Ternyata seperti ini rasanya mendapat kado dari para sahabat ;')
Gw merasa sangat bahagia dan beruntung pada ulang tahun gw yang ke 17 ini :)
Bagaimana tidak, gw masih bisa menikmati hidup hingga tahun ke-17, bisa menikmati kesempurnaan dalam hidup gw yang kurang sempurna ini dan gw bisa menikmati manis-pahitnya kehidupan.
Selain itu, yang membuat tahun ini sangat berkesan adalah gw di kelilingi oleh temen-temen gw.
Setiap kali ulang tahun, gw ga pernah mengharapkan mendapat kado dari temen-temen gw; karena bagi gw, kado dari keluarga saja udah lebih dari cukup dan gw ga mau repotin temen-temen gw. Gw inget pertama dan terakhir kali gw dapet kado dari temen-temen adalah pada ultah gw yang ke-13, saat itu gw masih di kelas 7 SMP. Gw dapet diary dan figura monokorobo, tokoh babi item putih kesukaan gw pada masa itu. Gw suka banget hadiah itu, sampai hari ini figura foto itu masih ada dan masih utuh (ga rusak lho) dan diary-nya sudah tamat dalam waktu 1 tahun. Pada masa itu temen-temen gw tau apa hobi dan kesukaan gw. Tetapi seiring berjalannya waktu, ada semakin banyak hal yang gw suka dan temen-temen gw ga tau apa itu, sehingga setiap kali gw ulang tahun gw ga pernah dapet kado lagi. Berharap sih ia, tapi gw ga berharap lebih untuk hal tersebut.
Tetapi pada tahun ini, kado-kado mulai berbanjiran, dari temen-temen gw dapet 2 buah tas yang lucu dan cantik, topi boneka kelinci berwarna pink yang imut dan gantungan kunci; gw ga tau apakah masih akan ada hadiah susulan, kalau ia ya Amin, kalau tidak ya gak apa-apa :). Dari ade gw Yola, gw dapet sebuah kotak pensil berbentuk sepatu. Dari nenek aku mendapat banyak hadiah, 2 pack clay untuk membuat patung, 3 helai dress korea yang cantik. Belum lagi kue es krim yang akan mama bikin,Voila!
Sebenernya gw masih mau beli sepatu, tapi melihat hadiah yang mulai bejibun gw urungkan niat itu (untuk sementara :D).
Aku suka sekali menerima kado apapun itu; kalau ada sebagian orang yang beranggapan bahwa kado-kado yang tidak sesuai selera kita atau tidak memiliki fungsi yang jelas (misalnya hiasan), bagi gw semua kado itu sangat bermakna dan pasti punya manfaat tersendiri, gw hargai pemberian mereka. Secara pribadi gw sangat menggemari fashion, film, seni musik, lukis ataupun patung; semua yang berbau kerajinan tangan, bagi gw segala hal itu berseni, jadi kado-kado pemberian temen-temen gw sudah memenuhi selera gw.
Gw ga pernah mandang harga dan bentuk kado-kado itu, bagi gw asal semua pemberian itu tulus gw akan sangat senang sekali menerimanya.
Secara pribadi gw ngucapin
Thanks a lot to mama, papa, Yola, nenek, om, tante dan temen-temen, untuk semuanya, kehadiran kalian, untuk kado-kadonya dan untuk pahit-manis yang kita rasain sama-sama :)
and Great Thanks for my lovely Daddy in heaven, Thanks Lord for all the things :)
Listen
Setelah semalaman terlelap, pukul 07.00 mama membangunkan aku dan Yola. Pagi itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku menikmati bangun pagi di pulau. Rasanya enak sekali, aku membuka pintu untuk menikmati udara pagi yang tidak terlalu dingin dan berangin pastinya. Aku cukup menyesal bangun terlambat pagi itu, aku tidak sempat menikmati bahkan mengabadikan keindahan sunrise di pulau itu. Singkat cerita, aku dan Yola langsung bersiap-siap mandi dan berpakaian. Aku membawa kantong plastik kecil, berharap bisa menemukan kerang yang baru terdampar setelah semalam air laut pasang naik. Dari kejauhan aku dan Yola melihat pemandangan spektakuler, "kok air lautnya keliatan tinggi ya", "emang kayak gitu tau, karena kemaren gelap aja ga terlalu keliatan", jawabku. Tetapi penjelasan singkat itu tidak bisa menjawab pertanyaan yang ada dalam pikiranku sendiri; memang aneh. Setelah kami mendekati pantai, kami tidak menemukan bibir pantai yang kemarin kami pijak, ternyata hingga pagi itu air laut masih pasang dan belum surut juga. Perburuan kami lakukan di pinggir bibir pantai yang tidak di tutupi oleh pasang laut, kami hanya berburu beberapa kerang saja. Sebenarnya, dalam benakku aku ingin sekali berenang atau bermain pasir dan membuat istana dari pasir, tetapi karena tidak membawa peralatan, tidak ada yang menemani dan air sedang pasang, aku urungkan saja niatku itu.
Selesai berburu sedikit kerang, papa menawarkan aku dan Yola untuk ikut papa bersepeda keliling pulau. Aku menerima ajakan tersebut dengan senang hati, kapan lagi bisa seperti ini. Kami menyewa 3 sepeda sanki berkeranjang berwarna pink, dengan uang 5000 rupiah untuk 1 sepeda selama 1 jam, kami bisa mengelilingi satu pulau Untung Jawa ini. Perjalanan kami mulai. Ternyata dugaanku benar, ada pemandangan indah lainnya di sisi lain dari pulau kecil itu. Ada perkampungan kecil nan modern, ada pasar ikan, aku juga bisa melihat tanaman mangrove yang tertanam di rawa-rawa yang berbau amis (aku sedikit mual saat melewatinya); tanaman itu sudah tumbuh cukup tinggi dan membentuk canopy hijau yang indah di atas jalan setapak yang kami lewati. Sayang sekali, karena bersepeda aku tidak bisa mendokumentasikan semua keindahan yang aku lihat; "aku memilih untuk menikmati dari pada berusaha menyimpannya", tetapi aku punya rekaman singkat perjalananku melewati jalan setapak. Aku sangat menikmati hembusan angin pantai pagi itu, walaupun lagi-lagi angin pantai dalam perutku berpilin dan menyiksaku lagi. Perjalanan kami bersepeda tidak lebih dari 1/2 jam, aku senang bisa cukup berkeringat pagi itu, sisa waktu 1/2 jam itu kami berikan pada teman papa yang juga mau menyewa sepeda. Pas sekali, selesai bersepeda, waktu sarapan pagi tiba. Kali ini menu kami adalah nasi goreng. Dengan perut kosong dan lapar, aku mulai melahap habis nasi goreng, telur mata sapi dan kerupuk udang dalam sekejap. Selesai makan, aku menikmati nuansa pagi sambil menyeruput habis segelas teh manis hangat, enak sekali rasanya.
Selesai makan, aku kembali beristirahat di penginapan selama satu jam sambil menunggu perahu kami tiba. Setelah beristirahat selama 1 jam, aku dan Yola berjalan ke pantai lagi, kami melihat ada kaki lima yang menjual asesoris, masing-masing kami membeli 1 buah gantungan kunci berbentuk kerang, dengan hiasan kaca berisi kerang-kerang kecil dan kepiting kecil. Selesai membeli asesoris, kami kembali kepenginapan bersiap-siap membawa barang bawaan kami, karena perahu kami akan segera tiba. Ini adalah saat-saat paling menegangkan bagi Yola, sejak kejadian kemarin, ia takut sekali naik perahu. Bahkan sangkin takutnya Yola sampai bersumpah, ia akan menjadi anak yang rajin belajar kalau ia bisa selamat sampai seberang. Entah kenapa aku tidak yakin akan janji itu.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya perahu kami tiba, perahu kayu bermesin yang sama seperti kemari. Yola semakin tegang, ia terus berharap akan keajaiban; perahu kayu tersebut di ganti kapal Feri, tetapi harapan tinggal harapan, kami serombongan menaiki perahu kayu, aku dan keluargaku mengambil tempat duduk di tengah. Untuk mengusir ketegangan, aku mendengarkan lagu-lagu classic di ear phone-ku. Seorang anak buah perahu menutup bagian kanan perahu dengan tenda, mesin di nyalakan, sang nahkoda memundurkan perahu perlahan dan menambah kecepatan perahu hingga mesin kembali meraung. Perahu kembali melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi dari kemarin, tetapi belum sampai 5 menit, perahu kami di ombang-ambing oleh gelombang besar, gelombang yang lebih besar dari pada kemarin, aku dapat merasakan sensasi seperti naik wahana Wing di Dufan dan jika ada ombak yang sedikit lebih besar lagi, perahu kami bisa terbalik. Kali ini aku mulai ketakutan, anak-anak kecil di dalam perahu mulai berteriak dan menangis memanggil ibunya, apalagi gadis kecil di sebelah kanan Yola, ia berteriak paling kencang diantara semua anak, teriakannya membuat hatiku semakin tidak tenang, ingin sekali rasanya aku berteriak DIAM atau membekap mulutnya, tapi apa daya, tapat disebelah kirinya ada ibu anak itu. Di belakangku, Michael bahkan Yola ikutan berteriak memanggil mama, sedangkan mama sendiri juga sudah ketakutan. Michael yang ketakutan duduk di tengah, mencengkram lengan mama dan papa, mama terus memeluknya, sementara Yola mencengkram kursi kayu, sekali-sekali ya berteriak memanggil mama, mama justru tambah marah padanya; hahaha, kasihan. Aku duduk sendirian di kursi kayu mulai berdoa memohon keselamatan, aku berusaha meyakinkan diriku, kami semua akan selamat, karena Tuhanku adalah seorang pelaut yang hebat yang dapat menenangkan badai. Perlahan-lahan gerakan perahu mulai stabil, tetapi lagi-lagi ada gelombang besar dari kanan yang menghempas perahu kami, aku bisa melihat ada muncratan air yang keluar dari cela-cela tenda yang membasahi sebelah kanan kapal. Aku melihat sang nahkoda tetap tenang memutar kemudinya dan anak buahnya hanya duduk bersantai di dek depan perahu, sepertinya mereka malah menikmati pemandangan dan cipratan air asin tersebut. Aku berusaha menenangkan diri dan mencoba menikmati alunan musik di ear phone, tetapi intro lagu Sleeping Beauty Ballet - Dance Of The Lilac Fairy dari Tchaikovsky malah menambah ketegangan dalam hatiku, aku segera mematikan lagu itu menenangkan diri selama 10 detik dan mengganti play list dengan lagu-lagu Gospel, hatiku langsung tenang saat itu juga. Aku kembali menikmati ayunan keras perahuku; "untuk apa aku takut, toh perahu ini tidak akan terbalik, kalaupun terbalik aku kan bisa berenang, tetapi aku yakin perahu ini tidak akan terbalik sampai di seberang sana", aku terus memikirkan hal tersebut. Lama-kelamaan rasa takutku hilang, aku kembali menikmati symphony alam yang menakjubkan, aku malah sempat merekam sedikit lukisan alam tersebut dalam hp-ku. Aku melihat anak kecil di sebelah kanan Yola hanya bisa berpasrah dalam pelukan mamanya, Yola duduk mematung mencengkram kursi kayunya, Michael dan mama juga ikut mematung. Aku dan papa hanya bisa tertawa melihat wajah mereka yang mulai pucat dan ketakutan setengah mati. Gelombang kembali menerpa, Yola semakin memperkuat cengkramannya, Michael berteriak "mama takut", mama hanya diam membisu, untuk mencairkan suasana papa berkata "udah liat aja di seberang, pulaunya udah deket", mama hanya memberi tatapan tajam pada papa. K
Karena pada kenyataannya kami masih harus bertahan 15 menit lagi di atas perahu ini.
15 menit berlalu, kuhentikan lagu di ear phone dan menyimpan HP ku ke dalam tas, bersiap-siap menurunkan barang. Perahu berhenti di bibir pantai, lantas kami harus turun. Lagi-lagi kami turun dengan tangga kayu kecil yang kami pakai pada hari pertama naik kapal. Sampai di pulau seberang, kami duduk-duduk di warung sambil minum air kelapa. Aku sangat menikmati kelezatan air kelapa itu, Yola masih terlihat shock, terkadang ia mengumpat, "dasar kapal terkutuk, pulau terkutuk, laut terkutuk". Begitu pula dengan mama, mama tidak bisa menikmati makanan atau minuman apapun. Selesai bersantap dan membeli oleh-oleh beberapa potong ikan asin, kami kembali ke mobil dan pulang.
Siang itu menjadi siang terakhirku menikmati symphony alam laut pulau seribu. Aku masih dapat mengingat dengan jelas deburan ombak yang selalu aku dengar di pulau itu.
Sesempainya aku di rumah, aku masih merasakan boat syndrome, setiap kali aku diam, aku bisa merasakan secara nyata goyangan ombang-ambing pelan. Bahkan saat aku berbaring di tempat tidur, aku bisa merasakan tubuhku di ajak berlayar di atas perahu dan gelombang lembut ombak menina bobokan aku.
Selesai berburu sedikit kerang, papa menawarkan aku dan Yola untuk ikut papa bersepeda keliling pulau. Aku menerima ajakan tersebut dengan senang hati, kapan lagi bisa seperti ini. Kami menyewa 3 sepeda sanki berkeranjang berwarna pink, dengan uang 5000 rupiah untuk 1 sepeda selama 1 jam, kami bisa mengelilingi satu pulau Untung Jawa ini. Perjalanan kami mulai. Ternyata dugaanku benar, ada pemandangan indah lainnya di sisi lain dari pulau kecil itu. Ada perkampungan kecil nan modern, ada pasar ikan, aku juga bisa melihat tanaman mangrove yang tertanam di rawa-rawa yang berbau amis (aku sedikit mual saat melewatinya); tanaman itu sudah tumbuh cukup tinggi dan membentuk canopy hijau yang indah di atas jalan setapak yang kami lewati. Sayang sekali, karena bersepeda aku tidak bisa mendokumentasikan semua keindahan yang aku lihat; "aku memilih untuk menikmati dari pada berusaha menyimpannya", tetapi aku punya rekaman singkat perjalananku melewati jalan setapak. Aku sangat menikmati hembusan angin pantai pagi itu, walaupun lagi-lagi angin pantai dalam perutku berpilin dan menyiksaku lagi. Perjalanan kami bersepeda tidak lebih dari 1/2 jam, aku senang bisa cukup berkeringat pagi itu, sisa waktu 1/2 jam itu kami berikan pada teman papa yang juga mau menyewa sepeda. Pas sekali, selesai bersepeda, waktu sarapan pagi tiba. Kali ini menu kami adalah nasi goreng. Dengan perut kosong dan lapar, aku mulai melahap habis nasi goreng, telur mata sapi dan kerupuk udang dalam sekejap. Selesai makan, aku menikmati nuansa pagi sambil menyeruput habis segelas teh manis hangat, enak sekali rasanya.
Selesai makan, aku kembali beristirahat di penginapan selama satu jam sambil menunggu perahu kami tiba. Setelah beristirahat selama 1 jam, aku dan Yola berjalan ke pantai lagi, kami melihat ada kaki lima yang menjual asesoris, masing-masing kami membeli 1 buah gantungan kunci berbentuk kerang, dengan hiasan kaca berisi kerang-kerang kecil dan kepiting kecil. Selesai membeli asesoris, kami kembali kepenginapan bersiap-siap membawa barang bawaan kami, karena perahu kami akan segera tiba. Ini adalah saat-saat paling menegangkan bagi Yola, sejak kejadian kemarin, ia takut sekali naik perahu. Bahkan sangkin takutnya Yola sampai bersumpah, ia akan menjadi anak yang rajin belajar kalau ia bisa selamat sampai seberang. Entah kenapa aku tidak yakin akan janji itu.
Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya perahu kami tiba, perahu kayu bermesin yang sama seperti kemari. Yola semakin tegang, ia terus berharap akan keajaiban; perahu kayu tersebut di ganti kapal Feri, tetapi harapan tinggal harapan, kami serombongan menaiki perahu kayu, aku dan keluargaku mengambil tempat duduk di tengah. Untuk mengusir ketegangan, aku mendengarkan lagu-lagu classic di ear phone-ku. Seorang anak buah perahu menutup bagian kanan perahu dengan tenda, mesin di nyalakan, sang nahkoda memundurkan perahu perlahan dan menambah kecepatan perahu hingga mesin kembali meraung. Perahu kembali melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi dari kemarin, tetapi belum sampai 5 menit, perahu kami di ombang-ambing oleh gelombang besar, gelombang yang lebih besar dari pada kemarin, aku dapat merasakan sensasi seperti naik wahana Wing di Dufan dan jika ada ombak yang sedikit lebih besar lagi, perahu kami bisa terbalik. Kali ini aku mulai ketakutan, anak-anak kecil di dalam perahu mulai berteriak dan menangis memanggil ibunya, apalagi gadis kecil di sebelah kanan Yola, ia berteriak paling kencang diantara semua anak, teriakannya membuat hatiku semakin tidak tenang, ingin sekali rasanya aku berteriak DIAM atau membekap mulutnya, tapi apa daya, tapat disebelah kirinya ada ibu anak itu. Di belakangku, Michael bahkan Yola ikutan berteriak memanggil mama, sedangkan mama sendiri juga sudah ketakutan. Michael yang ketakutan duduk di tengah, mencengkram lengan mama dan papa, mama terus memeluknya, sementara Yola mencengkram kursi kayu, sekali-sekali ya berteriak memanggil mama, mama justru tambah marah padanya; hahaha, kasihan. Aku duduk sendirian di kursi kayu mulai berdoa memohon keselamatan, aku berusaha meyakinkan diriku, kami semua akan selamat, karena Tuhanku adalah seorang pelaut yang hebat yang dapat menenangkan badai. Perlahan-lahan gerakan perahu mulai stabil, tetapi lagi-lagi ada gelombang besar dari kanan yang menghempas perahu kami, aku bisa melihat ada muncratan air yang keluar dari cela-cela tenda yang membasahi sebelah kanan kapal. Aku melihat sang nahkoda tetap tenang memutar kemudinya dan anak buahnya hanya duduk bersantai di dek depan perahu, sepertinya mereka malah menikmati pemandangan dan cipratan air asin tersebut. Aku berusaha menenangkan diri dan mencoba menikmati alunan musik di ear phone, tetapi intro lagu Sleeping Beauty Ballet - Dance Of The Lilac Fairy dari Tchaikovsky malah menambah ketegangan dalam hatiku, aku segera mematikan lagu itu menenangkan diri selama 10 detik dan mengganti play list dengan lagu-lagu Gospel, hatiku langsung tenang saat itu juga. Aku kembali menikmati ayunan keras perahuku; "untuk apa aku takut, toh perahu ini tidak akan terbalik, kalaupun terbalik aku kan bisa berenang, tetapi aku yakin perahu ini tidak akan terbalik sampai di seberang sana", aku terus memikirkan hal tersebut. Lama-kelamaan rasa takutku hilang, aku kembali menikmati symphony alam yang menakjubkan, aku malah sempat merekam sedikit lukisan alam tersebut dalam hp-ku. Aku melihat anak kecil di sebelah kanan Yola hanya bisa berpasrah dalam pelukan mamanya, Yola duduk mematung mencengkram kursi kayunya, Michael dan mama juga ikut mematung. Aku dan papa hanya bisa tertawa melihat wajah mereka yang mulai pucat dan ketakutan setengah mati. Gelombang kembali menerpa, Yola semakin memperkuat cengkramannya, Michael berteriak "mama takut", mama hanya diam membisu, untuk mencairkan suasana papa berkata "udah liat aja di seberang, pulaunya udah deket", mama hanya memberi tatapan tajam pada papa. K
Karena pada kenyataannya kami masih harus bertahan 15 menit lagi di atas perahu ini.
15 menit berlalu, kuhentikan lagu di ear phone dan menyimpan HP ku ke dalam tas, bersiap-siap menurunkan barang. Perahu berhenti di bibir pantai, lantas kami harus turun. Lagi-lagi kami turun dengan tangga kayu kecil yang kami pakai pada hari pertama naik kapal. Sampai di pulau seberang, kami duduk-duduk di warung sambil minum air kelapa. Aku sangat menikmati kelezatan air kelapa itu, Yola masih terlihat shock, terkadang ia mengumpat, "dasar kapal terkutuk, pulau terkutuk, laut terkutuk". Begitu pula dengan mama, mama tidak bisa menikmati makanan atau minuman apapun. Selesai bersantap dan membeli oleh-oleh beberapa potong ikan asin, kami kembali ke mobil dan pulang.
Siang itu menjadi siang terakhirku menikmati symphony alam laut pulau seribu. Aku masih dapat mengingat dengan jelas deburan ombak yang selalu aku dengar di pulau itu.
Sesempainya aku di rumah, aku masih merasakan boat syndrome, setiap kali aku diam, aku bisa merasakan secara nyata goyangan ombang-ambing pelan. Bahkan saat aku berbaring di tempat tidur, aku bisa merasakan tubuhku di ajak berlayar di atas perahu dan gelombang lembut ombak menina bobokan aku.
Kami menuruni perahu mesin kami dan barang-barang kami, para awak kapal membantu para penumpang turun dan mengangkat barang-barang mereka, sementara aku mengangkat barangku sendiri, sebuah tas batik kecil berisi barang-barang pribadiku dan tas selempang bergambar wajah 2 anak anjing yang lucu. Dengan tubuh yang masih terhuyung-huyung oleh syndrome kapal, aku berjalan menelusuri jalan setapak dari kayu yang berdiri kokoh di atas air. Kanan-kiriku ombak bergemuru lembut menghantam bibir pantai. Aku bisa menyaksikan suasana dermaga secara langsung, aku dapat merasakan samar-samar aroma amis air asin, panas matahari yang mulai menyengat keningku yang tak berponi, seorang tour guide mengantarkan kami menuju penginapan. Ternyata kami bebas memilih penginapan manapun yang kami suka, aku dan keluargaku langsung memilih sebuah penginapan dengan design minimalis yang di perminimalis lagi, pengunapan itu berupa sebuah kamar dengan 1 ranjang dan 1 kasur busa kecil, dengan sebuah kamar mandi, AC dan TV, cukup sederhana.
Rombongan kami menikmati makan siang yang sangat lezat di bawah pohon rindang di taman. Aku pribadi menikmati nasi hangat dan aneka gorengan, aku mengambil tempe goreng, ikan goreng, cumi goreng dan udang goreng, lezaaat sekali rasanya, paduan nasi putih, daging udang yang manis, cumi goreng tepung yang gurih menjawab raungan genderang di dalam perutku,daging cumi dan udangnya terasa empuk dan lembut baik untuk mesin-mesin pencernaanku, dagingnya juga segar tidak seperti yang biasanya aku makan di rumah, terkadang kesegaran cumi dan udang yang sudah sampai di Jakarta sudah hilang dan dagingnya mulai keras karena sering diawetkan oleh es batu dan berbagai pengawet. Selesai menikmati hidangan, kurang abdol rasanya kalau belum minum, minuman kali ini adalah kelapa muda segar asli dari pulau Untung Jawa, rasanya segar bahkan manis walau tanpa gula, daging kelapanya lembut, gurih dan manis pula, aku suka makan siang hari itu.
Selesai makan siang, angin di perutku kambuh lagi, sial, padahal aku belum selesai menghabiskan air kelapanya, tetapi karena sakit perut yang sudah tak tertahankan, aku meninggalkan hidangan pencuci mulut dan langsung kembali ke penginapan untuk istirahat sejenak. Sepertinya, angin pantai yang tiada hentinya ini semakin memperburuk keadaan perut kembungku, berkali-kali aku buang angin tapi tiada habisnya, angin pantai mengisi ulang perutku lagi.
Aku tidur siang selama 2 jam, rasanya enak dan segar sekali setelah bangun dari tidur, melihat waktu yang menunjukan pukul 5, aku segera bergegas untuk menikmati acara soreku di pulau mungil ini dan aku tidak mau ketinggalan pemandangan indah sunset di pantai. Singkat cerita, selesai mandi, aku dan Yola pergi ke toko gift di pulau itu. Setelah memilah-milih aku memutuskan untuk membeli 2 kalung hati berwarna hijau muda dengan hiasan pasir, kuda laut dan kerang di dalamnya. Yola membeli beberapa buah gelang berwarna pink dan biru muda dengan hiasan pasir dan kerang didalamnya. Selesai membeli gift, kami kembali sebentar ke penginapan untuk menaruh gift kami dan segera bergegas ke bibir pantai untuk menikmati pemandangan sunset.
Aaah... Indah bukan, tapi lag-lagi sial, hembusan angin pantai menusuk perutku, tapi kali ini aku hiraukan saja. Aku mulai berfoto-foto lagi dengan Yola, kami menulis nama kami di pasir, berfoto dengan ombak, mengumpulkan kerang yang terserak di bibir pantai sebanyak satu kantong besar hingga matahari benar-benar tenggelam dan langit diselimuti permadani hitam dengan beberapa kilauan berlian kecilnya.
Ternyata kegiatan mencari kerang menjadi kegiatan rank 1 malam itu, aku dan Yola sampai lupa makan malam, dari pada kehabisan makan malam. Setelah mencuci tangan sampai bersih dari pasir, aku langsung mengambil piring dan teman-temannya. Lagi-lagi kami disuguhi dengan masakan laut segar dan enak, kali ini ditambah tahu goreng, telur dan kerupuk udang. Aku mengambil nasi putih yang masih hangat, cumi pedas, tahu dan kerupuk udang, rasanya benar-benar maknyusss! Di tepi pantai yang dingin, aku menikmati lezatnya paduan nasi hangat dengan cumi pedasnya yang menghangatkan tubuhku, kerupuk udangnya terasa manis, seperti daging udang yang kurasakan tadi siang. Selesai menghabiskan makan malam, ku teguk air putih dan lengkap sudah makan malamku. Selesai makan, kami semua para rombongan berkumpul membentuk lingkaran dalam satu meja panjang kami melakukan refleksi dan pembahasan sebuah buku yang menyinggung tentang 7 rahasia sukses yang di pimpin oleh seorang bapak. Bapak ini hanya mengungkapkan garis besar dari isi buku tersebut dan menyebutkan beberapa rahasia sukses. Karena sudah mulai ngantuk dan capek, aku hanya menangkap satu point, rahasia sebuah sukses adalah berkat doa dari orang tua. Tanpa kehadiran orang tua, kita tidak akan hadir disini pula, tanpa bimbingan baik dari orang tua, kita tidak akan bisa tumbuh dan berkembang menjadi orang yang baik dan sukses seperti sekarang ini.
Selesai refleksi, aku dan Yola melanjutkan acara mencari kerang sebentar dan bermain di taman bermain pantai. Pertama aku mencoba bermain jungkat-jungkit dengan Yola, tapi batal, karena aku takut tidak bisa turun karena beratku dan Yola yang sangat amat tidak seimbang. Aku mencoba bermain ayunan dengan si kecil Michael. Setiap kali aku mengayunkan tubuhku, aku teringat masa kecilku saat TK dulu, aku suka sekali bermain ayunan, bahkan dengan kaki kecilku aku berusaha untuk bisa mengayunkan ayunan setinggi-tingginya, aku suka menikmati terpaan angin saat naik ayunan, aku suka mengamati kakiku yang terayun tinggi ke angkasa saat berayun, tetapi malam itu aku bukan gadis kecil berumur 5 tahun lagi, aku adalah gadis remaja berumur 17 tahun. Wow! Sekarang aku benar-benar percaya bahwa selain berjalan, ternyata waktu juga bisa berlari. "Wohooo", itu adalah teriakan kebebasanku setiap kali aku bermain ayunan, malam itu aku berteriak dengan suara altoku; aku sangat menikmati kebebasanku malam itu. Merasa puas mengusutkan rambutku dengan terpaan kencang angin laut, aku turun dari ayunan dan membawa Michael bersama denganku kembali ke penginapan.
Setelah mengganti baju, sikat gigi, cuci kaki, mengecek Facebook-ku yang sudah dipenuhi ucapan selamat ulang tahun dan berdoa, aku membaringkan tubuhku di atas kasur busa kecil di lantai, sialnya malam itu aku harus berbagi kasur kecil dengan Yola. Tetapi karena sudah terlalu capek, lelah dan puas, itu tidak menjadi masalah bagiku, baru beberapa menit membaringkan tubuh, aku sudah bisa masuk kealam bawah sadarku dan terlelap. Lagi-lagi aku memimpikan Jelly malam itu, aku pernah bersumpah tidak ingin memimpikan itu lagi, tetapi karena tidak mau terbebani, ku nikmati malam itu, bertemu dengan Jelly di awang-awang untuk sesaat.
Apakah sebegitu rindunya diriku padanya hingga sehari saja tidak bertemu di dunia, aku pasti bertemu dengannya di dunia mimpi?
Entahlah, tapi kalau direka ulang dengan logika, memang dari pagi aku sangat menunggu kehadirannya untuk mengucapkan salam bagiku. Berlebihan memang, tetapi tidak ada salahnya berharap akan kehadiran seseorang dan malam itu sebelum aku tidur, harapanku terjawab.
Rombongan kami menikmati makan siang yang sangat lezat di bawah pohon rindang di taman. Aku pribadi menikmati nasi hangat dan aneka gorengan, aku mengambil tempe goreng, ikan goreng, cumi goreng dan udang goreng, lezaaat sekali rasanya, paduan nasi putih, daging udang yang manis, cumi goreng tepung yang gurih menjawab raungan genderang di dalam perutku,daging cumi dan udangnya terasa empuk dan lembut baik untuk mesin-mesin pencernaanku, dagingnya juga segar tidak seperti yang biasanya aku makan di rumah, terkadang kesegaran cumi dan udang yang sudah sampai di Jakarta sudah hilang dan dagingnya mulai keras karena sering diawetkan oleh es batu dan berbagai pengawet. Selesai menikmati hidangan, kurang abdol rasanya kalau belum minum, minuman kali ini adalah kelapa muda segar asli dari pulau Untung Jawa, rasanya segar bahkan manis walau tanpa gula, daging kelapanya lembut, gurih dan manis pula, aku suka makan siang hari itu.
Selesai makan siang, angin di perutku kambuh lagi, sial, padahal aku belum selesai menghabiskan air kelapanya, tetapi karena sakit perut yang sudah tak tertahankan, aku meninggalkan hidangan pencuci mulut dan langsung kembali ke penginapan untuk istirahat sejenak. Sepertinya, angin pantai yang tiada hentinya ini semakin memperburuk keadaan perut kembungku, berkali-kali aku buang angin tapi tiada habisnya, angin pantai mengisi ulang perutku lagi.
Aku tidur siang selama 2 jam, rasanya enak dan segar sekali setelah bangun dari tidur, melihat waktu yang menunjukan pukul 5, aku segera bergegas untuk menikmati acara soreku di pulau mungil ini dan aku tidak mau ketinggalan pemandangan indah sunset di pantai. Singkat cerita, selesai mandi, aku dan Yola pergi ke toko gift di pulau itu. Setelah memilah-milih aku memutuskan untuk membeli 2 kalung hati berwarna hijau muda dengan hiasan pasir, kuda laut dan kerang di dalamnya. Yola membeli beberapa buah gelang berwarna pink dan biru muda dengan hiasan pasir dan kerang didalamnya. Selesai membeli gift, kami kembali sebentar ke penginapan untuk menaruh gift kami dan segera bergegas ke bibir pantai untuk menikmati pemandangan sunset.
Aaah... Indah bukan, tapi lag-lagi sial, hembusan angin pantai menusuk perutku, tapi kali ini aku hiraukan saja. Aku mulai berfoto-foto lagi dengan Yola, kami menulis nama kami di pasir, berfoto dengan ombak, mengumpulkan kerang yang terserak di bibir pantai sebanyak satu kantong besar hingga matahari benar-benar tenggelam dan langit diselimuti permadani hitam dengan beberapa kilauan berlian kecilnya.
Ternyata kegiatan mencari kerang menjadi kegiatan rank 1 malam itu, aku dan Yola sampai lupa makan malam, dari pada kehabisan makan malam. Setelah mencuci tangan sampai bersih dari pasir, aku langsung mengambil piring dan teman-temannya. Lagi-lagi kami disuguhi dengan masakan laut segar dan enak, kali ini ditambah tahu goreng, telur dan kerupuk udang. Aku mengambil nasi putih yang masih hangat, cumi pedas, tahu dan kerupuk udang, rasanya benar-benar maknyusss! Di tepi pantai yang dingin, aku menikmati lezatnya paduan nasi hangat dengan cumi pedasnya yang menghangatkan tubuhku, kerupuk udangnya terasa manis, seperti daging udang yang kurasakan tadi siang. Selesai menghabiskan makan malam, ku teguk air putih dan lengkap sudah makan malamku. Selesai makan, kami semua para rombongan berkumpul membentuk lingkaran dalam satu meja panjang kami melakukan refleksi dan pembahasan sebuah buku yang menyinggung tentang 7 rahasia sukses yang di pimpin oleh seorang bapak. Bapak ini hanya mengungkapkan garis besar dari isi buku tersebut dan menyebutkan beberapa rahasia sukses. Karena sudah mulai ngantuk dan capek, aku hanya menangkap satu point, rahasia sebuah sukses adalah berkat doa dari orang tua. Tanpa kehadiran orang tua, kita tidak akan hadir disini pula, tanpa bimbingan baik dari orang tua, kita tidak akan bisa tumbuh dan berkembang menjadi orang yang baik dan sukses seperti sekarang ini.
Selesai refleksi, aku dan Yola melanjutkan acara mencari kerang sebentar dan bermain di taman bermain pantai. Pertama aku mencoba bermain jungkat-jungkit dengan Yola, tapi batal, karena aku takut tidak bisa turun karena beratku dan Yola yang sangat amat tidak seimbang. Aku mencoba bermain ayunan dengan si kecil Michael. Setiap kali aku mengayunkan tubuhku, aku teringat masa kecilku saat TK dulu, aku suka sekali bermain ayunan, bahkan dengan kaki kecilku aku berusaha untuk bisa mengayunkan ayunan setinggi-tingginya, aku suka menikmati terpaan angin saat naik ayunan, aku suka mengamati kakiku yang terayun tinggi ke angkasa saat berayun, tetapi malam itu aku bukan gadis kecil berumur 5 tahun lagi, aku adalah gadis remaja berumur 17 tahun. Wow! Sekarang aku benar-benar percaya bahwa selain berjalan, ternyata waktu juga bisa berlari. "Wohooo", itu adalah teriakan kebebasanku setiap kali aku bermain ayunan, malam itu aku berteriak dengan suara altoku; aku sangat menikmati kebebasanku malam itu. Merasa puas mengusutkan rambutku dengan terpaan kencang angin laut, aku turun dari ayunan dan membawa Michael bersama denganku kembali ke penginapan.
Setelah mengganti baju, sikat gigi, cuci kaki, mengecek Facebook-ku yang sudah dipenuhi ucapan selamat ulang tahun dan berdoa, aku membaringkan tubuhku di atas kasur busa kecil di lantai, sialnya malam itu aku harus berbagi kasur kecil dengan Yola. Tetapi karena sudah terlalu capek, lelah dan puas, itu tidak menjadi masalah bagiku, baru beberapa menit membaringkan tubuh, aku sudah bisa masuk kealam bawah sadarku dan terlelap. Lagi-lagi aku memimpikan Jelly malam itu, aku pernah bersumpah tidak ingin memimpikan itu lagi, tetapi karena tidak mau terbebani, ku nikmati malam itu, bertemu dengan Jelly di awang-awang untuk sesaat.
Apakah sebegitu rindunya diriku padanya hingga sehari saja tidak bertemu di dunia, aku pasti bertemu dengannya di dunia mimpi?
Entahlah, tapi kalau direka ulang dengan logika, memang dari pagi aku sangat menunggu kehadirannya untuk mengucapkan salam bagiku. Berlebihan memang, tetapi tidak ada salahnya berharap akan kehadiran seseorang dan malam itu sebelum aku tidur, harapanku terjawab.
Monday, December 20, 2010
Sajak dan Prosa 2009
0
comments
17th year of me - Perjalanan ke Pulau Untung Jawa
18 Desember 2010
hari yang paling aku nanti-nantiin sejak sebulan yang lalu. Aku bener-bener ga sabar memiliki status remaja 17 tahun, entah karena alasan apa aku merasakan aura kedewasaan dan kebebasan.
Sebelumnya izinkan aku melakukan sebuah pengakuan. Pada hari itu aku bolos sekolah atas persetujuan kedua orang tua gw dan pastinya atas persetujuan aku juga. Bukan kebetulan (karena aku ga pernah percaya akan kebetulan) pada tanggal 18 Desember lalu kami sekeluarga mau pergi ke Pulau Seribu (di Pulau Untung Jawa) yang merupakan program liburan gratis dari Jamsostek (kantor tempat papa bekerja), hari itu hari Sabtu dan sekolah masih berlangsung, aku di hadapi 2 pilihan, sekolah atau ikut liburan. Hanya dengan membuat sebuah alasan classic 'sakit', aku bisa bolos dengan leluasa, hahaha. Curang memang, tetapi aku menekankan, hidup adalah pilihan, aku ga mau menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini, so aku pilih liburan, lagi pula nyokap dan bokap setuju. Tetapi setiap pilihan ada resikonya dan karma does exist! Sehari sebelum keberangkatan kita sekeluarga udah setuju akan acara bolos ini, bahkan aku dan Yola sudah memilih-milih penyakit apa yang akan kami jadikan alasan nanti, Yola milih sakit perut dan aku milih masuk angin dan kembung (alasan yang paling nendang karena pada hari kamis dan jumat (16-17) aku selalu pulang malam karena ada pergelaran Symphony Orchestra), dan ternyata pilihan penyakit itu menjadi penyakit beneran bagiku, beruntunglah Yola tidak mendapat karma hari itu. So hadiah pertamaku saat bangun pagi adalah tabuhan Bodhran (angin perut kembung yang berputar) dan tiupan Sangkakala (buang angin).
Tapi beruntunglah Tuhan memang baik, perut kembung itu sama sekali gak mengganggu akitivitasku saat belibur.
Perjalanan pertama kami tempuh dengan mobil, kami akan berangkat dari Muara Karang dan perjalanan berikutnya di lanjutkan dengan perahu motor kayu besar, sayang aku lupa nama kapalnya. Walaupun sempat merasa ketakutan, aku menikmati perjalanan 20 menit mengapung di atas laut Jawa tersebut, itu adalah pengalaman pertamaku nyebrang antar pulau dengan perahu, tidak jarang perahu yang kami tumpangi di terpa oleh ombak sedang yang cukup mengagetkan dan memukau. Ini pertama kalinya aku menaiki kapal dengan tangga kayu kecil dan pegangan dari bambu yang di pegang oleh awak kapal. Panjang tangga itu tidak sampai 5 meter, tetapi jantungku bertalu cukup keras dan tangan kiriku mulai mati rasa, aku takut kalau saja aku secara tidak sengaja menjatuhkan tas laptopku. Semua penumpang sudah duduk, mesin di nyalakan, sang nahkoda mulai memutar kemudinya, perahu berjalan mundur perlahan-lahan dan memutar 180 derajat, dengan penuh keyakinan sang nahkoda menambah kecepatan perahunya, mesin perahu mulai meraung ganas dan perahu mulai meluncur seperti mata peluru yang melawan ombak, kadang perahu tersebut sedikit oleng, tetapi disiinilah perjalanan berkesan itu dimulai.
Yola dan mama tampak ketakutan melihat ombak yang berkali-kali mengempas dan menggoyangkan kapal kami, mama terus merangkul Michael dan mencengkram tangan papa sedangkan Yola mencengkram kursi kayu. Tetapi berbeda dengan ku, justru aku sangat menikmati ombak tersebut, mungkin karena pengaruh latihan dan konser Orchestra, bagi ku, gelombang ombak tersebut melukiskan nyanyian alam yang tidak ada hentinya, bunyi gulungan ombak terdengar seperti tepuk tangan riuh dari penonton yang tidak ada hentinya yang mengharapkan penampilan lebih Orchestra alam tersebut, hempasan ombak pada body perahu terdengar seperti pukulan Crash Cymbal, gelombang seperti Crescendo besar yang di lukiskan oleh ayunan tongkat konduktor, deru mesin perahu terdengar seperti tabuhan Timpani dan Gran Cassa yang tidak ada henti-hentinya bergema hingga kami sampai ke seberang. Tidak hanya itu, ombak itu juga menampilkan lukisan permadani biru yang indah yang bergulung-gulung tanpa akhir dan ujung, buih air asin yang terhempas bak hiasan yang memperindah permadani tersebut. 20 menit berlalu Symphony dan lukisan alam tersebut harus berakhir, aku dan para penumpang harus turun dari kapal dan berjalan beberapa meter menuju penginapan kami. Kedatangan kami di sambut oleh tiupan angin pulau yang tidak ada hentinya. Aku suka hembusan angin tetapi aku terganggu oleh angin itu, selain karena merusak tataan rambutku, angin ini juga menambah parah keadaan perut kembungku. "Sial!!", umpatku dalam hati
hari yang paling aku nanti-nantiin sejak sebulan yang lalu. Aku bener-bener ga sabar memiliki status remaja 17 tahun, entah karena alasan apa aku merasakan aura kedewasaan dan kebebasan.
Sebelumnya izinkan aku melakukan sebuah pengakuan. Pada hari itu aku bolos sekolah atas persetujuan kedua orang tua gw dan pastinya atas persetujuan aku juga. Bukan kebetulan (karena aku ga pernah percaya akan kebetulan) pada tanggal 18 Desember lalu kami sekeluarga mau pergi ke Pulau Seribu (di Pulau Untung Jawa) yang merupakan program liburan gratis dari Jamsostek (kantor tempat papa bekerja), hari itu hari Sabtu dan sekolah masih berlangsung, aku di hadapi 2 pilihan, sekolah atau ikut liburan. Hanya dengan membuat sebuah alasan classic 'sakit', aku bisa bolos dengan leluasa, hahaha. Curang memang, tetapi aku menekankan, hidup adalah pilihan, aku ga mau menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini, so aku pilih liburan, lagi pula nyokap dan bokap setuju. Tetapi setiap pilihan ada resikonya dan karma does exist! Sehari sebelum keberangkatan kita sekeluarga udah setuju akan acara bolos ini, bahkan aku dan Yola sudah memilih-milih penyakit apa yang akan kami jadikan alasan nanti, Yola milih sakit perut dan aku milih masuk angin dan kembung (alasan yang paling nendang karena pada hari kamis dan jumat (16-17) aku selalu pulang malam karena ada pergelaran Symphony Orchestra), dan ternyata pilihan penyakit itu menjadi penyakit beneran bagiku, beruntunglah Yola tidak mendapat karma hari itu. So hadiah pertamaku saat bangun pagi adalah tabuhan Bodhran (angin perut kembung yang berputar) dan tiupan Sangkakala (buang angin).
Tapi beruntunglah Tuhan memang baik, perut kembung itu sama sekali gak mengganggu akitivitasku saat belibur.
Perjalanan pertama kami tempuh dengan mobil, kami akan berangkat dari Muara Karang dan perjalanan berikutnya di lanjutkan dengan perahu motor kayu besar, sayang aku lupa nama kapalnya. Walaupun sempat merasa ketakutan, aku menikmati perjalanan 20 menit mengapung di atas laut Jawa tersebut, itu adalah pengalaman pertamaku nyebrang antar pulau dengan perahu, tidak jarang perahu yang kami tumpangi di terpa oleh ombak sedang yang cukup mengagetkan dan memukau. Ini pertama kalinya aku menaiki kapal dengan tangga kayu kecil dan pegangan dari bambu yang di pegang oleh awak kapal. Panjang tangga itu tidak sampai 5 meter, tetapi jantungku bertalu cukup keras dan tangan kiriku mulai mati rasa, aku takut kalau saja aku secara tidak sengaja menjatuhkan tas laptopku. Semua penumpang sudah duduk, mesin di nyalakan, sang nahkoda mulai memutar kemudinya, perahu berjalan mundur perlahan-lahan dan memutar 180 derajat, dengan penuh keyakinan sang nahkoda menambah kecepatan perahunya, mesin perahu mulai meraung ganas dan perahu mulai meluncur seperti mata peluru yang melawan ombak, kadang perahu tersebut sedikit oleng, tetapi disiinilah perjalanan berkesan itu dimulai.
Yola dan mama tampak ketakutan melihat ombak yang berkali-kali mengempas dan menggoyangkan kapal kami, mama terus merangkul Michael dan mencengkram tangan papa sedangkan Yola mencengkram kursi kayu. Tetapi berbeda dengan ku, justru aku sangat menikmati ombak tersebut, mungkin karena pengaruh latihan dan konser Orchestra, bagi ku, gelombang ombak tersebut melukiskan nyanyian alam yang tidak ada hentinya, bunyi gulungan ombak terdengar seperti tepuk tangan riuh dari penonton yang tidak ada hentinya yang mengharapkan penampilan lebih Orchestra alam tersebut, hempasan ombak pada body perahu terdengar seperti pukulan Crash Cymbal, gelombang seperti Crescendo besar yang di lukiskan oleh ayunan tongkat konduktor, deru mesin perahu terdengar seperti tabuhan Timpani dan Gran Cassa yang tidak ada henti-hentinya bergema hingga kami sampai ke seberang. Tidak hanya itu, ombak itu juga menampilkan lukisan permadani biru yang indah yang bergulung-gulung tanpa akhir dan ujung, buih air asin yang terhempas bak hiasan yang memperindah permadani tersebut. 20 menit berlalu Symphony dan lukisan alam tersebut harus berakhir, aku dan para penumpang harus turun dari kapal dan berjalan beberapa meter menuju penginapan kami. Kedatangan kami di sambut oleh tiupan angin pulau yang tidak ada hentinya. Aku suka hembusan angin tetapi aku terganggu oleh angin itu, selain karena merusak tataan rambutku, angin ini juga menambah parah keadaan perut kembungku. "Sial!!", umpatku dalam hati
Hari ini adalah hari terakhir latihan intensif untuk pentas Orchestra The Phantom of The Opera.
Sumpah, jujur aja gw capek, tiap hari dari jam 09.00-13.00 gw dan temen-temen orkestra latihan terus. Tapi walaupun demikian, gw bisa menikmati, gw bisa merasa puas dan bisa semakin akrab dengan temen kecil gw si Matilda, Clarinet 1 punya sekolah yang gw sayang banget. Gimana gak sayang, tiap kali gw bawa pulang ke rumah pasti ada aja perawatan buat si Matilda, entah itu gw bersiin ulang, ato gw kasih handbody ato gw bersiin kerak-kerak hijau yang nempel di besi-besi Matilda pake pembersih make up (karena sebelum gw pake, Matilda gak terawat dengan baik oleh tuannya yang pertama), gw jadi ragu untuk melepaskan Matilda dari cengkraman gw tahun depan :'(
Kembali ke Orchestra. Besok adalah malam pertama gw tampil di depan umum sebagai bagian Orchestra. Sebenernya tadi siang udah ada gladi resik dan ditonton oleh temen-temen dan guru-guru (tebakan gw bener, Jelly juga nonton :D). Sumpeh gw tremor, jari-jari gw gemeteran gw belum terbiasa tampil kayak gitu, udah pake gaun lengkap, high heels yang tinggi banget, diliatin orang, tapi untungnya gw bisa berusaha tenang walaupun awal lagu Matilda ga bunyi sama sekali, padahal itu bagian yang paling gw suka, semoga aja itu ga terulang besok.
Gw ga mau usaha gw selama 2 minggu untuk pertunjukan 2 hari berakhir dengan kesia-siaan. Siang ini gw bener-bener merasakannya.
Total latihan Orchestra dan gladi resik hari ini berlangsung selama 4 jam. Setelah gladi resik gw lanjutin kegiatan gw latihan untuk Taize di rumah Nanad sampe jam 4 sore.
Perjalanan pulang ke rumah hari ini juga ikut melelahkan, gw numpang mobil Chila sampe depan perumahan rumah Nanad. Karena mau berhemat dan ga tau rute angkot,gw ngambil tindakan paling bijak dan memungkinkan, gw jalan kaki dari depan Puspita Loka sampe Sanur dan di lanjutkan ke pasar modern, gile gw menempuh jarak tersebut dalam waktu 15 menit, cukup luar binasa untuk sepasang kaki gw yang kecil.
Perjalanan berikutnya gw lanjutkan dalam angkot. Belum pernah gw bisa menikmati nyamannya duduk di atas angkot seperti sore ini, efek jalan dari Puspita Loka memberi sensasi kepuasan tersendiri saat gw duduk. Dalam perjalanan di atas angkot gw mengisi kembali tenaga gw untuk melanjutkan perjalanan dengan berlajan kaki dari tanah gusuran sampe rumah, jaraknya gak beda jauh kalo kita berjalan dari Puspita Loka sampe Autopart, mantab!
Singkat cerita gw nyampe di tanah gusuran dan menyiapkan kaki untuk melangkah sampe ke rumah. Gw mencoba melupakan keluh kesa gw atas kaki gw yang udah mulai pegel, gw menyenandungkan lagu yang gw mainkan dengan suling saat latihan Taize tadi, "dalam Tuhan-ku bersyukur dalam lagu pujian, Tuhanlah penyelamatku, dalam Dialah suka cita, dalam Dialah suka cita" dan lagu "Pujilah Tuhan, pujilah Nama-Nya, pujilah Tuhan, sumber kehidupan". Ternyata bukan cuma lewat doa, lewat senandungpun Tuhan tahu apa kebutuhan gw :D
Tiba-tiba saja datang seorang bapak dengan sepeda motor butut yang menawarkan tumpangan buat gw sampe ke atas (karena jalan di tanah gusuran itu turunan dan tanjakan), "dek mau ikut bapak gak?". Pertama-tama gw ragu dan takut dong, tapi setelah gw liat wajah bapak itu tidak menunjukan wajah kriminal dan ditambah kaki gw terasa pegel gw pun menerima tawaran bapak. Sepanjang jalan si bapak menyapa orang-orang yang lewat atau berpas-pasan dengannya, gak jarang si bapak itu juga bercanda dengan mereka; tiba-tiba saja bapak itu mengangkat tangan kirinya seraya hormat pada ibu-ibu yang lewat dengan motor dan mereka tertawa, atau menggoda ibu-ibu yang sedang bengong hingga ibu itu tertawa. Hahaha, lucu juga bapak ini dan ternyata banyak orang yang kenal dengan bapak ini, semua orang menyapanya. Sampai di depan gerbang rumah si bapak, gw minta turun, gak enak kalo ada orang asing yang nganterin gw sampe rumah (selain tukang ojek). "Terimakasih ya pak", ucap gw setelah turun dari motor. Oh my God! Gw lupa nanya siapa nama bapak berambut cepak itu, pas gw mau nanya si bapak udah masukin motor ke dalam rumah dan dia lagi keasikan bercanda sama anak cewe-nya,"ih cantik euy, manis deh senyumnya", celetuk si bapak, gw ga enak kalo harus mengganggu momen tersebut. Gw pun melanjutkan sisa perjalanan dengan berjalan kaki, gw berjalan melewati jalan tikus yang hanya bertanah merah dengan kebun singkong + ilalang di sebelah kanan gw dan tembok rumah dengan semen kasar di sebelah kiri gw. Dalam perjalanan tersebut gw bertemu dengan si mbok, ibu-nya kak Oges (catatan dia cewe) yang sedang membakar sampah. Si mbok sudah tua renta, tapi tetap masih terlihat sesegar saat 10 tahun yang lalu, tidak banyak yang berubah; mbok masih tinggal di gubur reot di sebelah kebun dan di antara tanaman pisang, pakaian mbok masih sama lusuhnya (baju biru tua dekil, sarung coklat dan sandal jepit adalah atribut-atribut utama mbok). Gw ngobrol cukup banyak, tentang kak Oges yang sedang kerja lembur di swalayan mengumpulkan uang untuk lanjut sekolah di sekolah kejuruan, gw merasa iba dan bangga juga mendengar cerita mbok, mereka (mbok, bapak dan kak Oges) bisa tinggal bersama dengan akur di gubuk tua yang hanya berupa lapisan seng sebagai dinding dan atap dan kayus sebagai penyangga atapnya, dengan 1 kamar tidur, tanpa ruang makan, dapur outdoor, dan lantai hanya berupa tanah kira-kira itulah hal yang gw inget dari rumah mbok saat pertama dan terakhir kalinya gw kunjungi dulu saat gw masih TK B, hingga tadi gw belum pernah di undang masuk lagi ke rumah si mbok. Mbok juga bercerita soal anak majikannya (mbok bekerja sebagai PRT), anak peremuan tunggal kelas 6 SD yang manja banget, apa-apa maunya dilayani, ditemeni, ya maklum kedua orang tuanya sibuk kerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Gw bisa melihat perbedaan yang sangat kontras di sini dan gw merasa sangat beruntung tidak menjadi kedua-nya, gw tinggal di rumah beratap genting dan gw bukan anak manja yang apa-apa harus dilayani. Tapi suatu hari nanti gw juga harus bisa mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan gw sendiri dan keluarga gw juga.
Thanks Father :D
Sumpah, jujur aja gw capek, tiap hari dari jam 09.00-13.00 gw dan temen-temen orkestra latihan terus. Tapi walaupun demikian, gw bisa menikmati, gw bisa merasa puas dan bisa semakin akrab dengan temen kecil gw si Matilda, Clarinet 1 punya sekolah yang gw sayang banget. Gimana gak sayang, tiap kali gw bawa pulang ke rumah pasti ada aja perawatan buat si Matilda, entah itu gw bersiin ulang, ato gw kasih handbody ato gw bersiin kerak-kerak hijau yang nempel di besi-besi Matilda pake pembersih make up (karena sebelum gw pake, Matilda gak terawat dengan baik oleh tuannya yang pertama), gw jadi ragu untuk melepaskan Matilda dari cengkraman gw tahun depan :'(
Kembali ke Orchestra. Besok adalah malam pertama gw tampil di depan umum sebagai bagian Orchestra. Sebenernya tadi siang udah ada gladi resik dan ditonton oleh temen-temen dan guru-guru (tebakan gw bener, Jelly juga nonton :D). Sumpeh gw tremor, jari-jari gw gemeteran gw belum terbiasa tampil kayak gitu, udah pake gaun lengkap, high heels yang tinggi banget, diliatin orang, tapi untungnya gw bisa berusaha tenang walaupun awal lagu Matilda ga bunyi sama sekali, padahal itu bagian yang paling gw suka, semoga aja itu ga terulang besok.
Gw ga mau usaha gw selama 2 minggu untuk pertunjukan 2 hari berakhir dengan kesia-siaan. Siang ini gw bener-bener merasakannya.
Total latihan Orchestra dan gladi resik hari ini berlangsung selama 4 jam. Setelah gladi resik gw lanjutin kegiatan gw latihan untuk Taize di rumah Nanad sampe jam 4 sore.
Perjalanan pulang ke rumah hari ini juga ikut melelahkan, gw numpang mobil Chila sampe depan perumahan rumah Nanad. Karena mau berhemat dan ga tau rute angkot,gw ngambil tindakan paling bijak dan memungkinkan, gw jalan kaki dari depan Puspita Loka sampe Sanur dan di lanjutkan ke pasar modern, gile gw menempuh jarak tersebut dalam waktu 15 menit, cukup luar binasa untuk sepasang kaki gw yang kecil.
Perjalanan berikutnya gw lanjutkan dalam angkot. Belum pernah gw bisa menikmati nyamannya duduk di atas angkot seperti sore ini, efek jalan dari Puspita Loka memberi sensasi kepuasan tersendiri saat gw duduk. Dalam perjalanan di atas angkot gw mengisi kembali tenaga gw untuk melanjutkan perjalanan dengan berlajan kaki dari tanah gusuran sampe rumah, jaraknya gak beda jauh kalo kita berjalan dari Puspita Loka sampe Autopart, mantab!
Singkat cerita gw nyampe di tanah gusuran dan menyiapkan kaki untuk melangkah sampe ke rumah. Gw mencoba melupakan keluh kesa gw atas kaki gw yang udah mulai pegel, gw menyenandungkan lagu yang gw mainkan dengan suling saat latihan Taize tadi, "dalam Tuhan-ku bersyukur dalam lagu pujian, Tuhanlah penyelamatku, dalam Dialah suka cita, dalam Dialah suka cita" dan lagu "Pujilah Tuhan, pujilah Nama-Nya, pujilah Tuhan, sumber kehidupan". Ternyata bukan cuma lewat doa, lewat senandungpun Tuhan tahu apa kebutuhan gw :D
Tiba-tiba saja datang seorang bapak dengan sepeda motor butut yang menawarkan tumpangan buat gw sampe ke atas (karena jalan di tanah gusuran itu turunan dan tanjakan), "dek mau ikut bapak gak?". Pertama-tama gw ragu dan takut dong, tapi setelah gw liat wajah bapak itu tidak menunjukan wajah kriminal dan ditambah kaki gw terasa pegel gw pun menerima tawaran bapak. Sepanjang jalan si bapak menyapa orang-orang yang lewat atau berpas-pasan dengannya, gak jarang si bapak itu juga bercanda dengan mereka; tiba-tiba saja bapak itu mengangkat tangan kirinya seraya hormat pada ibu-ibu yang lewat dengan motor dan mereka tertawa, atau menggoda ibu-ibu yang sedang bengong hingga ibu itu tertawa. Hahaha, lucu juga bapak ini dan ternyata banyak orang yang kenal dengan bapak ini, semua orang menyapanya. Sampai di depan gerbang rumah si bapak, gw minta turun, gak enak kalo ada orang asing yang nganterin gw sampe rumah (selain tukang ojek). "Terimakasih ya pak", ucap gw setelah turun dari motor. Oh my God! Gw lupa nanya siapa nama bapak berambut cepak itu, pas gw mau nanya si bapak udah masukin motor ke dalam rumah dan dia lagi keasikan bercanda sama anak cewe-nya,"ih cantik euy, manis deh senyumnya", celetuk si bapak, gw ga enak kalo harus mengganggu momen tersebut. Gw pun melanjutkan sisa perjalanan dengan berjalan kaki, gw berjalan melewati jalan tikus yang hanya bertanah merah dengan kebun singkong + ilalang di sebelah kanan gw dan tembok rumah dengan semen kasar di sebelah kiri gw. Dalam perjalanan tersebut gw bertemu dengan si mbok, ibu-nya kak Oges (catatan dia cewe) yang sedang membakar sampah. Si mbok sudah tua renta, tapi tetap masih terlihat sesegar saat 10 tahun yang lalu, tidak banyak yang berubah; mbok masih tinggal di gubur reot di sebelah kebun dan di antara tanaman pisang, pakaian mbok masih sama lusuhnya (baju biru tua dekil, sarung coklat dan sandal jepit adalah atribut-atribut utama mbok). Gw ngobrol cukup banyak, tentang kak Oges yang sedang kerja lembur di swalayan mengumpulkan uang untuk lanjut sekolah di sekolah kejuruan, gw merasa iba dan bangga juga mendengar cerita mbok, mereka (mbok, bapak dan kak Oges) bisa tinggal bersama dengan akur di gubuk tua yang hanya berupa lapisan seng sebagai dinding dan atap dan kayus sebagai penyangga atapnya, dengan 1 kamar tidur, tanpa ruang makan, dapur outdoor, dan lantai hanya berupa tanah kira-kira itulah hal yang gw inget dari rumah mbok saat pertama dan terakhir kalinya gw kunjungi dulu saat gw masih TK B, hingga tadi gw belum pernah di undang masuk lagi ke rumah si mbok. Mbok juga bercerita soal anak majikannya (mbok bekerja sebagai PRT), anak peremuan tunggal kelas 6 SD yang manja banget, apa-apa maunya dilayani, ditemeni, ya maklum kedua orang tuanya sibuk kerja untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Gw bisa melihat perbedaan yang sangat kontras di sini dan gw merasa sangat beruntung tidak menjadi kedua-nya, gw tinggal di rumah beratap genting dan gw bukan anak manja yang apa-apa harus dilayani. Tapi suatu hari nanti gw juga harus bisa mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan gw sendiri dan keluarga gw juga.
Thanks Father :D
Malam ini gue puas banget dengan hasil karya yang telah gue selesaikan dalam 3 hari, yaitu "Lilly in Pink". Nama itu emang baru muncul berapa detik yang lalu, tetapi ide itu udah muncul 3 hari yang lalu. Lilly in Pink ini adalah seri ke-2 kreasi polymer clay yang gue buat sebagai kado ulang tahun (tepatnya sweet seventeen) temen-temen gue. Nama Lilly sendiri berasal dari akronim Little Lady.
Kreasi gue yang pertama adalah "Lady Blue in Glass", Little Lady ini gue masukin ke dalam botol kaca dan gue hias untuk hadiah ultah temen gue yang bernama Junra (nama disamarkan). Ilustrasinya, Lilly ini gue buat dari paduan clay biru muda untuk jubah, beige untuk warna kulit wajah dan tangan, emerald green untuk mata, lemon untuk rambutnya. Dalam versi pertama, gue menceritakan Lilly sedang berada di hutan tropis dan menikmati keindahan alam, untuk itu hiasan gue perbanyak tanaman, bunga, jamur, kupu-kupu dan gliter warna hijau, untuk menambah efek hidup, gue tambah air supaya kupu-kupunya bisa ngapung dan gliternya berguguran ngasih kesan daun hijau yang berterbangan gitu, karena ribet dan harus dimasukan ke dalam botol (yang mulutnya kecil), Lilly ini gue selesaikan dalam waktu 1 minggu, pyuuhh... cape juga ternyata.
Lilly kedua malam ini baru saja gue selesaikan untuk hadiah ultah Ciel (nama disamarkan lagi). Lilly-nya gue buat dalam bentuk hiasan HP dan gantungan kunci. Gue sengaja menggunakan warna pink untuk gaun Lilly, memegang bunga tulip pink dan Lilly gue masukan ke dalam kotak berwarna pink. Kenapa harus pink? Karena besok, saat perayaan ulang tahun, Ciel akan menggunakan gaun pink, so gue mendominasi pink untuk mencerminkan Ciel dalam Lilly, walaupun warna kulit Lilly-nya cukup berbeda dengan Sesil. Gue pake warna tan karena gue keabisan warna beige, padahal kulit Ciel putih dan cenderung beige. Tapi gak apa-apalah, yang penting gue udah bener-bener puas melihat hasil karya gue.
Gue seneng banget bisa ngasih hadiah untuk temen-temen gue dan hadiah itu adalah hasil usaha gue. Gue ga berharap lebih dari mereka, gue ga ngarepin pujian dari mereka, gue cuma mau merasakan kepuasan batin setelah berhasil memberi sesuatu yang terbaik yang bisa gue beri untuk temen-temen gue. Apakah Lilly-nya akan di pajang, dipake untuk hiasan kunci, disimpen atau malah dibuang, itu urusan temen gue dan si Lilly :D
By the way, ada dokumentasi untuk Lilly in Pink.
Tapi sayang sekali, Lady Blue ga gue dokumentasiin, sial.
Lain kali gue harus domumentasiin Lilly-Lilly yang lain.
Proud being UNIQUE :D
Kreasi gue yang pertama adalah "Lady Blue in Glass", Little Lady ini gue masukin ke dalam botol kaca dan gue hias untuk hadiah ultah temen gue yang bernama Junra (nama disamarkan). Ilustrasinya, Lilly ini gue buat dari paduan clay biru muda untuk jubah, beige untuk warna kulit wajah dan tangan, emerald green untuk mata, lemon untuk rambutnya. Dalam versi pertama, gue menceritakan Lilly sedang berada di hutan tropis dan menikmati keindahan alam, untuk itu hiasan gue perbanyak tanaman, bunga, jamur, kupu-kupu dan gliter warna hijau, untuk menambah efek hidup, gue tambah air supaya kupu-kupunya bisa ngapung dan gliternya berguguran ngasih kesan daun hijau yang berterbangan gitu, karena ribet dan harus dimasukan ke dalam botol (yang mulutnya kecil), Lilly ini gue selesaikan dalam waktu 1 minggu, pyuuhh... cape juga ternyata.
Lilly kedua malam ini baru saja gue selesaikan untuk hadiah ultah Ciel (nama disamarkan lagi). Lilly-nya gue buat dalam bentuk hiasan HP dan gantungan kunci. Gue sengaja menggunakan warna pink untuk gaun Lilly, memegang bunga tulip pink dan Lilly gue masukan ke dalam kotak berwarna pink. Kenapa harus pink? Karena besok, saat perayaan ulang tahun, Ciel akan menggunakan gaun pink, so gue mendominasi pink untuk mencerminkan Ciel dalam Lilly, walaupun warna kulit Lilly-nya cukup berbeda dengan Sesil. Gue pake warna tan karena gue keabisan warna beige, padahal kulit Ciel putih dan cenderung beige. Tapi gak apa-apalah, yang penting gue udah bener-bener puas melihat hasil karya gue.
Gue seneng banget bisa ngasih hadiah untuk temen-temen gue dan hadiah itu adalah hasil usaha gue. Gue ga berharap lebih dari mereka, gue ga ngarepin pujian dari mereka, gue cuma mau merasakan kepuasan batin setelah berhasil memberi sesuatu yang terbaik yang bisa gue beri untuk temen-temen gue. Apakah Lilly-nya akan di pajang, dipake untuk hiasan kunci, disimpen atau malah dibuang, itu urusan temen gue dan si Lilly :D
By the way, ada dokumentasi untuk Lilly in Pink.
Tapi sayang sekali, Lady Blue ga gue dokumentasiin, sial.
Lain kali gue harus domumentasiin Lilly-Lilly yang lain.
Proud being UNIQUE :D
Prelude,
Mimpi itu bukanlah mimpi buruk, tetapi entah kenapa mimpi itu terasa seperti mimpi buruk, bahkan gue masih terbawa-bawa oleh bayangan mimpi itu.
Sebagai sang pemimpi, gue sangat bahagia mendapatkan mimpi itu.
Tetapi melihat pengalaman-pengalaman yang ada, gue takut untuk melirik mimpi itu lagi, gue ga mau terlalu berharap kenyataan akan terjadi atas mimpi itu.
-o0o-
Kemarin malem, gue bermimpi, gue jadian sama Jelly, gebetan gue.
Jujur gue seneng banget terlebih lagi, mimpi itu bener-bener terasa nyata, gue bener-bener bisa merasakan sentuhan si Jelly, pelukannya dan telapak tangannya yang berkeringat.
Kronologinya, dalam mimpi itu saat pagi hari gue nyampe di sekolah,
seperti biasa gue berdiri di depan papan pengumuman hijau dan membaca jadwal kegiatan, gue liat ada jadwal latihan koor gue, semua gambaran mimpi gue sama dengan yang ada di sekolah kecuali ada kursi duduk, panjang di depan papan pengumuman itu, di mimpi itu tiba-tiba Jelly dateng di sebelah kiri gue. Dia narik gue duduk di kursi itu, merangkul gue dengan cukup erat dan menyandarkan kepalanya di bahu gue dan gue ikutan bersandar di kepala dia. Gak berapa lama kemudian, gue naik ke lantai-2 masuk ke kelas (kenyataannya kelas gue di lantai 1). Di dalam kelas gue bisa ngeliat temen-temen gue di kelas bahasa lagi ngobrol, bercanda, main-main. Yang gue heran, di mimpi itu gue udah pake jaket dan tiba-tiba udara di luar kelas dingin banget. Dalam mimpi itu gue duduk merengkuh di kabin lantai 2 sambil pegangan pinggir balkon lantai 2, tiba-tiba dari belakang si Jelly dateng dan meluk gue sambil ngomong, "kamu kedinginan ya?", gue cuma menjawab,"hmm" dan gue kembali ke dalam kelas. Tiba-tiba gue udah nyampe aja di perpustakaan, gue lagi baca buku dan dia dateng megang tangan gue. Kemudian mimpi itu berakhir.
Gue menceritakan mimpi ini ke Clarine (nama disamarkan). Ekspresi Clarine bahagia, kaget, kagum seneng gitu. Sedangkan gue merasakan ekspresi gue ga sinkron dengan gejolak hati gue, saat gue senyum seneng, tiba-tiba muncul keresahan gitu, gue ga mau berharap lebih.
Pas gue jelasin keresahan itu, Clarine cuma nanya, "Deb, lo seneng ato stres?". Gue menjawab dengan maruk "seneng banget sih, tapi stres juga, gue ga mau ngarep!".
Selanjutnya gue ga mau mendapat mimpi semacam ini lagi.
Mimpi itu bukanlah mimpi buruk, tetapi entah kenapa mimpi itu terasa seperti mimpi buruk, bahkan gue masih terbawa-bawa oleh bayangan mimpi itu.
Sebagai sang pemimpi, gue sangat bahagia mendapatkan mimpi itu.
Tetapi melihat pengalaman-pengalaman yang ada, gue takut untuk melirik mimpi itu lagi, gue ga mau terlalu berharap kenyataan akan terjadi atas mimpi itu.
-o0o-
Kemarin malem, gue bermimpi, gue jadian sama Jelly, gebetan gue.
Jujur gue seneng banget terlebih lagi, mimpi itu bener-bener terasa nyata, gue bener-bener bisa merasakan sentuhan si Jelly, pelukannya dan telapak tangannya yang berkeringat.
Kronologinya, dalam mimpi itu saat pagi hari gue nyampe di sekolah,
seperti biasa gue berdiri di depan papan pengumuman hijau dan membaca jadwal kegiatan, gue liat ada jadwal latihan koor gue, semua gambaran mimpi gue sama dengan yang ada di sekolah kecuali ada kursi duduk, panjang di depan papan pengumuman itu, di mimpi itu tiba-tiba Jelly dateng di sebelah kiri gue. Dia narik gue duduk di kursi itu, merangkul gue dengan cukup erat dan menyandarkan kepalanya di bahu gue dan gue ikutan bersandar di kepala dia. Gak berapa lama kemudian, gue naik ke lantai-2 masuk ke kelas (kenyataannya kelas gue di lantai 1). Di dalam kelas gue bisa ngeliat temen-temen gue di kelas bahasa lagi ngobrol, bercanda, main-main. Yang gue heran, di mimpi itu gue udah pake jaket dan tiba-tiba udara di luar kelas dingin banget. Dalam mimpi itu gue duduk merengkuh di kabin lantai 2 sambil pegangan pinggir balkon lantai 2, tiba-tiba dari belakang si Jelly dateng dan meluk gue sambil ngomong, "kamu kedinginan ya?", gue cuma menjawab,"hmm" dan gue kembali ke dalam kelas. Tiba-tiba gue udah nyampe aja di perpustakaan, gue lagi baca buku dan dia dateng megang tangan gue. Kemudian mimpi itu berakhir.
Gue menceritakan mimpi ini ke Clarine (nama disamarkan). Ekspresi Clarine bahagia, kaget, kagum seneng gitu. Sedangkan gue merasakan ekspresi gue ga sinkron dengan gejolak hati gue, saat gue senyum seneng, tiba-tiba muncul keresahan gitu, gue ga mau berharap lebih.
Pas gue jelasin keresahan itu, Clarine cuma nanya, "Deb, lo seneng ato stres?". Gue menjawab dengan maruk "seneng banget sih, tapi stres juga, gue ga mau ngarep!".
Selanjutnya gue ga mau mendapat mimpi semacam ini lagi.
Title di atas adalah alibi yang sangat masuk akal.
Sepenggal kata ANSOS adalah cap yang sering gue kasih bagi orang-orang yang menurut "kacamata kuda" gue suka banget menyendiri atau ga punya banyak temen.
Ya maklum, ga berniat nyombong, tapi gue adalah orang beruntung yang punya banyak temen, mau itu temen yang deket banget, temen jarak jauh atau temen sekedar kenal aja.
Di sekolah, gue banyak mendengar ejekan-ejekan ANSOS yang dilontarkan, dikit-dikit ANSOS. Ada yang jalan beda jalur tiba-tiba di teriakin "Wo ANSOS", ada yang makan sendirian digosipin "ANSOS amet sih tuh anak", ada anak yang ga bisa berbaur sama orang lain di cap "ANSOS".
Ansos, ansos dan ansos. Gue sendiri pernah mencap satu orang temen gue di SMP sebagai anak ANSOS, karena di sekolah dia anteng banget, hobinya pacaran sama komputer, mengasikan dirinya dengan kesendirian, kadang-kadang dia pergi kemana-mana selalu sendiri dan kadang-kadang gue mendapatkan diri gue susah banget untuk bisa mencair sama dia. Dengan sekilas pengamatan gue, gue langsung ngecap dia sebagai ANSOS (jengjengjengjeng). Tapi di sisi lain, dia punya banyak temen dari dunia maya dan dia punya banyak relasi. Melihat yang satu ini, gue nambahin cap tambah buat dia, yaitu "ANSOS yang Gaul", nah lho, bingung kan lo.
Tetapi cap itu berangsur-angsur pudar seiring berjalannya waktu hidup gue.
Pudar bukan karena gue lupa sama anak itu,
tapi karena gue sendiri sudah membuktikannya.
Gue udah merasakan kesendirian itu.
Memang benar ya apa yang dikatakan orang, semakin dewasa, seseorang akan menjadi semakin individualis.
Itu yang gue rasakan di SMA. Gue dikelilingi oleh makhluk-makhluk yang individualis, tetapi TIDAK egois.
Begitu juga dengan diri gue. Semakin hari, gue merasa semakin nyaman dengan kesendirian gue dalam arti gue bukan orang yang ANSOS, gue cuma butuh waktu menyendiri.
Mengapa bisa begitu? Gue sendiri merasa, saat gue sendirian, gue bisa memfokuskan pikiran gue untuk berbagai hal yang ga sempet dan ga bisa gue pikirin saat bersama temen-temen gue. Karena setiap kali gue bersama temen-temen gue, gue cuuma merasakan hal-hal yang fun, gila, lucu, konyol, haru dan kadang-kadang gue merasa bangga, bahagia dan puas setelah melakukan hal-hal aneh yang setelah gue pikir lagi itu adalah hal yang kejam dan jahat.
Seperti masa SMP, dulu waktu kelas 7 gue dan temen-temen deket gue membentuk geng. Geng kami termasuk kategori geng beradab (bukan geng biadab yang dibentuk senior-senior yang hobinya ngedamprat juniornya, sok eksis dan suka nyari sensasi). Sebenernya bukan geng, cuma karena kami suka banget ngumpul bareng, kalo ada kerja kelompok pasti kami sekelompok terus, suka ngegosip, curhat dan ngejahil bareng-bareng, sampe lama kelamaan tanpa kami rencanakan dan sadari, kami udah membentuk geng. Rasa kebersamaan kami makin kuat. Suatu hari ada seorang temen (yang kami anggap freak dan annoying), dia anak dari SD baru, so jelas kami anak-anak SD MD kaga kenal, dia nyoba temenan sama gue. Gue yang ga biasa ketemu anak yang gaje, bercanda jayus kayak gitu langsung udah ngasih stigma negatif aja, tapi berhubung gue ga berani terus terang (takut nyakitin tuh anak) gue minta bantuan temen-temen geng gue buat bantuin gue menjauhi dia. Misalnya pas gue lagi belajar sendirian, tiba-tiba tuh anak gaje datengin gue, temen-temen gue yang liat gue langsung manggil gue dan respon gue adalah ninggalin tuh anak gaje tanpa nengok/ jawab/ merespon candaan gaje dia. Kadang-kadang kami suka meratiin gerak-gerik si gaje, dia nge-gaje apa aja sama anak-anak lain, terus kami ngetawain dia. Gue juga iseng, gue ladenin aja candaan gaje dia, abis itu gue ketemu temen-temen gue and mulai ngegosipin si gaje abis ngapain aja, kalo udah mulai ngegosip tuh asik banget deh pokoknya. Sampe akhir masa kelas 7, si gaje dinyataikan ga naik kelas (karena dia emang maleeeeess banget belajar), salah satu temen geng gue dengan terus terang bilang, "syukur kita kaga ketemu lagi sama tuh anak, hahaha", diikuti tawa jahat, cengiran, sindiran beberapa anak termasuk gue, walaupun ada juga yang simpati dan bilang "wah parah banget lo,hahaha", tapi dia ketawa juga (-.-").
Itu baru satu contoh, masih ada lagi. Waktu itu gue udah kelas 8, walaupun gue dan geng gue ga terlalu sering ketemu, tapi rasa keusilan, kebersamaan dan kekejaman kami masih sama, ada temen gue yang benci banget sama adek kelas yang katanya kecentilan, kegatelan dan sok kenal sama gebetannya. Hari itu lagi ulangan semester, ruang dan kursi ujian di atur, di depan kelas udah di sediain papan nama yang ada urutan posisi duduk. Rencana kami pulang sekolah, kami nyari tempat duduk si centil terus kami kerjain. Setelah nemuin nomor kursinya, kami mulai nyari bahan yang bisa ngotorin kursinya, kenapa ngotorin kursi? Karena hari itu hari Sabtu, hari tes berikutnya adalah hari Senin saat kami semua pake seragam putih-putih. Temen gw nemuin penghapus papan tulis spidol yang kotor, tindakan kami selanjutnya nepuk-nepukin kursi dan meja si centil dengan penghapus sampe kotor banget, selesai mengotori kami "berdoa" agar petugas kebersihan ga bersih-bersih meja dan kursi. Ternyata harapan kami terkabul, meja kursi ga dibersihin. Pulang test gue ketemuan sama temen-temen gue dan temen gue yang sekelas sama si centil cerita, pas masuk ruangan si centil jadi ribet sendiri, "aduh mejaku kotor, kak gimana nih, tolongin dong", temen gue yang cemburu sama si centil cuma ngomong "mampuss,hahaha".
Tapi Karma does exist!
Malangnya, setelah gue masuk SMA, pola yang sama terulang kembali, gue sebel sama seorang temen, tapi kali ini yang berbeda adalah temen-temen gue, mereka bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang, istilahnya "urusan lo ya urusan lo, urusan gue ya urusan gue". Walaupun mereka tahu masalah gue, tahu gue sebel sama orang itu, temen-temen gue ini cuma berperan sebagai pendengar dan pemberi saran yang baik, mereka bukan tipe yang suka merekrut atau direkrut untuk sama-sama membenci satu orang (walaupun ternyata masih ada beberapa temen gue yang suka merekrut dan direkrut juga).
Sejak gue masuk SMA, apalagi pas masa-masa kelas 10, gue bener-bener merasa sendirian, walaupun gue udah punya cukup banyak temen, tapi ga ada satu pun dari mereka yang udah bisa memahami gue secara keseluruhan, sementara temen-temen lama gue, mereka diluar sana dan ternyata kami mengalami hal yang sama, walaupun mereka bersedia jadi pendengar, tetapi kami udah ga bisa menyelesaikan masalah ini bareng-bareng, kami udah di dunia yang berbeda.
Hari-hari gue jalani dalam kesendirian di tengah keramaian, gue berusaha mencari cara untuk bertahan. Pertama gue harus bisa menjadi orang yang ga banyak bicara, mengingat masa lalu gue yang terlalu banyak bicara hal-hal ga penting, kedua gue harus tahan banting menyimpan kisah-kisah pilu gue yang bener-bener ga bisa gue share begitu aja sama orang yang belum gue kenal, karena gue bukan tipe orang yang bisa 100% terbuka sama orang lain apalagi yang belum dikenal, ketiga gue bener-bener harus kudu bisa MENERIMA berbagai keunikan, perbedaan yang bener-bener kontras antar temen yang satu dengan yang lain, gue ga bisa asal ngecap orang itu freak, orang itu annoying, orang itu sombong, orang itu cupu, karena gue sendiri pasti udah dikasih stigma yang macem-macem sebagai anak baru di lingkungan baru. Hmmm, ternyata seperti ini rasanya menjadi teman gue yang GAJE itu. Keempat, gue harus berani mencair dengan mereka dan disaat yang sudah tepat gue harus buru-buru membeku dan menjadi kesatuan yang baru dengan temen-temen di lingkungan baru gue.
Karena revolusi itu, sifat penyendiri sudah mendarah daging dalam diri gue, kini gue ga merasakan kesendirian itu adalah hal yang buruk justru kesendirian itu adalah kebutuhan. Gue udah ga merasa khawatir lagi kalo sendirian, sebaliknya saat gue sedang sendirian atau menyendiri, gue memanfaatkan waktu menyendiri itu untuk mengasah kepekaan gue karena gue bisa merasa simpati, terharu, kasihan, iba, bahagaia atas kebahagiaan orang lain; intinya gue bisa merasakan hal-hal tersebut saat gue sedang sendiri atau paling tidak saat pikiran gue ga diganggu temen-temen gue dan berbagai kegilaan mereka. Gue juga bisa merenung sedalam-dalamnya dan berimajinasi seluas-luasnya saat gue sedang sendiri, gue bisa menikmati hobi terpendam gue yang sepertinya sulit gue nikmati saat bersama temen (contohnya sekarang, gue lagi nulis draf ini) gue juga bebas melakukan apa aja, seperti saat membaca buku gratis di Toko Buku atau saat bermain musik atau saat mengamati lukisan-lukisan atau ber-window shopping yang sulit dinikmati kalo sedang bersama temen(apalagi kalo hobi lo beda sama temen lo), gue bisa meratiin keadaan sekeliling gue dengan berbagai sudut pandang yang gue suka. Hal-hal tersebut bisa membuat gue bergeming sendiri.
So, dengan alasan-alasan tersebut dengan seenak jidat gue mengartikan ANSOS itu tidaklah selalu ANTI SOSIAL tetapi juga merupakan ANTEK SOSIAL.
Mengapa bisa demikian?
Pikir aja pake logika paling dasar, setiap orang itu makhluk sosial, se-ANSOS(dalam arti sebenarnya) apapun mereka, pasti mereka masih punya relasi dengan beberapa orang.
Sekarang, bagi gue orang-orang yang ANSOS dimata gue adalah orang yang berjiwa sosial, tetapi mereka punya cara lain untuk menikmati hidup mereka. Terkadang orang yang ANSOS tersebut punya pemikiran dan ide yang kreatif, sudut pandang yang berbeda dalam menilai satu hal, satu hal yang gue tau (sebagai orang yang ANSOS :D), orang ANSOS akan selalu melihat hal-hal positif dalam satu objek yang akhirnya bisa kami nikmati sendiri. Karena orang ANSOS sudah terbiasa untuk bertahan dalam kesendirian, dimana dalam kesendirian itu kami butuh stimulus positif dan kami harus pintar-pintar menemukan mendapatkan stimulus tersebut.
Tetapi walaupun demikian, menjadi orang yang Anti Sosial tidaklah lebih baik dari pada menjadi Antek Sosial yang sebenarnya.
Sepenggal kata ANSOS adalah cap yang sering gue kasih bagi orang-orang yang menurut "kacamata kuda" gue suka banget menyendiri atau ga punya banyak temen.
Ya maklum, ga berniat nyombong, tapi gue adalah orang beruntung yang punya banyak temen, mau itu temen yang deket banget, temen jarak jauh atau temen sekedar kenal aja.
Di sekolah, gue banyak mendengar ejekan-ejekan ANSOS yang dilontarkan, dikit-dikit ANSOS. Ada yang jalan beda jalur tiba-tiba di teriakin "Wo ANSOS", ada yang makan sendirian digosipin "ANSOS amet sih tuh anak", ada anak yang ga bisa berbaur sama orang lain di cap "ANSOS".
Ansos, ansos dan ansos. Gue sendiri pernah mencap satu orang temen gue di SMP sebagai anak ANSOS, karena di sekolah dia anteng banget, hobinya pacaran sama komputer, mengasikan dirinya dengan kesendirian, kadang-kadang dia pergi kemana-mana selalu sendiri dan kadang-kadang gue mendapatkan diri gue susah banget untuk bisa mencair sama dia. Dengan sekilas pengamatan gue, gue langsung ngecap dia sebagai ANSOS (jengjengjengjeng). Tapi di sisi lain, dia punya banyak temen dari dunia maya dan dia punya banyak relasi. Melihat yang satu ini, gue nambahin cap tambah buat dia, yaitu "ANSOS yang Gaul", nah lho, bingung kan lo.
Tetapi cap itu berangsur-angsur pudar seiring berjalannya waktu hidup gue.
Pudar bukan karena gue lupa sama anak itu,
tapi karena gue sendiri sudah membuktikannya.
Gue udah merasakan kesendirian itu.
Memang benar ya apa yang dikatakan orang, semakin dewasa, seseorang akan menjadi semakin individualis.
Itu yang gue rasakan di SMA. Gue dikelilingi oleh makhluk-makhluk yang individualis, tetapi TIDAK egois.
Begitu juga dengan diri gue. Semakin hari, gue merasa semakin nyaman dengan kesendirian gue dalam arti gue bukan orang yang ANSOS, gue cuma butuh waktu menyendiri.
Mengapa bisa begitu? Gue sendiri merasa, saat gue sendirian, gue bisa memfokuskan pikiran gue untuk berbagai hal yang ga sempet dan ga bisa gue pikirin saat bersama temen-temen gue. Karena setiap kali gue bersama temen-temen gue, gue cuuma merasakan hal-hal yang fun, gila, lucu, konyol, haru dan kadang-kadang gue merasa bangga, bahagia dan puas setelah melakukan hal-hal aneh yang setelah gue pikir lagi itu adalah hal yang kejam dan jahat.
Seperti masa SMP, dulu waktu kelas 7 gue dan temen-temen deket gue membentuk geng. Geng kami termasuk kategori geng beradab (bukan geng biadab yang dibentuk senior-senior yang hobinya ngedamprat juniornya, sok eksis dan suka nyari sensasi). Sebenernya bukan geng, cuma karena kami suka banget ngumpul bareng, kalo ada kerja kelompok pasti kami sekelompok terus, suka ngegosip, curhat dan ngejahil bareng-bareng, sampe lama kelamaan tanpa kami rencanakan dan sadari, kami udah membentuk geng. Rasa kebersamaan kami makin kuat. Suatu hari ada seorang temen (yang kami anggap freak dan annoying), dia anak dari SD baru, so jelas kami anak-anak SD MD kaga kenal, dia nyoba temenan sama gue. Gue yang ga biasa ketemu anak yang gaje, bercanda jayus kayak gitu langsung udah ngasih stigma negatif aja, tapi berhubung gue ga berani terus terang (takut nyakitin tuh anak) gue minta bantuan temen-temen geng gue buat bantuin gue menjauhi dia. Misalnya pas gue lagi belajar sendirian, tiba-tiba tuh anak gaje datengin gue, temen-temen gue yang liat gue langsung manggil gue dan respon gue adalah ninggalin tuh anak gaje tanpa nengok/ jawab/ merespon candaan gaje dia. Kadang-kadang kami suka meratiin gerak-gerik si gaje, dia nge-gaje apa aja sama anak-anak lain, terus kami ngetawain dia. Gue juga iseng, gue ladenin aja candaan gaje dia, abis itu gue ketemu temen-temen gue and mulai ngegosipin si gaje abis ngapain aja, kalo udah mulai ngegosip tuh asik banget deh pokoknya. Sampe akhir masa kelas 7, si gaje dinyataikan ga naik kelas (karena dia emang maleeeeess banget belajar), salah satu temen geng gue dengan terus terang bilang, "syukur kita kaga ketemu lagi sama tuh anak, hahaha", diikuti tawa jahat, cengiran, sindiran beberapa anak termasuk gue, walaupun ada juga yang simpati dan bilang "wah parah banget lo,hahaha", tapi dia ketawa juga (-.-").
Itu baru satu contoh, masih ada lagi. Waktu itu gue udah kelas 8, walaupun gue dan geng gue ga terlalu sering ketemu, tapi rasa keusilan, kebersamaan dan kekejaman kami masih sama, ada temen gue yang benci banget sama adek kelas yang katanya kecentilan, kegatelan dan sok kenal sama gebetannya. Hari itu lagi ulangan semester, ruang dan kursi ujian di atur, di depan kelas udah di sediain papan nama yang ada urutan posisi duduk. Rencana kami pulang sekolah, kami nyari tempat duduk si centil terus kami kerjain. Setelah nemuin nomor kursinya, kami mulai nyari bahan yang bisa ngotorin kursinya, kenapa ngotorin kursi? Karena hari itu hari Sabtu, hari tes berikutnya adalah hari Senin saat kami semua pake seragam putih-putih. Temen gw nemuin penghapus papan tulis spidol yang kotor, tindakan kami selanjutnya nepuk-nepukin kursi dan meja si centil dengan penghapus sampe kotor banget, selesai mengotori kami "berdoa" agar petugas kebersihan ga bersih-bersih meja dan kursi. Ternyata harapan kami terkabul, meja kursi ga dibersihin. Pulang test gue ketemuan sama temen-temen gue dan temen gue yang sekelas sama si centil cerita, pas masuk ruangan si centil jadi ribet sendiri, "aduh mejaku kotor, kak gimana nih, tolongin dong", temen gue yang cemburu sama si centil cuma ngomong "mampuss,hahaha".
Tapi Karma does exist!
Malangnya, setelah gue masuk SMA, pola yang sama terulang kembali, gue sebel sama seorang temen, tapi kali ini yang berbeda adalah temen-temen gue, mereka bukan tipe yang suka mencampuri urusan orang, istilahnya "urusan lo ya urusan lo, urusan gue ya urusan gue". Walaupun mereka tahu masalah gue, tahu gue sebel sama orang itu, temen-temen gue ini cuma berperan sebagai pendengar dan pemberi saran yang baik, mereka bukan tipe yang suka merekrut atau direkrut untuk sama-sama membenci satu orang (walaupun ternyata masih ada beberapa temen gue yang suka merekrut dan direkrut juga).
Sejak gue masuk SMA, apalagi pas masa-masa kelas 10, gue bener-bener merasa sendirian, walaupun gue udah punya cukup banyak temen, tapi ga ada satu pun dari mereka yang udah bisa memahami gue secara keseluruhan, sementara temen-temen lama gue, mereka diluar sana dan ternyata kami mengalami hal yang sama, walaupun mereka bersedia jadi pendengar, tetapi kami udah ga bisa menyelesaikan masalah ini bareng-bareng, kami udah di dunia yang berbeda.
Hari-hari gue jalani dalam kesendirian di tengah keramaian, gue berusaha mencari cara untuk bertahan. Pertama gue harus bisa menjadi orang yang ga banyak bicara, mengingat masa lalu gue yang terlalu banyak bicara hal-hal ga penting, kedua gue harus tahan banting menyimpan kisah-kisah pilu gue yang bener-bener ga bisa gue share begitu aja sama orang yang belum gue kenal, karena gue bukan tipe orang yang bisa 100% terbuka sama orang lain apalagi yang belum dikenal, ketiga gue bener-bener harus kudu bisa MENERIMA berbagai keunikan, perbedaan yang bener-bener kontras antar temen yang satu dengan yang lain, gue ga bisa asal ngecap orang itu freak, orang itu annoying, orang itu sombong, orang itu cupu, karena gue sendiri pasti udah dikasih stigma yang macem-macem sebagai anak baru di lingkungan baru. Hmmm, ternyata seperti ini rasanya menjadi teman gue yang GAJE itu. Keempat, gue harus berani mencair dengan mereka dan disaat yang sudah tepat gue harus buru-buru membeku dan menjadi kesatuan yang baru dengan temen-temen di lingkungan baru gue.
Karena revolusi itu, sifat penyendiri sudah mendarah daging dalam diri gue, kini gue ga merasakan kesendirian itu adalah hal yang buruk justru kesendirian itu adalah kebutuhan. Gue udah ga merasa khawatir lagi kalo sendirian, sebaliknya saat gue sedang sendirian atau menyendiri, gue memanfaatkan waktu menyendiri itu untuk mengasah kepekaan gue karena gue bisa merasa simpati, terharu, kasihan, iba, bahagaia atas kebahagiaan orang lain; intinya gue bisa merasakan hal-hal tersebut saat gue sedang sendiri atau paling tidak saat pikiran gue ga diganggu temen-temen gue dan berbagai kegilaan mereka. Gue juga bisa merenung sedalam-dalamnya dan berimajinasi seluas-luasnya saat gue sedang sendiri, gue bisa menikmati hobi terpendam gue yang sepertinya sulit gue nikmati saat bersama temen (contohnya sekarang, gue lagi nulis draf ini) gue juga bebas melakukan apa aja, seperti saat membaca buku gratis di Toko Buku atau saat bermain musik atau saat mengamati lukisan-lukisan atau ber-window shopping yang sulit dinikmati kalo sedang bersama temen(apalagi kalo hobi lo beda sama temen lo), gue bisa meratiin keadaan sekeliling gue dengan berbagai sudut pandang yang gue suka. Hal-hal tersebut bisa membuat gue bergeming sendiri.
So, dengan alasan-alasan tersebut dengan seenak jidat gue mengartikan ANSOS itu tidaklah selalu ANTI SOSIAL tetapi juga merupakan ANTEK SOSIAL.
Mengapa bisa demikian?
Pikir aja pake logika paling dasar, setiap orang itu makhluk sosial, se-ANSOS(dalam arti sebenarnya) apapun mereka, pasti mereka masih punya relasi dengan beberapa orang.
Sekarang, bagi gue orang-orang yang ANSOS dimata gue adalah orang yang berjiwa sosial, tetapi mereka punya cara lain untuk menikmati hidup mereka. Terkadang orang yang ANSOS tersebut punya pemikiran dan ide yang kreatif, sudut pandang yang berbeda dalam menilai satu hal, satu hal yang gue tau (sebagai orang yang ANSOS :D), orang ANSOS akan selalu melihat hal-hal positif dalam satu objek yang akhirnya bisa kami nikmati sendiri. Karena orang ANSOS sudah terbiasa untuk bertahan dalam kesendirian, dimana dalam kesendirian itu kami butuh stimulus positif dan kami harus pintar-pintar menemukan mendapatkan stimulus tersebut.
Tetapi walaupun demikian, menjadi orang yang Anti Sosial tidaklah lebih baik dari pada menjadi Antek Sosial yang sebenarnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)