Tik... Tok... Tik... Tok...
"Bagaimana, aku harus bagaimana?", jariku mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela seraya menimbang-nimbang.
Tik... tik... tik...
Di balik kaca jendela kamarku, ku perhatikan titik-titik air itu berjatuhan satu persatu dari langit. Begitu anggun mendarat di atas dedaunan, bunga, dinding, atap dan kaca jendela kamarku. Titik-titik itu semakin banyak, mereka turun dengan cepat, membrutal menghantam segala objek yang ku lihat. Tiupan angin kencang memutar, mengaduk titik-titk hujan itu hingga berpilin dan menghantam keras kaca jendelaku.
"Praaak", benturan itu memudarkan lamunanku.
"Astaga! Ah! Aku harus bagaimana?". Rasanya aku sudah mulai frustasi memikirkan hal ini terus-terusan.
Di balik jendela, ku pandangi lagi jalanan komplek di bawah sana. Hujan masih mengguyur, mengguyur semakin deras. Di tengah derasnya guyuran hujan itu, di jalanan yang basah berdiri seseorang. Seseorang yang masih setia menunggu. Aku tak tahu apa yang masih ia tunggu, yang aku tahu di luar sana sangat dingin terutama di bawah guyuran hujan seperti itu dan aku harap orang itu segera baranjak dari sana. Sayangnya, harapanku sirna, tubuhnya yang tinggi, tegap dan kekar itu tetap diam, seperti ada paku yang menancapkan kakinya di atas aspal. Wajahnya membeku seperti patung sesosok malaikat, iya tidak peduli hujan menghantam keras wajahnya. Ia bekacamata dengan bingkai hitam putih. Bola matanya coklat tua menjadi gelap dan tajam. Mata itu tidak berkedip, mata yang terus memandang ke dalam mataku dan memerhatikan gerak-gerikku. Entahlah, rasanya tidak ada kaca pembatas di antara kami saat aku melihat mata itu, bahkan aku merasa seperti ditelanjangi saat menatap ke dalam bola mata itu, sepertinya ia tahu segala hal tentang diriku dari kulit hingga ke dalam sumsum tulangku. Jari-jari tangannya yang panjang menggenggam selembar kertas gambar besar. Walaupun kertas besar itu basah dan hampir hancur karena terpaan hujan, tetapi untaian kata pada kertas itu masih terngiang-ngiang di dalam pikiranku.
"Maafin aku :(", ujar tulisan dengan spidol hitam yang mulai luntur itu.
Bukan hanya itu, ia juga membawa serangkai besar mawar putih (kesukaanku disaat seperti ini) yang kelopaknya mulai rontok dan beterbangan disapu angin.
Aku tidak mau menatap mata itu, aku tahu diriku akan lemah terpedaya olehnya.
"Pergilah!", teriakku di balik kaca jendela. Walaupun pada akhirnya aku sadar ini tidak akan berhasil. Kemudian ku buka kaca jendelaku. Hujan mulai menerpa wajahku
"UDAH! PERGI! Aku bilang PERGI Dave!", teriakku di tengah gemuruh hujan. Hatiku sakit, tetapi aku harus membiasakannya. "Rasa sakit ini hanya sementara", bisik hatiku.
Ternyata usahaku sia-sia. David diam membatu, ia hanya menggelengkan kepalanya saja. Apa sih yang cowo ini mau? Ku tutup kembali jendelaku berikut dengan tirai birunya. Aku tidak sanggup melihatnya. Aku duduk bersandar di bawah ranjangku. Persis di sebelah kiriku ada bufet kayu kecil, di atasnya ada vas bunga kaca berisi rangkaian mawar merah yang mulai layu, di tengah rangkaian mawar merah itu, berdiri setangkai mawar merah muda terbuat dari plastik yang ukurannya lebih kecil dari mawar merah.
"Okeh, ini hanya imajinasiku saja, pemandangan itu tidak nyata", ucapku mulai membodohi diriku. Wajahku basah sekali, walaupun sudah tidak diterpa hujan, aku masih merasakan air mengalir dari mata membasahi pipiku. Sakit sekali rasanya, ditelan emosi dan keegoisanku sendiri. Aku berdiri dari lantai beranjak ke atas tempat tidurku. ku baringkan tubuhku di atas sprai biru muda polos dan ku peluk bantal bulu berwarna merah muda. Lembut, perlahan-lahan kelembutannya menenangkan amarah dalam hatiku. Tetapi kini kegalauan mulai menyelimuti diriku. Air mataku kembali menetes. Kelembutan bantal bulu ini membawaku ke dalam kenangan indah masa laluku dengan dia. Sakit rasanya saat mengingat lagi keindahan, cinta dan masa-masa manis yang ku lalui dengannya.
"Tidak... Itu bukan salahnya. Pilihan ada padanya, itu hak Dave memutuskan memilih aku atau...", aku tak sanggup memikirkannya lagi.
"Memang sudah pasti bahwa suatu pertemuan pasti diakhiri perpisahan. Dan... mungkin ini sudah saatnya.... a... aku.... harus... harus.... berpisah... dengannya". Ku tarik napasku dalam-dalam saat mengucapkan kata itu.
Pikiranku terlintas dilema, bertahan atau berakhir? Mempertahankan atau mengakhiri saja? Aku tidak sanggup dengan perasaan seperti ini. Ingin aku mengakhirinya karena aku takut hubungan ini tidak akan bertahan lama lagi, melihat dia yang akhir-akhir ini mulai dingin padaku, tidak memancarkan senyum manis kesuakaanku, sibuk dengan dunianya bahkan mulai (sengaja) menghindar dari diriku, membuatku semakin tertekan. Tetapi chemistry yang sudah kami bangun sejak kecil dan berbagai kisah manis hubungan istimewa kami yang sudah berjalan hampir 3 tahun, hal ini yang membuatku ingin terus mempertahankan hubungan kami. Tetapi... lagi-lagi hal itu.... Mengapa dia membohongiku? Mengapa tidak dari awal saja? Aku benci harus menghadapi hal seperti ini. Akupun bingung apa yang ingin aku lakukan, memeluknya agar tidak terlepas dari diriku? Atau menampar dan memaki-maki dia habis-habisan?
"Egois!", bisik hatiku sinis.
"Go to hell!!", jeritku seraya guntur membelah langit.
Keheningan mengisi kamarku, hanya derap suara hujan yang aku dengar, aku mulai khawatir. Ku buka tiraiku dan... Aku masih menemukan dia di sana. Ia basah kuyup dari ujung rambut hingga kaki, kertas gambar dengan tulisan itu sudah hancur menjadi bubur kertas. Ia sedang mondar-mandir, sambil menjaga beberapa tangkai mawar putih, ia berusaha menghangatkan tubuhnya di tengah udara dingin yang menusuk. Nampak sekali kemeja putihnya tidak bisa menghangatkan dirinya lagi. Seolah-olah ia tahu aku memperhatikannya, ia berhenti, kembali berdiri, menatapku dan menyunggingkan senyum favoritku.
"Darla, aku mau berbicara denganmu!", seru Dave padaku.
Melihatnya saja aku sudah tidak mampu, apa lagi berbicara dengannya. Tetapi aku ingin sekali membicarakan hal ini dengannya, hanya saja... Tidak untuk sekarang.
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment