim wau ga
lam ba ha ba ya kaf
kaf lam wau fa alif kaf nun kaf lam ya alif nun
aku tidak mau tertawan jeruji kasmaran
alif kaf wau sin ya nga kaf alif mim wau
alif kaf wau mim nga ha alif ra fa kaf nun ha dal ra mim wau
tetapi aku bodoh
alif kaf wau mim nga ha alif ra fa kaf nun ha dal ra nya jim wau ga
lam ba ha ba ya kaf
kaf lam wau fa alif kaf nun kaf lam ya alif nun
aku tidak mau tertawan jeruji kasmaran
Aku bangga mengenal kalian.
Semakin hari ku sadari, pribadi kalian tumbuh menjadi lebih dewasa.
Banyak hal-hal baru yang mengejutkan yang aku temukan dalam diri kalian.
Aku bangga bisa mengenal kalian.
Aku sayang kalian.
Walau terkadang kalian mengecewakan aku,
kalian lah orang-orang yang paling aku cintai di dunia ini.
Rasanya, aku yang lebih sering mengecewakan kalian.
Sudah tak terhitung berapa deret bilur
yang ku gores pada hati kalian.
Tetapi kalian selalu ada untukku.
Aku senang belajar dari kalian.
Kalian berhasil membuka kelopak mata hatiku.
Kalian tunjukan padaku, apa itu dunia.
Kalian ajari aku, apa itu pengetahuan.
Kalian yang mengajari aku merajut hidup dan mimpi-mimpiku.
Aku bangga memiliki kalian.
Tuhan sangat baik padaku.
Ia tidak memberikan buli-buli emas.
Ia tidak menyediakan anggur manis untuk pestaku.
Ia tidak membaringkanku di ranjang yang nyaman.
Tetapi Ia memberi emas terbaik,
anggur termanis
dan ranjang terhangat dan ternyaman untukku,
yaitu kalian.
Semakin hari ku sadari, pribadi kalian tumbuh menjadi lebih dewasa.
Banyak hal-hal baru yang mengejutkan yang aku temukan dalam diri kalian.
Aku bangga bisa mengenal kalian.
Aku sayang kalian.
Walau terkadang kalian mengecewakan aku,
kalian lah orang-orang yang paling aku cintai di dunia ini.
Rasanya, aku yang lebih sering mengecewakan kalian.
Sudah tak terhitung berapa deret bilur
yang ku gores pada hati kalian.
Tetapi kalian selalu ada untukku.
Aku senang belajar dari kalian.
Kalian berhasil membuka kelopak mata hatiku.
Kalian tunjukan padaku, apa itu dunia.
Kalian ajari aku, apa itu pengetahuan.
Kalian yang mengajari aku merajut hidup dan mimpi-mimpiku.
Aku bangga memiliki kalian.
Tuhan sangat baik padaku.
Ia tidak memberikan buli-buli emas.
Ia tidak menyediakan anggur manis untuk pestaku.
Ia tidak membaringkanku di ranjang yang nyaman.
Tetapi Ia memberi emas terbaik,
anggur termanis
dan ranjang terhangat dan ternyaman untukku,
yaitu kalian.
Aku, kamu dan dia
Tiga pribadi berbeda
dengan kisah hidup yang berbeda
Aku, kamu dan dia
Aku terkagum
pada kehebatan dirimu
dan keunikan dirinya
Aku, kamu dan dia
Aku naif
menginginkan kamu
dan juga dirinya
Aku, kamu dan dia
Siapakah kita?
Siapa kamu? Kamu hanya penyegar jiwaku yang kering
Siapa dia? Dia hanya padang pasir yang mengeringkan jiwaku
Aku, kamu dan dia
Ah...
aku tidak mau ambil pusing
perasaanku... biasa saja
tidak ada lagi kamu
atau pun
dirinya
:)
Tiga pribadi berbeda
dengan kisah hidup yang berbeda
Aku, kamu dan dia
Aku terkagum
pada kehebatan dirimu
dan keunikan dirinya
Aku, kamu dan dia
Aku naif
menginginkan kamu
dan juga dirinya
Aku, kamu dan dia
Siapakah kita?
Siapa kamu? Kamu hanya penyegar jiwaku yang kering
Siapa dia? Dia hanya padang pasir yang mengeringkan jiwaku
Aku, kamu dan dia
Ah...
aku tidak mau ambil pusing
perasaanku... biasa saja
tidak ada lagi kamu
atau pun
dirinya
:)
Aku masih berdiam diri. Diam bukan berarti tidak mau melakukan apa-apa, melainkan karena tidak ada yang bisa aku kerjakan.
Aku melihat mereka sudah sibuk mengurus ini dan itu. Mengajukan nama ke berbagai universitas, mengikuti interview bahkan ada yang sudah diterima di universitas impiannya. Sedangkan aku? Masih menunggu hingga waktu itu datang.
Nasib mendaftar di perguruan tinggi negeri, test baru dibuka menjelang akhir tahun ajaran nanti. Tak terbayang seberapa berat beban yang aku tanggung dalam hal ini. Berbagai pertanyaan menyebalkan menggeliat di dalam kepalaku; apakah aku bisa menembus saringan masuk perguruan tinggi negeri? Mampukah otak bahasaku ini memecahkan soal-soal IPS? Apa yang harus aku persiapkan? Apakah benar masuk ke perguruan tinggi negeri didasari oleh keberuntungan belaka? Jika iya, apakah keberuntungan akan menghampiri diriku?
Kalau sudah seperti ini, perasaan galau pasti datang menghampiri. Yeap... aku sudah beberapa kali merasakan elegi dalam rangkulan kegalauan dan itu sangat tidak enak. Perasaan-perasaan itu hanya semakin membuatku gelisah dan tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada seorang pun yang bisa menenangkan perasaan ini, hanya aku seorang yang bisa mengendalikan perasaanku, dan tidak ada seorang pun yang mampu memberi jalan pasti untuk menyelesaikan segala tetek-bengek ini.
Tetapi, ada satu sosok yang tidak pernah meninggalkan diriku dalam kesendirian, sosok yang selalu memberiku penghiburan, Dia yang selalu memberiku kekuatan dan ketenangan sehingga inspirasi terus mengalir dalam hidupku. Yeap, Dialah Tuhanku.
Tak peduli tentang kata orang bahwa aku harus berpikir lebih rasional, tahu apa kalian tentang jalan pikiranku? Aku juga tahu bagaimana berpikir yang rasional (setidaknya rasional dengan caraku). Entah mengapa, aku yakin sekali bisa di terima di fakultas impianku, FIB UI Sastra Prancis.
Jujur saja, aku belum mahir berbahasa Prancis, tetapi aku lebih memilih bahasa ini daripada bahasa Inggris ataupun Jerman yang sudah kuperoleh dasar-dasarnya. Jawabanku simple. Passion :D
Hahaha... terkadang aku menertawakan pikiranku dan pikiranku juga menertawakan aku. Aku manusia yang hidup karena passionku; aku suka musik maka aku mendengarkan musik, aku suka piano maka aku bermain piano, aku suka buku, aksara dan bahasa maka aku mengambil kelas bahasa, aku suka menulis maka aku menulis. Karena aku suka menulis dan Prancis maka aku ambil sastra Prancis. Hidup itu.... mudah bukan? :D
Aku sangat sadar bahwa benang hidupku sudah terlalu kusut, maka aku tidak mau menambah simpul-simpul rumit pada bentangan benang hidupku lagi.
Dalam hidup ini, aku tidak sendirian, aku dikelilingi orang-orang biasa yang sangaaat luar biasa; teman-teman yang selalu menyemangatiku, orang tua yang sangat berjasa dalam hidupku dan orang-orang lain di luar sana yang tak dikenal yang juga menjadi inspirasi dalam hidupku.
Terkadang aku merasa sendirian saat orang-orang di dekatku mulai terasa jauh. Tetapi aku punya penghibur yang tidak pernah meninggalkanku, ialah Tuhanku :).
Sok religius sekali ya? Hahaha... tidak peduli apa pun sebutan untuk diriku, tetapi aku sangat percaya akan hadirnya Tuhan. Tidak hanya pada saat aku merasa tertekan saja, bahkan saat aku merasa sangat bahagia aku bisa merasakan kehadiranNya.
Soal perguruan tinggi? Bukanlah hal yang harus aku khawatirkan, melainkan hal yang menjadi pengharapan bagiku. Jadi, lebih baik berharap dalam Tuhan, karena pengharapan dalam Kristus selalu membuahkan hasil yang manis, tetapi kekhawatiran tidak akan pernah menambah sehasta bahkan sejengkal kebahagiaan dalam hidup ku ini.
Aku terima janji-janji Tuhan dan aku tidak merasa khawatir lagi menghadapi segala hal, karena aku tahu Tuhan punya rancangan yang terbaik untuk hidupku :).
Aku melihat mereka sudah sibuk mengurus ini dan itu. Mengajukan nama ke berbagai universitas, mengikuti interview bahkan ada yang sudah diterima di universitas impiannya. Sedangkan aku? Masih menunggu hingga waktu itu datang.
Nasib mendaftar di perguruan tinggi negeri, test baru dibuka menjelang akhir tahun ajaran nanti. Tak terbayang seberapa berat beban yang aku tanggung dalam hal ini. Berbagai pertanyaan menyebalkan menggeliat di dalam kepalaku; apakah aku bisa menembus saringan masuk perguruan tinggi negeri? Mampukah otak bahasaku ini memecahkan soal-soal IPS? Apa yang harus aku persiapkan? Apakah benar masuk ke perguruan tinggi negeri didasari oleh keberuntungan belaka? Jika iya, apakah keberuntungan akan menghampiri diriku?
Kalau sudah seperti ini, perasaan galau pasti datang menghampiri. Yeap... aku sudah beberapa kali merasakan elegi dalam rangkulan kegalauan dan itu sangat tidak enak. Perasaan-perasaan itu hanya semakin membuatku gelisah dan tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada seorang pun yang bisa menenangkan perasaan ini, hanya aku seorang yang bisa mengendalikan perasaanku, dan tidak ada seorang pun yang mampu memberi jalan pasti untuk menyelesaikan segala tetek-bengek ini.
Tetapi, ada satu sosok yang tidak pernah meninggalkan diriku dalam kesendirian, sosok yang selalu memberiku penghiburan, Dia yang selalu memberiku kekuatan dan ketenangan sehingga inspirasi terus mengalir dalam hidupku. Yeap, Dialah Tuhanku.
Tak peduli tentang kata orang bahwa aku harus berpikir lebih rasional, tahu apa kalian tentang jalan pikiranku? Aku juga tahu bagaimana berpikir yang rasional (setidaknya rasional dengan caraku). Entah mengapa, aku yakin sekali bisa di terima di fakultas impianku, FIB UI Sastra Prancis.
Jujur saja, aku belum mahir berbahasa Prancis, tetapi aku lebih memilih bahasa ini daripada bahasa Inggris ataupun Jerman yang sudah kuperoleh dasar-dasarnya. Jawabanku simple. Passion :D
Hahaha... terkadang aku menertawakan pikiranku dan pikiranku juga menertawakan aku. Aku manusia yang hidup karena passionku; aku suka musik maka aku mendengarkan musik, aku suka piano maka aku bermain piano, aku suka buku, aksara dan bahasa maka aku mengambil kelas bahasa, aku suka menulis maka aku menulis. Karena aku suka menulis dan Prancis maka aku ambil sastra Prancis. Hidup itu.... mudah bukan? :D
Aku sangat sadar bahwa benang hidupku sudah terlalu kusut, maka aku tidak mau menambah simpul-simpul rumit pada bentangan benang hidupku lagi.
Dalam hidup ini, aku tidak sendirian, aku dikelilingi orang-orang biasa yang sangaaat luar biasa; teman-teman yang selalu menyemangatiku, orang tua yang sangat berjasa dalam hidupku dan orang-orang lain di luar sana yang tak dikenal yang juga menjadi inspirasi dalam hidupku.
Terkadang aku merasa sendirian saat orang-orang di dekatku mulai terasa jauh. Tetapi aku punya penghibur yang tidak pernah meninggalkanku, ialah Tuhanku :).
Sok religius sekali ya? Hahaha... tidak peduli apa pun sebutan untuk diriku, tetapi aku sangat percaya akan hadirnya Tuhan. Tidak hanya pada saat aku merasa tertekan saja, bahkan saat aku merasa sangat bahagia aku bisa merasakan kehadiranNya.
Soal perguruan tinggi? Bukanlah hal yang harus aku khawatirkan, melainkan hal yang menjadi pengharapan bagiku. Jadi, lebih baik berharap dalam Tuhan, karena pengharapan dalam Kristus selalu membuahkan hasil yang manis, tetapi kekhawatiran tidak akan pernah menambah sehasta bahkan sejengkal kebahagiaan dalam hidup ku ini.
Aku terima janji-janji Tuhan dan aku tidak merasa khawatir lagi menghadapi segala hal, karena aku tahu Tuhan punya rancangan yang terbaik untuk hidupku :).
Monday, October 10, 2011
Kumpulan Cerpen 2011,
Sajak dan Prosa 2011
0
comments
Jangan Biarkan Cahayamu Redup (Part 2)
Aku terus mengikuti mu ke dalam cahaya itu, kau tetap terfokus pada sesuatu tak terlihat di ujung cahaya putih ini sementara aku terfokus pada dirimu, apa yang ingin kau raih. Kita terus berjalan, berjalan tanpa arah. Aku tidak tahu apakah dirimu sadar akan hadirku. Ku beranikan diri memanggil dirimu
"Hei.... Mulia, ke mana kamu akan pergi?"
Kau memelankan langkahmu, tetapi kau tidak berhenti. Apa sih mau mu? Aku berjalan lebih cepat, sedikit mendekati dirimu lagi.
"Mulia, apa yang kamu cari di dalam cahaya ini? Bahkan kau tidak tahu arah mana yang kau tuju!"
Tetapi kau tetap diam, geram rasanya berbicara denganmu. Kau terus melangkah, tak acuh pada hadirku. Aku tidak bisa tinggal diam, aku berjalan lebih-lebih cepat lagi dan berhasil meraih dirimu, kutarik lenganmu hingga kau berhenti berjalan.
Tubuhmu bergeming, pandanganmu tetap lurus ke depan seolah tak ada aku di hadapanmu. Setelah sekian lama, rasanya baru kali ini aku kembali berdiri di hadapanmu, baru kusadari ternyata tinggimu juga sudah bertambah, semakin tinggi meninggalkan tubuh kecilku. Kuberanikan diri menatap wajahmu, matamu berkilau, tetapi keras seperti batu, bibirmu, tetap sama, merah merona, tetapi aku tidak menemukan segaris senyuman di sana.
Ku tarik wajahmu lembut dekat dengan wajahku. Aku masih mendengar hembusan napas menderu dari hidungmu, puji Tuhan kau masih hidup, lalu ku tatap matamu dalam-dalam....
Aku kecewa.
Aku tidak menemukan cahaya di dalam sana. Ke mana cahaya hidupmu? Mengapa kau matikan cahaya itu?
"Mulia... Ke mana cahaya itu?"
Kau tetap diam tak merespon. Ku tatap matamu lebih dalam lagi, berharap masih menemukan seberkas cahaya di dalam sana. Aku merasa iba, lagi-lagi tidak ku temukan cahaya itu, ku belai lembut pipimu, matamu yang keras perlahan-lahan melembut.
"Mulia.... Ke mana cahaya itu?"
Sekali lagi kutanyakan padamu, berharap kau memberi jawaban.
Aku tidak mendapat jawaban, tetapi aku lihat butiran intan berjatuhan dari bola matamu. Ku siapkan jari-jari tanganku untuk menghapus tiap butir intan itu, aku takut butiran intan itu melukai wajahmu.
"Mulia.... Apa yang terjadi? Ada apa denganmu? Ke mana kah sumber cahaya itu? Aku tidak melihatnya di sana."
Mulia hanya menggeleng. Matanya menatap ke dalam mataku yang mulai basah. Kedua ibu jarimu yang besar menghapus air mataku dengan lembut.
"Mulia... Ke mana kah sumber cahaya itu?"
Kau mencengkram pundakku dengan lembut, matamu terus menatap ke dalam mataku.
"Sumber itu sudah kembali," jawabmu singkat, matamu tetap awas menatapku, tanganmu membelai lembut rambutku dan kau.... TERSENYUM!! Astaga, setelah sekian lama, akhirnya aku kembali melihat senyumanmu!!
"Jangan bawa cahayamu sendiri, aku membutuhkanmu, Pelita." Ucapmu padaku sambil mengembangkan senyum terbaik yang kau miliki, senyuman favoritku.
Sekarang aku mengerti.
"Hei.... Mulia, ke mana kamu akan pergi?"
Kau memelankan langkahmu, tetapi kau tidak berhenti. Apa sih mau mu? Aku berjalan lebih cepat, sedikit mendekati dirimu lagi.
"Mulia, apa yang kamu cari di dalam cahaya ini? Bahkan kau tidak tahu arah mana yang kau tuju!"
Tetapi kau tetap diam, geram rasanya berbicara denganmu. Kau terus melangkah, tak acuh pada hadirku. Aku tidak bisa tinggal diam, aku berjalan lebih-lebih cepat lagi dan berhasil meraih dirimu, kutarik lenganmu hingga kau berhenti berjalan.
Tubuhmu bergeming, pandanganmu tetap lurus ke depan seolah tak ada aku di hadapanmu. Setelah sekian lama, rasanya baru kali ini aku kembali berdiri di hadapanmu, baru kusadari ternyata tinggimu juga sudah bertambah, semakin tinggi meninggalkan tubuh kecilku. Kuberanikan diri menatap wajahmu, matamu berkilau, tetapi keras seperti batu, bibirmu, tetap sama, merah merona, tetapi aku tidak menemukan segaris senyuman di sana.
Ku tarik wajahmu lembut dekat dengan wajahku. Aku masih mendengar hembusan napas menderu dari hidungmu, puji Tuhan kau masih hidup, lalu ku tatap matamu dalam-dalam....
Aku kecewa.
Aku tidak menemukan cahaya di dalam sana. Ke mana cahaya hidupmu? Mengapa kau matikan cahaya itu?
"Mulia... Ke mana cahaya itu?"
Kau tetap diam tak merespon. Ku tatap matamu lebih dalam lagi, berharap masih menemukan seberkas cahaya di dalam sana. Aku merasa iba, lagi-lagi tidak ku temukan cahaya itu, ku belai lembut pipimu, matamu yang keras perlahan-lahan melembut.
"Mulia.... Ke mana cahaya itu?"
Sekali lagi kutanyakan padamu, berharap kau memberi jawaban.
Aku tidak mendapat jawaban, tetapi aku lihat butiran intan berjatuhan dari bola matamu. Ku siapkan jari-jari tanganku untuk menghapus tiap butir intan itu, aku takut butiran intan itu melukai wajahmu.
"Mulia.... Apa yang terjadi? Ada apa denganmu? Ke mana kah sumber cahaya itu? Aku tidak melihatnya di sana."
Mulia hanya menggeleng. Matanya menatap ke dalam mataku yang mulai basah. Kedua ibu jarimu yang besar menghapus air mataku dengan lembut.
"Mulia... Ke mana kah sumber cahaya itu?"
Kau mencengkram pundakku dengan lembut, matamu terus menatap ke dalam mataku.
"Sumber itu sudah kembali," jawabmu singkat, matamu tetap awas menatapku, tanganmu membelai lembut rambutku dan kau.... TERSENYUM!! Astaga, setelah sekian lama, akhirnya aku kembali melihat senyumanmu!!
"Jangan bawa cahayamu sendiri, aku membutuhkanmu, Pelita." Ucapmu padaku sambil mengembangkan senyum terbaik yang kau miliki, senyuman favoritku.
Sekarang aku mengerti.
"Aku suka kamu".
Tidak tidak tidak! Tidak mungkin aku mengucapkan kata itu di hadapannya. Rasanya kuingin mati saja dari pada menyatakan cinta duluan. Bukankah wanita ditakdirkan untuk menunggu seumur hidupnya? Menunggu sampai sang Pangeran Tampan datang menjemputnya dengan kuda putih, lalu sang Pangeran membungkuk hormat di hadapan Putri Cantik seraya memberi setangkai mawar putih dan membisikan sepatah kata,
"Maukah kau jadi milikku?"
Bukan sekedar kata-kata, tetapi mantra yang mampu menyihir pikiran sang Putri sehingga ia tidak bisa membedakan yang mana dunia nyata dan yang mana dunia mimpi, yang mana rasio dan yang mana imajinasi. Tetapi lepas dari semua itu, kebahagiaan lah yang selalu diinginkan dua hati yang menyatu.
Sekarang...
Di mana dirimu, Pangeran?
Sejak dari pagi aku menunggu kehadiran wajahmu. Ingin rasanya, sekali saja aku melihat senyuman manis itu terbaring di bibirmu lagi. Tetapi... Ke mana senyuman itu? Ke mana ia pergi? Senyum yang selalu ku nanti, senyum yang selalu kau berikan kepada setiap orang, senyum yang aku ingini jadi milikku.
Ke mana? Ke mana senyuman itu? Satu pertanyaan yang tak pernah berhenti berdengung di telingaku, pertanyaan yang haus akan jawaban.
Adakah seseorang yang merebut senyuman itu darimu? Siapakah orang itu??! Katakan padaku, biar kuambil kembali senyumanmu dari genggaman tangannya.
Binaran cahaya matamu. Aku suka kilauan matamu yang besar dan hitam. Matamu lelah, aku tahu itu, lihatlah kantung hitam di bawah matamu, sudah berapa hari kau bergadang dengan tugas-tugasmu? Sudah berapa hari kau lupa beristirahat?
Aku juga merasakan yang sama, kantung hitamku malah kian bertambah gelap seiring bertambahnya waktu, hampir setiap malam aku memikirkan dirimu. Memikirkan ke mana senyumanmu dan ke mana binaran cahaya matamu?
Kau di sini, di sisiku, tetapi, di mana dirimu? Di mana semangatmu? Aku tak merasakan kehadiranmu di sini, aku berdiri tepat di sampingmu, tetapi kau mengabaikan hadirku, ada apa denganmu? Ada apa denganku? Ada apa dengan kita? Bukankah sudah cukup lama kita saling mengenal? Sudah lupakah kau siapa diriku? Kalau begitu, ajak saja aku kembali berkenalan, aku tidak keberatan, sangat tidak keberatan, justru aku merasa senang jika kau mau mengingat kembali siapa diriku ini.
Kau tetap berlalu, dengan wajah dingin, datar, sinar mata redup dan senyuman yang mati.
"Kreeeeeek...."
Ku dengar suara pintu kayu besar dibuka. Aku melihat sekelebat cahaya putih terang di sana. Semua mata terpana pada pintu besar itu. Tak ada yang berani masuk ke dalam cahaya putih itu. Tetapi bukan dirimu jika kau tidak melakukan sesuatu yang dianggap aneh oleh orang lain, kau berjalan perlahan menuju cahaya besar itu, perlahan-lahan, kau seperti terhipnotis cahaya itu. Aku tidak mau membiarkan kau pergi sendirian, aku ikut denganmu.
Tidak tidak tidak! Tidak mungkin aku mengucapkan kata itu di hadapannya. Rasanya kuingin mati saja dari pada menyatakan cinta duluan. Bukankah wanita ditakdirkan untuk menunggu seumur hidupnya? Menunggu sampai sang Pangeran Tampan datang menjemputnya dengan kuda putih, lalu sang Pangeran membungkuk hormat di hadapan Putri Cantik seraya memberi setangkai mawar putih dan membisikan sepatah kata,
"Maukah kau jadi milikku?"
Bukan sekedar kata-kata, tetapi mantra yang mampu menyihir pikiran sang Putri sehingga ia tidak bisa membedakan yang mana dunia nyata dan yang mana dunia mimpi, yang mana rasio dan yang mana imajinasi. Tetapi lepas dari semua itu, kebahagiaan lah yang selalu diinginkan dua hati yang menyatu.
Sekarang...
Di mana dirimu, Pangeran?
Sejak dari pagi aku menunggu kehadiran wajahmu. Ingin rasanya, sekali saja aku melihat senyuman manis itu terbaring di bibirmu lagi. Tetapi... Ke mana senyuman itu? Ke mana ia pergi? Senyum yang selalu ku nanti, senyum yang selalu kau berikan kepada setiap orang, senyum yang aku ingini jadi milikku.
Ke mana? Ke mana senyuman itu? Satu pertanyaan yang tak pernah berhenti berdengung di telingaku, pertanyaan yang haus akan jawaban.
Adakah seseorang yang merebut senyuman itu darimu? Siapakah orang itu??! Katakan padaku, biar kuambil kembali senyumanmu dari genggaman tangannya.
Binaran cahaya matamu. Aku suka kilauan matamu yang besar dan hitam. Matamu lelah, aku tahu itu, lihatlah kantung hitam di bawah matamu, sudah berapa hari kau bergadang dengan tugas-tugasmu? Sudah berapa hari kau lupa beristirahat?
Aku juga merasakan yang sama, kantung hitamku malah kian bertambah gelap seiring bertambahnya waktu, hampir setiap malam aku memikirkan dirimu. Memikirkan ke mana senyumanmu dan ke mana binaran cahaya matamu?
Kau di sini, di sisiku, tetapi, di mana dirimu? Di mana semangatmu? Aku tak merasakan kehadiranmu di sini, aku berdiri tepat di sampingmu, tetapi kau mengabaikan hadirku, ada apa denganmu? Ada apa denganku? Ada apa dengan kita? Bukankah sudah cukup lama kita saling mengenal? Sudah lupakah kau siapa diriku? Kalau begitu, ajak saja aku kembali berkenalan, aku tidak keberatan, sangat tidak keberatan, justru aku merasa senang jika kau mau mengingat kembali siapa diriku ini.
Kau tetap berlalu, dengan wajah dingin, datar, sinar mata redup dan senyuman yang mati.
"Kreeeeeek...."
Ku dengar suara pintu kayu besar dibuka. Aku melihat sekelebat cahaya putih terang di sana. Semua mata terpana pada pintu besar itu. Tak ada yang berani masuk ke dalam cahaya putih itu. Tetapi bukan dirimu jika kau tidak melakukan sesuatu yang dianggap aneh oleh orang lain, kau berjalan perlahan menuju cahaya besar itu, perlahan-lahan, kau seperti terhipnotis cahaya itu. Aku tidak mau membiarkan kau pergi sendirian, aku ikut denganmu.
Sunday, October 9, 2011
Kumpulan Cerpen 2011,
Sajak dan Prosa 2011
0
comments
Musim Gugur di Hatiku (Part 3)
Malam itu berbeda dengan malam lainnya, malam milik kami, begitu indah. Pagi hari aku terbangun, sendirian, aku tak menemukan Angin di sisiku lagi. Aku tak tahu kemana alam memerintahkan dia pergi. Ku dengar riak dedaunan. Itukah nyanyianmu Angin? Indah sekali. Tetapi aku tidak melihat sosok dirinya.
Sore hari, aku sedang menyaksikan keindahan langit senja, sendirian. Inilah langit favorit kami. Kami selalu menghabiskan waktu berdua menikmati langit temaram. Terkadang Angin bercerita bagaimana tentang keajaiban langit, bagaimana eksotisnya muka bumi dari angkasa dan bagaimana asiknya memiliki kekuatan untuk terbang menjelajahi dunia. Ah, enak sekali rasanya!
Ingin saja sehari aku bertukar raga dengannya. Tetapi ada 2 pertanyaan umum selalu memupus harapanku; pertama, apakah aku mempunyai jiwa? Kedua apakah Angin mempunyai raga? Sederet pertanyaan yang menyakitkan karena mata kami semakin terbuka, kami merasa seperti ditelanjangi, malu melihat kebodohan kami. Kami dua makhluk yang sangat berbeda, tak ada relefansi diantara kami.
Hanya cinta kami yang menjadi relefansi.
"Alasan klasik!" Kata orang-orang menertawakan kenaifan kami.
Tetapi bagaimana lagi, karena kenaifan kami adalah kebenaran.
"Aku ingin menjadi seperti dirimu, Angin, agar kita bisa bersatu selamanya. Dan aku tahu apa yang bisa kita lakukan."
"Hahahahaha... Ada saja ide yang dipikirkan kepala kecilmu ini", balasnya sambil berhembus lembut mengayun-ayunkan tubuhku.
"Aku serius Angin."
"Tidak Dandelion, tidak mungkin bisa, aku hanya jiwa tanpa raga sedangkan kau..."
"AKU SUDAH TAU!! Berhentilah mendikteku dengan ucapan dan stigma benda biotik dan abiotik itu! Sekarang, lakukan saja sebisamu."
"Apa? Apa yang bisa aku lakukan?"
"Caranya mudah..."
Angin terdiam seperti menunggu jawabanku selanjutnya.
"Hancurkan diriku!"
Aku melihat mata Angin terbelalak lebar, kanget setengah mati mendengar permintaan sederhanaku.
"Tidak Dandelion, aku tidak akan merusak keindahanmu."
"Ku mohon Angin, lakukanlah, aku yakin ini pasti berhasil."
"jika ini tidak berhasil?" Tanya Angin mencoba menggoyahkan keyakinanku.
"Ya sudah, aku akan memulai kisah baru."
Dengan penuh keraguan Angin berusaha meyakinkan dirinya pula. Ia berusaha apapun alasannya ia tidak akan pernah merusak keindah Dandelion. Tetapi kali ini dia dihadapi 2 dilema, antara mencoba ide gila itu atau membiarkan segalanya.
Keputusan bulat pun diambil.
"Baiklah Dandelion, tetapi sebelumnya, maafkan aku jika semua ini tidak berhasil"
Aku tersenyum padanya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku sudah siap.
"Fuufh........" Dengan satu hembusan keras, Angin melontarkan tubuhku, aku tercabik-cabik menjadi helaian bulu-bulu halus. Angin merengkuh seluruh tubuhku.
Sekarang aku adalah bulu-bulu Dandelion yang terbang dibawa pusaran angin.
Memang tubuhku sudah tercabik, molekul tubuhku tak bersatu lagi, tetapi aku masih bisa merasakan kehidupan mengalir dalam tubuhku, aku seperti memiliki jiwa dan.... LIHAT! Aku sudah bisa terbang!! Ragaku melayang dalam dekapan jiwa Angin. Kami terbang bersama menikmati keindahan hutan musim gugur.
"Angin, terimakasih, kareka kau telah menjadi jiwa yang tangguh bagi ragaku yang rapuh ini."
"Sama-sama Dandelionku sayang, tetapi aku lebih berterimakasih lagi, karena kau memberi tumpangan bagi jiwaku di dalam ragamu yang lembut ini."
Kami menghabiskan hari-hari kami dengan terbang, menelusuri langit dan setiap sudut bumi.
Sore hari, aku sedang menyaksikan keindahan langit senja, sendirian. Inilah langit favorit kami. Kami selalu menghabiskan waktu berdua menikmati langit temaram. Terkadang Angin bercerita bagaimana tentang keajaiban langit, bagaimana eksotisnya muka bumi dari angkasa dan bagaimana asiknya memiliki kekuatan untuk terbang menjelajahi dunia. Ah, enak sekali rasanya!
Ingin saja sehari aku bertukar raga dengannya. Tetapi ada 2 pertanyaan umum selalu memupus harapanku; pertama, apakah aku mempunyai jiwa? Kedua apakah Angin mempunyai raga? Sederet pertanyaan yang menyakitkan karena mata kami semakin terbuka, kami merasa seperti ditelanjangi, malu melihat kebodohan kami. Kami dua makhluk yang sangat berbeda, tak ada relefansi diantara kami.
Hanya cinta kami yang menjadi relefansi.
"Alasan klasik!" Kata orang-orang menertawakan kenaifan kami.
Tetapi bagaimana lagi, karena kenaifan kami adalah kebenaran.
"Aku ingin menjadi seperti dirimu, Angin, agar kita bisa bersatu selamanya. Dan aku tahu apa yang bisa kita lakukan."
"Hahahahaha... Ada saja ide yang dipikirkan kepala kecilmu ini", balasnya sambil berhembus lembut mengayun-ayunkan tubuhku.
"Aku serius Angin."
"Tidak Dandelion, tidak mungkin bisa, aku hanya jiwa tanpa raga sedangkan kau..."
"AKU SUDAH TAU!! Berhentilah mendikteku dengan ucapan dan stigma benda biotik dan abiotik itu! Sekarang, lakukan saja sebisamu."
"Apa? Apa yang bisa aku lakukan?"
"Caranya mudah..."
Angin terdiam seperti menunggu jawabanku selanjutnya.
"Hancurkan diriku!"
Aku melihat mata Angin terbelalak lebar, kanget setengah mati mendengar permintaan sederhanaku.
"Tidak Dandelion, aku tidak akan merusak keindahanmu."
"Ku mohon Angin, lakukanlah, aku yakin ini pasti berhasil."
"jika ini tidak berhasil?" Tanya Angin mencoba menggoyahkan keyakinanku.
"Ya sudah, aku akan memulai kisah baru."
Dengan penuh keraguan Angin berusaha meyakinkan dirinya pula. Ia berusaha apapun alasannya ia tidak akan pernah merusak keindah Dandelion. Tetapi kali ini dia dihadapi 2 dilema, antara mencoba ide gila itu atau membiarkan segalanya.
Keputusan bulat pun diambil.
"Baiklah Dandelion, tetapi sebelumnya, maafkan aku jika semua ini tidak berhasil"
Aku tersenyum padanya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa aku sudah siap.
"Fuufh........" Dengan satu hembusan keras, Angin melontarkan tubuhku, aku tercabik-cabik menjadi helaian bulu-bulu halus. Angin merengkuh seluruh tubuhku.
Sekarang aku adalah bulu-bulu Dandelion yang terbang dibawa pusaran angin.
Memang tubuhku sudah tercabik, molekul tubuhku tak bersatu lagi, tetapi aku masih bisa merasakan kehidupan mengalir dalam tubuhku, aku seperti memiliki jiwa dan.... LIHAT! Aku sudah bisa terbang!! Ragaku melayang dalam dekapan jiwa Angin. Kami terbang bersama menikmati keindahan hutan musim gugur.
"Angin, terimakasih, kareka kau telah menjadi jiwa yang tangguh bagi ragaku yang rapuh ini."
"Sama-sama Dandelionku sayang, tetapi aku lebih berterimakasih lagi, karena kau memberi tumpangan bagi jiwaku di dalam ragamu yang lembut ini."
Kami menghabiskan hari-hari kami dengan terbang, menelusuri langit dan setiap sudut bumi.
"Kukira, kau bisa berdesir lebih dekat lagi dariku. Kau kuat namun kau lembut, kuyakin kau tidak akan menyakitiku..."
"Aku juga mengira demikian, tetapi sayang, aku terlalu labil, tak mudah ditebak. Aku tidak ingin kehadiranku justru merusak keindahanmu."
"Tetapi... Kita sudah bersama lebih dari beberapa bulan ini dan kau lihat, aku baik-baik saja", jawabku meyakinkan dirinya.
Angin tampak berpikir keras, wajahnya murung, sedih, penuh dengan kebingungan, antara memilih mengacuhkan egonya atau egoku. Aku tidak ingin melihat dirinya tertekan seperti itu, ia sudah terlalu lelah bekerja seharian ini, mungkin ini memang saatnya aku mengalah.
"Angin, baiklah... Aku mengalah. Tempatmu memang bukan di sini, tetapi di alam bebas sana. Tetapi, berjanjilah padaku untuk tinggal malam ini saja bersamaku, oke?"
Senyum mengembang diwajah angin, kurasakan hembusan tubuhnya semakin kuat. Aneh, dalam hatiku tak ada rasa khawatir diriku akan hancur oleh satu tiupan keras bibirnya, aku justru menyukainya, kekuatan tubuhnya membuatku semakin bergairah, ingin rasanya aku meledakan tubuhku berkeping-keping.
"Ups... Maafkan aku", ucapnya sambil perlahan-lahan mengurangi hembusan itu.
"Dandelionku, ternyata kau bunga tertangguh yang pernah kutemukan." Ia menyunggingkan senyum nakal yang menggoda. Itulah senyum favoritku.
"Sudah berapa bunga yang kau temui Angin?"
"Banyak... Tetapi hanya kau yang berhasil mencuri hatiku," ia tersenyum lagi, aku tersipu malu dibuatnya.
"Hmmm.... Tidak usah berlama-lama lagi. Kau mau mulai dari mana?" bisiknya lembut padaku.
"Dari ujung kepala hingga ke dalam akar hatiku."
Tanpa berlama-lama, Angin kembali mendesir dan bergelung merengkuh lembut seluruh tubuhku.
"Aku juga mengira demikian, tetapi sayang, aku terlalu labil, tak mudah ditebak. Aku tidak ingin kehadiranku justru merusak keindahanmu."
"Tetapi... Kita sudah bersama lebih dari beberapa bulan ini dan kau lihat, aku baik-baik saja", jawabku meyakinkan dirinya.
Angin tampak berpikir keras, wajahnya murung, sedih, penuh dengan kebingungan, antara memilih mengacuhkan egonya atau egoku. Aku tidak ingin melihat dirinya tertekan seperti itu, ia sudah terlalu lelah bekerja seharian ini, mungkin ini memang saatnya aku mengalah.
"Angin, baiklah... Aku mengalah. Tempatmu memang bukan di sini, tetapi di alam bebas sana. Tetapi, berjanjilah padaku untuk tinggal malam ini saja bersamaku, oke?"
Senyum mengembang diwajah angin, kurasakan hembusan tubuhnya semakin kuat. Aneh, dalam hatiku tak ada rasa khawatir diriku akan hancur oleh satu tiupan keras bibirnya, aku justru menyukainya, kekuatan tubuhnya membuatku semakin bergairah, ingin rasanya aku meledakan tubuhku berkeping-keping.
"Ups... Maafkan aku", ucapnya sambil perlahan-lahan mengurangi hembusan itu.
"Dandelionku, ternyata kau bunga tertangguh yang pernah kutemukan." Ia menyunggingkan senyum nakal yang menggoda. Itulah senyum favoritku.
"Sudah berapa bunga yang kau temui Angin?"
"Banyak... Tetapi hanya kau yang berhasil mencuri hatiku," ia tersenyum lagi, aku tersipu malu dibuatnya.
"Hmmm.... Tidak usah berlama-lama lagi. Kau mau mulai dari mana?" bisiknya lembut padaku.
"Dari ujung kepala hingga ke dalam akar hatiku."
Tanpa berlama-lama, Angin kembali mendesir dan bergelung merengkuh lembut seluruh tubuhku.
Desir angin, membisik mesra di telingaku. Daun-daun kering berdansa dalam pusaran angin, membumbung tinggi ke angkasa, seperti balerina, melenggok anggun di atas panggung teater, dedaunan dan kelopak bunga berterbangan. Dedaunan pohon menguning, melepaskan diri dari ranting, jatuh sehelai demi sehelai. Aspal dipenuhi dedaunan emas. Indahnya pemandangan di dunia emas ini.
Di sini aku. Duduk termenung di depan pintu hatiku, sedang menikmati drama musim gugur ini. Tak lama kemudian, kau kembali berhembus lembut, mengecup pipiku, membelai tengkukku, memeluk tubuhku erat. Ku gapai dirimu, kupeluk erat, berharap kau tidak akan pernah berlalu dari sisiku barang semenit saja.
"Angin, maukah kau terus berhembus bagiku? Tubuhku panas, aku butuh kesejukan dirimu di sini."
"Aku mau, aku ingin sekali mendesir, membelai wajahmu, bergelung dalam pelukanmu, tetapi... aku tidak tega, Dandelionku."
Aku tak perlu membantah dirinya, cukup mendengar namaku disebutnya saja, aku sudah mengerti.
"Dandelionku, kau begitu rapuh sayang dan diriku terlalu berbahaya untukmu, terutama untuk musim ini."
"Tapi Angin, aku tidak mau berpisah denganmu..."
"Aku tidak akan pergi jauh, aku selalu di dekatmu. Setiap hari aku berdesir halus untuk melelapkanmu dari terjaga dan membuatmu terjaga dari terlelap. Jika kau rindu aku, dengarlah riakan daun-daun itu, itulah nyanyian yang kumainkan untukmu."
Di sini aku. Duduk termenung di depan pintu hatiku, sedang menikmati drama musim gugur ini. Tak lama kemudian, kau kembali berhembus lembut, mengecup pipiku, membelai tengkukku, memeluk tubuhku erat. Ku gapai dirimu, kupeluk erat, berharap kau tidak akan pernah berlalu dari sisiku barang semenit saja.
"Angin, maukah kau terus berhembus bagiku? Tubuhku panas, aku butuh kesejukan dirimu di sini."
"Aku mau, aku ingin sekali mendesir, membelai wajahmu, bergelung dalam pelukanmu, tetapi... aku tidak tega, Dandelionku."
Aku tak perlu membantah dirinya, cukup mendengar namaku disebutnya saja, aku sudah mengerti.
"Dandelionku, kau begitu rapuh sayang dan diriku terlalu berbahaya untukmu, terutama untuk musim ini."
"Tapi Angin, aku tidak mau berpisah denganmu..."
"Aku tidak akan pergi jauh, aku selalu di dekatmu. Setiap hari aku berdesir halus untuk melelapkanmu dari terjaga dan membuatmu terjaga dari terlelap. Jika kau rindu aku, dengarlah riakan daun-daun itu, itulah nyanyian yang kumainkan untukmu."
Ambil posisi duduk terbaikmu
rentangkan jemarimu
jemarimu halus,
membelai tulang rusukku
kecupan romantismu
kita terbuai dalam euforia
Martil-martil kecil bertalu
memukul garis-garis string
menggetarkan kotak suara
meresonansi udara
menggetarkan gendang telinga
merengkuh erat hati kecilku
Emosi menuntun jiwamu
lebih dekat lagi
lebih dekat lagi
dalam pelukanku,
terlarut dalam khayalmu
ku dekap erat wajahmu di dadaku
Rasakanlah...
Dengarkan!
Ecoutez-bien!
String bergetar,
mendenting indah dalam dadaku
Raba tubuhku
belai lembut
rengkuh rusuk-rusukku
biarkan emosi membawa jiwamu
masuk ke dalam duniaku
"Ting..."
Jangan hentikan dentingan itu
"Ting... ting... ting..."
Jangan akhiri melodimu
"Ting......."
Jangan akhiri kisah kita
"Ting...."
"Ting... ting.. ting... ting.... ting...."
rentangkan jemarimu
jemarimu halus,
membelai tulang rusukku
kecupan romantismu
kita terbuai dalam euforia
Martil-martil kecil bertalu
memukul garis-garis string
menggetarkan kotak suara
meresonansi udara
menggetarkan gendang telinga
merengkuh erat hati kecilku
Emosi menuntun jiwamu
lebih dekat lagi
lebih dekat lagi
dalam pelukanku,
terlarut dalam khayalmu
ku dekap erat wajahmu di dadaku
Rasakanlah...
Dengarkan!
Ecoutez-bien!
String bergetar,
mendenting indah dalam dadaku
Raba tubuhku
belai lembut
rengkuh rusuk-rusukku
biarkan emosi membawa jiwamu
masuk ke dalam duniaku
"Ting..."
Jangan hentikan dentingan itu
"Ting... ting... ting..."
Jangan akhiri melodimu
"Ting......."
Jangan akhiri kisah kita
"Ting...."
"Ting... ting.. ting... ting.... ting...."
Dear someone
By the time
I hear the plucking on the strings
my heart beats
I listen to your fingers
tapping and popping
my blood flows
and runs into you
You play the rhythm
then I play the melody
we fly together
in paradise called harmony
Your eyes
your smile
take my breath
away
Dear darlin'
I adore you
By the time
I hear the plucking on the strings
my heart beats
I listen to your fingers
tapping and popping
my blood flows
and runs into you
You play the rhythm
then I play the melody
we fly together
in paradise called harmony
Your eyes
your smile
take my breath
away
Dear darlin'
I adore you
Ketika semua kekesalan melanda
hati membatu
pikiran dipenuhi egoisme
aku benci perasaan seperti ini
takut salah melangkah
tetapi aku sudah mengambil langkah itu
Aku ingin sehari saja egois
tidak memikirkan perasaan orang itu
tetapi aku tidak bisa
terus saja relung diriku dengan perasaan bersalah
Salahkah diriku?
Aku tidak menyia-nyiakannya
justru aku menyelamatkannya
menyelamatkan kami dari rasa saling menyesali
Sore terasa menyiksa
ingin ku lupakan sejenak
Buku-buku tidak bercerita padaku
musik menyanyi dalam bisikan
Hanya dengan menulis
kebingungan, kepedihan dan kesedihanku
perlahan terobati
hati membatu
pikiran dipenuhi egoisme
aku benci perasaan seperti ini
takut salah melangkah
tetapi aku sudah mengambil langkah itu
Aku ingin sehari saja egois
tidak memikirkan perasaan orang itu
tetapi aku tidak bisa
terus saja relung diriku dengan perasaan bersalah
Salahkah diriku?
Aku tidak menyia-nyiakannya
justru aku menyelamatkannya
menyelamatkan kami dari rasa saling menyesali
Sore terasa menyiksa
ingin ku lupakan sejenak
Buku-buku tidak bercerita padaku
musik menyanyi dalam bisikan
Hanya dengan menulis
kebingungan, kepedihan dan kesedihanku
perlahan terobati
Kisah serupa terulang kembali sekarang, saat aku berumur 21 dan David 23 tahun. Setelah bertahun-tahun meninggalkan aku ke Batam tanpa kabar, akhirnya 3 tahun yang lalu, David kembali dan merajut kisah baru denganku. Pertemuan kami semakin intens, aku semakin mengenal David luar dan dalam. Tetapi hari kemarin, segala hal yang ku tahu tentang David seperti terputar balik. Mengapa ia tidak mempercayaiku? Mengapa ia menyimpan semua ini sendirian? Mengapa ia baru jujur padaku kemarin? Aku benci harus mengingat kejadian kemarin di taman bunga.
"Darla... aku mendapat program beasiswa dan akan pergi ke Prancis..."
"APA? Prancis?? Kamu studi banding ke sana??"
"Ehm... semacam itu..."
"Astaga! Hebat!! Jangan lupa oleh-olehnya saat kembali nanti yaa." aku girang sekali mendengar berita ini, kapan lagi David bisa jalan-jalan ke Prancis? Negara yang sangat ia impi-impikan.
"Kamu gak apa-apa aku tinggal Darla?" David bertanya, menurutku itu pertanyaan yang sangat konyol.
"Hahahaha... tidak apa-apa lah, masa aku gak seneng melihat kamu pergi jalan-jalan ke Prancis? Itu impianmu kan? Kapan lagi kamu bisa ke Prancis gratis selama beberapa bulan, iya kan?" senyumku semakin girang, antusias mendengar berita keberhasilan David.
"Ehm.... maaf Darla, tapi... aku akan pergi ke Prancis dalam waktu dekat."
"Eh... apa?"
"Aku akan segera pergi."
"Oh... tidak apa-apa, kamu kan masih harus persiapan ini dan itu, masih sebulan lagi kan?"
David menundukan wajahnya, bermuram durja.
"Hei... Kamu kenapa? Kok gak semangat sih? Ini Prancis lho."
"Sebenarnya, aku sudah dapat kabar ini beberapa bulan lalu dan.... 2 hari lagi Darla."
Aku hanya terdiam; marah, kesal, aku tidak tahu harus menungkapkan apa.
"Mengapa kamu gak ngomong sama aku dari awal??!"
"Aku takut kamu sedih dan gak izinin aku."
"Apa??! Itu alasan kamu Dave? Kamu tahu gak? Kamu itu bodoh banget! Aku benci kamu!"
Aku berjalan menjauhi Dave, tetapi Dave berhasil menarik tanganku dan mendekapku erat dalam pelukannya.
"Maafin aku Darla, aku tahu aku egois banget, tetapi ini untuk masa depan kita juga Darla, makanya aku menerima beasiswa itu."
Aku meronta dalam dekapannya, ku dorong dirinya.
"Kita katamu??! Persetan dengan masa depan kita! Kamu hanya memikirkan masa depanmu saja, sekarang terserah kamu, aku gak peduli!"
"Tapi Darla, aku akan segera kembali...."
"Tujuh tahun menunggu sudah cukup bagiku! Aku lelah harus menunggu dan berharap selama bertahun-tahun!"
"Darla... Darla..."
Aku beranjak dari tempat tidurku menuju jendela. Hujan masih turun, masih deras, tetapi dia masih setia menunggu di sana. David, sehabatku yang malang dan kekasihku yang bodoh. Tetapi aku benci sekali jika harus mengingat hal itu lagi. Tetapi... Aku tidak kuasa menghukum dia seperti itu. Tampak ia kedingingan di bawah sana. David duduk meringkuk di bawah siraman hujan, wajahnya tetap mengadah pada jendela kamarku. Di balik jendela, di balik siraman hujan aku bisa melihat segaris senyuman tertarik pada bibir Dave, senyuman hangat yang mencairkan segalanya. Senyuman itu seolah berkata, "tenang Darla... aku akan terus menunggumu di sini."
Aku tak kuasa membendung air mataku. Semuanya tumpah, aku tidak tahan lagi melihat ia kedinginan di bawah sana. Aku segera keluar dari kamarku, menuruni tangga dan mengambil payung pink-ku dari dalam guci. Dengan dua putaran aku berhasil membuka kunci pintu rumahku. Perlahan aku berjalan menuju teras dan membuka payungku. Aku sampai lupa memakai sendal, tetapi aku tidak peduli. Ada nyawa yang harus terselamatkan dari pada kakiku. Ku buka gerbang dan... ku temukan dia.
Masih duduk meringkuk di bawah hujan. Hatiku semakin sakit melihat wajahnya yang basah, tubuhnya yang menggigil kedinginan, di balik senyumannya yang hangat, aku tahu giginya sedang bergemeletuk dahsyat.
"Darla" ucapnya sambil mulai berdiri.
"Jangan berdiri! Tetaplah di sana!" Aku tidak tahan jika dia harus mendekati diriku.
Perlahan aku berjalan melangkah mendekati dirinya yang masih duduk manis, patuh dibawah perintahku. Teman macam apa aku ini dan orang macam apa kamu ini Dave yang mau saja patuh pada perintahku?? Mengapa kau tidak melawan?!
Aku merasa berada di dalam ruang sesak saat berdiri tepat di samping Dave. Ku lindungi dia di bawah payungku. Senyum Dave mulai merekah kembali
"Terimakasih Princess, ehm... kok kamu gak pake alas kaki? Nanti kamu sakit lho."
Hatiku kembali bergetar. Dave, kali ini aku benar-benar membencimu!
Ku lempar payungku ke belakang, ku jatuhkan diriku duduk berlutut di samping Dave. Kuberanikan diriku, kusentuh wajahnya dengan sebelah tanganku, kulitnya dingin sekali. Mata kami saling bertemu, tangisku pun semakin menjadi-jadi. Di balik kacamatanya yang basah aku masih bisa melihat matanya berbinar bahagia dan tanpa merespon lama, ia memelukku dengan erat.
"Sssshhh... udah-udah jangan nangis lagi, aku di sini Darla, aku janji gak akan ninggalin kamu lagi," bisik Dave sambil membelai lembut rambutku.
"Enggak... Jangan Dave, kamu harus mengejar impianmu."
"No Darla... No... Aku tidak akan pergi meninggalkan orang yang aku cintai lagi."
Isak tangisku mereda. Apa katanya tadi? Cinta? Dave menatap mataku lekat dengan matanya. Cukup lama, perlahan namun pasti, wajahnya semakin mendekati wajaku, dengan lembut, ia mengecup bibirku.
Astaga... Aku pasti bermimpi!
Tubuhku membatu, mataku semakin tidak bisa terlepas menatap matanya.
This is our first kiss.
"Darla ma cherrie... Aku tidak jadi mengambil beasiswa 4 tahun itu, tetapi akan membawamu pergi ke Prancis..." segaris senyum terurai dari bibirnya yang lembut.
"Darla... aku mendapat program beasiswa dan akan pergi ke Prancis..."
"APA? Prancis?? Kamu studi banding ke sana??"
"Ehm... semacam itu..."
"Astaga! Hebat!! Jangan lupa oleh-olehnya saat kembali nanti yaa." aku girang sekali mendengar berita ini, kapan lagi David bisa jalan-jalan ke Prancis? Negara yang sangat ia impi-impikan.
"Kamu gak apa-apa aku tinggal Darla?" David bertanya, menurutku itu pertanyaan yang sangat konyol.
"Hahahaha... tidak apa-apa lah, masa aku gak seneng melihat kamu pergi jalan-jalan ke Prancis? Itu impianmu kan? Kapan lagi kamu bisa ke Prancis gratis selama beberapa bulan, iya kan?" senyumku semakin girang, antusias mendengar berita keberhasilan David.
"Ehm.... maaf Darla, tapi... aku akan pergi ke Prancis dalam waktu dekat."
"Eh... apa?"
"Aku akan segera pergi."
"Oh... tidak apa-apa, kamu kan masih harus persiapan ini dan itu, masih sebulan lagi kan?"
David menundukan wajahnya, bermuram durja.
"Hei... Kamu kenapa? Kok gak semangat sih? Ini Prancis lho."
"Sebenarnya, aku sudah dapat kabar ini beberapa bulan lalu dan.... 2 hari lagi Darla."
Aku hanya terdiam; marah, kesal, aku tidak tahu harus menungkapkan apa.
"Mengapa kamu gak ngomong sama aku dari awal??!"
"Aku takut kamu sedih dan gak izinin aku."
"Apa??! Itu alasan kamu Dave? Kamu tahu gak? Kamu itu bodoh banget! Aku benci kamu!"
Aku berjalan menjauhi Dave, tetapi Dave berhasil menarik tanganku dan mendekapku erat dalam pelukannya.
"Maafin aku Darla, aku tahu aku egois banget, tetapi ini untuk masa depan kita juga Darla, makanya aku menerima beasiswa itu."
Aku meronta dalam dekapannya, ku dorong dirinya.
"Kita katamu??! Persetan dengan masa depan kita! Kamu hanya memikirkan masa depanmu saja, sekarang terserah kamu, aku gak peduli!"
"Tapi Darla, aku akan segera kembali...."
"Tujuh tahun menunggu sudah cukup bagiku! Aku lelah harus menunggu dan berharap selama bertahun-tahun!"
"Darla... Darla..."
Aku beranjak dari tempat tidurku menuju jendela. Hujan masih turun, masih deras, tetapi dia masih setia menunggu di sana. David, sehabatku yang malang dan kekasihku yang bodoh. Tetapi aku benci sekali jika harus mengingat hal itu lagi. Tetapi... Aku tidak kuasa menghukum dia seperti itu. Tampak ia kedingingan di bawah sana. David duduk meringkuk di bawah siraman hujan, wajahnya tetap mengadah pada jendela kamarku. Di balik jendela, di balik siraman hujan aku bisa melihat segaris senyuman tertarik pada bibir Dave, senyuman hangat yang mencairkan segalanya. Senyuman itu seolah berkata, "tenang Darla... aku akan terus menunggumu di sini."
Aku tak kuasa membendung air mataku. Semuanya tumpah, aku tidak tahan lagi melihat ia kedinginan di bawah sana. Aku segera keluar dari kamarku, menuruni tangga dan mengambil payung pink-ku dari dalam guci. Dengan dua putaran aku berhasil membuka kunci pintu rumahku. Perlahan aku berjalan menuju teras dan membuka payungku. Aku sampai lupa memakai sendal, tetapi aku tidak peduli. Ada nyawa yang harus terselamatkan dari pada kakiku. Ku buka gerbang dan... ku temukan dia.
Masih duduk meringkuk di bawah hujan. Hatiku semakin sakit melihat wajahnya yang basah, tubuhnya yang menggigil kedinginan, di balik senyumannya yang hangat, aku tahu giginya sedang bergemeletuk dahsyat.
"Darla" ucapnya sambil mulai berdiri.
"Jangan berdiri! Tetaplah di sana!" Aku tidak tahan jika dia harus mendekati diriku.
Perlahan aku berjalan melangkah mendekati dirinya yang masih duduk manis, patuh dibawah perintahku. Teman macam apa aku ini dan orang macam apa kamu ini Dave yang mau saja patuh pada perintahku?? Mengapa kau tidak melawan?!
Aku merasa berada di dalam ruang sesak saat berdiri tepat di samping Dave. Ku lindungi dia di bawah payungku. Senyum Dave mulai merekah kembali
"Terimakasih Princess, ehm... kok kamu gak pake alas kaki? Nanti kamu sakit lho."
Hatiku kembali bergetar. Dave, kali ini aku benar-benar membencimu!
Ku lempar payungku ke belakang, ku jatuhkan diriku duduk berlutut di samping Dave. Kuberanikan diriku, kusentuh wajahnya dengan sebelah tanganku, kulitnya dingin sekali. Mata kami saling bertemu, tangisku pun semakin menjadi-jadi. Di balik kacamatanya yang basah aku masih bisa melihat matanya berbinar bahagia dan tanpa merespon lama, ia memelukku dengan erat.
"Sssshhh... udah-udah jangan nangis lagi, aku di sini Darla, aku janji gak akan ninggalin kamu lagi," bisik Dave sambil membelai lembut rambutku.
"Enggak... Jangan Dave, kamu harus mengejar impianmu."
"No Darla... No... Aku tidak akan pergi meninggalkan orang yang aku cintai lagi."
Isak tangisku mereda. Apa katanya tadi? Cinta? Dave menatap mataku lekat dengan matanya. Cukup lama, perlahan namun pasti, wajahnya semakin mendekati wajaku, dengan lembut, ia mengecup bibirku.
Astaga... Aku pasti bermimpi!
Tubuhku membatu, mataku semakin tidak bisa terlepas menatap matanya.
This is our first kiss.
"Darla ma cherrie... Aku tidak jadi mengambil beasiswa 4 tahun itu, tetapi akan membawamu pergi ke Prancis..." segaris senyum terurai dari bibirnya yang lembut.
Subscribe to:
Posts (Atom)