Listen


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
Saturday, February 23, 2013 1 comments

Ayo Wisata Sejarah dan Alam di Sumedang!




Wilujeng Sumping!!

 
Wah... Setelah sekian lama mati suri, hari ini aku akan menghidupkan kembali blog ini dengan sebuah cerita baru, sebuah perjalanan menuju kota Sumedang selatan.  Kali ini aku akan memperkenalkan lima orang teman baru, Azmi (red. Mbak Azmi, mbak Kebumen), Ratna (red. Mak uwo Ratna), kang Teddy, kang Sandy, dan kang Esa (red. Akang-akang kasep Sumedang).
Awalnya, kami ibu-ibu PKK yang terdiri dari 10 dara yang geulis, (hiper)aktif dan cerdas berencana untuk pergi 1 hari berwisata alam ke Sumedang pada minggu terakhir dalam libur semester  1, namun setelah “seleksi alam” tersisalah tiga wanita perkasa, yaitu, aku, mbak Azmi dan mak uwo Ratna. Mbak Azmi punya kenalan yang tinggal di Sumedang, konon katanya mbak Azmi kenal dengan mereka dalam suatu petualangan mendaki gunung Tampo Mas (1680 Km dari permukaan laut) yang ada di Sumedang Selatan. Mereka adalah kang Teddy, kang Sandy, dan kang Esa, mereka adalah anak-anak pecinta reptil dan ular, nah dalam cerita ini mereka adalah para guide dan teman baru yang seru dan asik!


Jumat, 13 Februari 2013, pagi hari pukul 06.00 kami 3 ibu PKK berkumpul di gerbang lama (gerlam) Universitas Padjadjaran Jatinangor, kami sarapan bubur ayam yang nikmat dan murah (harga mahasiswa). Selesai sarapan kami mulai menunggu kendaraan. Karena ini pengalaman pertama kami keluar Jatinangor menuju Sumedang, kami bingung harus naik apa, banyak alternatif kami bisa naik bus, angkot, atau elf, tetapi kami bingung harus naik yang mana, akhirnya kami memutuskan untuk naik Elf di Jalan Raya Sumedang, perjalanan yang kami tempuh cukup jauh dan memakan waktu yang cukup lama, terutama karena ada kemacetan di daerah Cikuda ke atas, perjalanan ini pun tidak membosankan karena sepanjang perjalanan kami disuguhi keasrian alam Sumedang, perbukitan, tebing-tebing, dan rumah-rumah penduduk. Dengan membayar Rp 7000 per orang kami diantar sampai di pertigaan Polres di Sumedang Selatan. Lalu kami melanjutkan perjalanan singkat dengan angkot coklat Cileunyi-Sumedang menuju alun-alun Sumedang, biayanya Rp 2000 per orang.
  
Sedikit review, seharusnya kami tidak perlu naik Elf, cukup naik angkot Cileunyi-Sumedang saja dari Jatinangor, selain mudah, kami juga bisa menghemat biaya transportasi, hanya dengan membayar Rp 6000 kita bisa sampai di alun-alun Sumedang.

Setelah menunggu ketiga orang teman baru kami dari Sumedang, kang Teddy, kang Sandy dan kang Esa, akang-akang kasep Sumedang ini punya banyak rekomendasi objek wisata yang asik. Kedatangan kami di Sumedang disambut hangat, walau agak sedikit canggung namun lama-kelamaan kami bisa akrab juga, setelah agak bingung memutuskan akan pergi ke mana,  kami pun memulai petualangan kami menuju gunung Kunci, jarak gunung Kunci cukup dekat dari alun-alun Sumedang, sehingga kami hanya perlu berjalan kaki saja. Gunung kunci bukan gunung bebas yang belum terjamah manusia, menurut cerita akang-akang Sumedang, dahulu gunung ini merupakan benteng Belanda, pada gunung ini pun dibangun ruang-ruang dan terowongan, di sekeliling gunung juga dikelilingi tembok yang merupakan benteng pertahanan dan juga penjara. Kalau kata kang Teddy sekarang benteng ini berubah fungsi, bukan lagi benteng pertahanan Belanda melainkan benteng pertahanan orang-orang yang lagi pacaran, cukup terbukti kemarin kami menemuka ada pasangan yang asik pacaran di gunung Kunci, yang berpegangan tangan mengitari benteng, ada pula coretan hari jadi dan ungkapan cinta di tangga dan di batu sekitar gunung. Ada-ada saja mereka. 

Sekarang gunung Kunci dikelolah menjadi objek wisata alam, hanya dengan membayar Rp 3000 kami bisa menikmati keindahan alam gunung Kunci. Bagi yang ingin berkunjung, kalian tidak perlu khawatir dengan track gunung yang sulit, gunung Kunci sudah dibangun jalan setepak yang mempermudah perjalanan kita. Di gunung Kunci kita bisa menemukan lorong yang merupakan terowongan Belanda, sepanjang lorong ada pintu dan tangga menuju bilik yang lain, ruangan dalam terowongan itu lembab, pengap dan cukup gelap sehingga kami butuh bantuan cahaya untuk melihat jalan. Keluar dari lorong, kami berjalan di atas tembok benteng yang sudah tua, berlumut tetapi masih kokoh, tidak jauh dari benteng pertahanan terdapat panggung pertunjukan yang sengaja dibangun untuk konser. Sambil duduk bersantai dikursi penonton, kang Esa dan kang Sandy “beratraksi” dengan peliharaannya, ternyata tanpa aku tahu, kak Esa membawa ular peliharaannya di dalam tasnya yang bentuknya seperti batok kelapa, aku kira isinya air minum, ternyata... ular! >< Aku cukup shocked, hanya bisa duduk menjauh, memperhatikan dan membatin, ya ampun baru kali ini aku berada dekat dengan ular, seseuatu yang paling aku takuti setelah cicak! ><. Setelah duduk santai kami berjalan lagi menelusuri jalan setapak, lalu kami menemukan taman kecil dan memutuskan untuk duduk-duduk santai mengobrol di saung dan bermain ayunan. Setelah puas di Gunung Kunci, kami (ibu PKK) diajak melanjutkan perjalanan menuju museum Prabu Geusan Ulun.
Museum Prabu Geusan Ulun, terletak tepat di seberang alun-alun Sumedang. Hanya dengan membayar Rp 3000, kita bisa belajar lebih dekat dengan sejarah Sumedang, wisata kali ini kami ditemani seorang ibu yang menjadi guide kami, ibu guide menjelaskan cerita sejarah di balik pusaka dalam bahasa Sunda sementara kang Sandy yang menerjemahkan. Museum ini berisi peninggalan-peninggalan kerajaan Sumedang dahulu kala, museum ini menyimpan banyak pusaka, seperti baju dan jubah, mebel, alat musik gamelan, naskah kuno, kereta kencana,  alat makan kerajaan, miniatur tokoh wayang, dan berbagai senjata yaitu keris, tombak dan meriam.

Aku pribadi tertarik melihat koleksi naskah kuno dan keris. Naskah kuno tersebut banyak ditulis dalam bahasa Sunda dan menggunakan kaligrafi, berisi cerita sejarah dan karya sastra. Pada satu ruangan yang berisi kumpulan naskah kuno, terdapat sebuah lukisan, ibu guide bercerita (dan kang Sandy menerjemahkan) bahwa pada lukisan itu terdapat pangeran Kusumahdinata IX dan jendral  H.W. Daendels. Setelah berhasil menarik simpati rakyat, Daendels memerintahkan rakyat untuk membangun jalan dalam program kerja rodinya. Pada masa itu rakyat masih menggunakan cangkul untuk membangun sehingga pekerjaan berjalan lama, melihat kinerja yang lambat, pasukan Daendels pun marah dan memforsir tenaga rakyat, mengetahui hal tersebut pangeran Kusumahdinata IX turun tangan menemui Daendels membela rakyatnya, setelah berunding, Daendels pun memutuskan untuk meminjamkan palu dan martil untuk mempermudah pekerjaan rakyat. Karena keberanian pangeran Kusumahdinata menghadapi Daendels, ia pun diberi pangkat kolonel, rakyat lebih sering menyebutnya pangeran Kornel.

Koleksi Keris di museum ini sangat beragam, dari keris yang biasa saja sampai yang dihias emas. Setiap tahun pada bulan tertentu keris-keris ini dimandikan dengan air kembang, konon keris ini masih mempunyai “isi”. Keris yang menarik di museum ini adalah keris Nagasasra I dan Nagasasra II, sekilas aku melihat keris ini seperti  keris kembar, namun jika diteliti ada sedikit perbedaan yang terletak pada ukirannya, sejarahnya kedua keris ini adalah hadiah dari seorang raja (aku lupa namanya) yang diberikan pada pangeran Kusumahdinata IX. Jika kita memperhatikan lukisan yang terdapat di ruang naskah kuno, pada saat pangeran Kusumahdinata IX mengahadap jendral Daendels, ia sedang menyandang sebuah keris, keris itu adalah Nagasasra II.

Ada sebuah ruangan khusus yang sangat dijaga ketat karena berisi barang berharga kerajaan, hampir semua barang tersebut berlapis emas, seperti mahkota, perhiasan dan keris. Dalam ruangan tersebut terdapat pula koleksi alat makan kerajaan yang  terbuat dari kristal dan perak yang diukir unik dan artistik. Ada pula koleksi tusuk konde yang juga merupakan senjata yang dipakai para wanita kerajaan sebagai alat pertahanan diri.

Setelah asik berkeliling melihat koleksi pusaka yang mewah, kami diajak menuju garasi yang menyimpan kereta kencana pada zaman kerajaan, semuanya masih asli, hanya direnovasi saja agar kereta kencana tersebut masih kokoh. Ada pula satu kereta kencana tiruan yang megah, kami diperbolehkan berfoto-foto di sana,  untuk sedikit kenang-kenangan, mengingat sedikit sekali objek yang aku foto di museum.

Setelah beristirahat sejenak, kami kembali menyusun rencana berjalan-jalan, akhirnya tercetuslah ide untuk pergi ke curug Gorobog. Perjalanan kali ini ditempuh dengan 2 motor, perjalanan kali ini kami tidak ber-6, mengingat kendaraan tidak mencukupi, kang Teddy mengalah dan kembali ke kandang, sebutan untuk sekre anak-anak pecinta reptil dan ular. Sementara menunggu teman-teman yang sedang salat, aku dan kang Sandy duduk istirahat dan berbincang tentang Sumedang, ada statement kang Sandy yang selalu aku ingat “Sumedang adalah tempat untuk pulang”, kang Sandy menjelaskan, siapa pun yang ke Sumedang,  orang asli Sumedang atau hanya pendatang yang baru berkuncung, suatu saat ketika mereka pergi jauh merantau, mereka akan ingat Sumedang dan pasti ingin datang/pulang kembali ke Sumedang. Hmmm, menarik.

Tujuan akhir sekaligus klimaks perjalanan kami, curug Gorobog. Letak curug Gorobog sangat jauh dari alun-alun Sumedang, tepatnya di desa Citengah. Hari masih sangat cerah, mendukung perjalanan kami, jika waktu masih cukup kami ingin melanjutkan perjalanan menuju kebun teh yang letaknya masih di atas lagi dari curug Gorobog.  Perjalanan kali ini jauh dan menantang, bukan karena kami harus berjalan kaki mendaki gunung atau menembus hutan, namun karena kami harus duduk cukup lama di sepeda motor, belum lagi aku dan mbak Azmi harus dibonceng tiga oleh kang Esa, berat badan kami yang cukup berat  dan kondisi jalan yang cukup rusak, licin dan menanjak menjadi kesulitan tersendiri bagi kami, mak uwo Ratna yang enak Cuma bonceng dua dengan kang Sandy. 

Namun selama perjalanan, rasa letih dan bosan tidak aku rasakan, karena selebar mataku terbuka aku hanya melihat keasrian  pegunungan, sawah, sungai, tebing dan rumah perduduk. Hamparah warna hijau sawah dan gunung, bunyi aliran sungai yang deras, udara dingin dan bersih yang memenuhi  paru-paru, dan kembusan angin yang menggigit kulit wajah terekam dengan baik di memoriku,  awalnya aku ingin merekam keindahan ini dengan video di handphone-ku untuk menjadi kenang-kenangan dan dokumentasi, namun aku batalkan, karena tidak semua kenangan indah yang ditangkap oleh mata dan direkam oleh otak bisa terekam baik di handphone, jika kalian ingin tahu, silahkan rasakan dan alami sendiri.

Setelah melewati jalan yang hampir seluruhnya menanjak dan berbatu, kami pun sampai di gerbang utama curug Gorobog, ternyata gerbang yang biasanya ada penjaganya tersebut digembok, sehingga kami memilih masuh dari jalan setapak di samping agar bisa masuk. Setelah cukup bersusah payah karena sol sepatuku licin, akhirnya kami sampai di jalan utama menuju curug Gorobog. Pemandangan di curug ini..... WAW! Di sebelah kiri aku bisa melihat tebing yang menghampar luas di penuhi pohon-pohon liar yang besar, di bawah tebing aku bisa melihat batu-batu sungai yang hitam dan aliran sungai yang jernih dan deras. Berjalan kurang lebih sekitar 1 kilometer kita akan menemukan  tujuan utama kita, curug Gorobog. Bagiku pemandangan curug ini, fantastis, airnya deras dan sangat jernih, tebing disekitar curug sangat hijau, menyejukan mata. Kami pun berfoto-foto, mengabadikan pemandangan ini, tiba-tiba hujan turun, udara sekitar kami menjadi semakin dingin. Setelah hujan reda, kami berjalan semakin dekat menuju curug. Air curug ini sangat dingin dan bersih, aku ingin berenang atau sekedar menyeburkan diri ke dalamnya tetapi karena tidak membawa baju ganti, kuurungkan saja niatku, kata kang Esa dan kang Sandy air di curug ini bersih dan boleh diminum langsung, terpikir olehku ingin membawa air curug itu sebotol, tetapi aku lupa karena terlalu asik berfoto-foto dan membuat dokumentasi.

Setelah menghabiskan waktu bersenang-senang di curug, kami beristirahat sejenak pada sebuah saung terbuka, sambil menunggu hujan reda. Di tengah istirahat, kami dikejutkan dengan adanya seekor ular yang nampaknya sedang beristirahat di atap saung. Kang Sandy dan kang Esa pun mulai beraksi menangkap ular tersebut. Aku, Azmi dan Ratna hanya bisa bergidik dan berdiri dari jauh, ular tersebut berwarna coklat, berukuran sedang kira-kira 1/2 meter dan kata kang Esa dan kang Sandy ular itu berbisa tinggi. Segera setelah menangkap ular dan memasukan ke dalam tas, kami langsung berangkat pulang menuju kandang.

Setelah melewati jalan yang sebagian besar menurun dan melewati pemandangan hijau yang fantastis, singkat cerita kami sampai di kandang. Di sini aku menemukan pemandangan yang sangat tidak biasa, banyak anak-anak sedang berlatih penangkapan dan tentu saja mereka praktek dengan seekor ular. Lututku rasanya lemas. Tidak hanya ular, ternyata ada biawak kecil juga di sana, diikat dengan tali kekang layaknya seekor anak anjing kecil. Mak uwo Ratna dengan berani mendekati biawak tersebut, mengelus kulitnya dan menggendongnya. Kami berfoto bersama dengan seorang teman baru dari sekre, namanya Ara, masih SMA tapi sudah berani bermain dengan ular. Aku penasaran seperti apa sih kulit biawak itu, aku memang tidak berselera mengelusnya seperti yang dilakukan mak uwo Ratna dan mbak Azmi, aku menyentuhnya dengan ujung jariku, ternyata kulit biawak itu kasar, seperti kulit buah leci. Setelah megamati latihan penangkapan, kami di undang ke sekre, aku pribadi takut masuk ke dalam, tetapi kang Sandy meyakinkan semua ular sudah di bawa keluar. Setelah masuk ke dalam, ternyata masih banyak ular di dalam box kaca dan plastik yang belum di keluarkan, kuberanikan diri saja, sudah berani masuk ke sekre yang ada ular dalam kotak transparan saja sudah merupakan kemajuan yang pesat untukku. Yaa, aku standing applause untuk diriku sendiri, kamu hebat Deb! Hahaha. Tapi sayang sekali aku masih belum mau menyentuh ular, agak menyesal sih ketika pulang dari kandang aku belum menyentuh seujung jari pun seperti apa kulit ular hidup itu, lain kali harus aku coba! (Mungkin).

Selesai latihan penangkapan, ular-ular di masukan ke dalam kandang dan teman-teman pecinta reptil dan ular berkumpul bersama di dalam sekre, kami saling berkenalan dan bercerita. Menurutku mereka anak yang asik, supel dan lucu, ada-ada saja tingkah mereka yang membuatku tertawa dan merasa nyaman di sana, tidak perlu waktu yang lama untuk akrab dengan mereka, tetapi mungkin kunjungan selanjutnya boleh jadi diperlukan. :D

Waktu menunjukan pukul 17.00, sayangnya petualangan kami harus berakhi, setelah berpamitan, kami ketiga ibu PKK harus pulang mengingat keesokan harinya kami ada perwalian dan kami butuh istirahat ekstra.

Sampai di kamar kos, aku langsung meng-upload hasil jepretan mata Xlavie-ku, sambil sesekali mengingat apa saja yang sudah aku lakukan sepanjang hari di Sumedang, dari pagi hingga sore.

Cerita di blog ini hanya lukisan kecil petualangan seharian di Sumedang Selatan. Dari blog ini aku berterima kasih lagi (dan lagi) untuk ketiga akang-akang kasep Sumedang, hahaha... Kang Teddy, kang Sandy dan kang Esa yang udah mau direpotin sama kami bertiga, jangan kapok-kapok ngajak keliling Sumedang lagi ya kang, hehehe... Ditunggu untuk wisata budaya, kuliner dan alam yang selanjutnya. Makasih banyak ya akang-akang. :D

Dan special thanks untuk mbak Kebumen a.k.a Azmi yang udah ngajakin ngacir dan ngenalin teman-teman baru yang asik dan oke bangetlah! Dan juga untuk mak uwo Ratna yang udah mau ikut nemenin juga nih, rasanya gak rame nih kalau gak ada mak uwo! 

Lepas dari zona nyaman itu asik, harapanku perjalanan selanjutnya bisa lebih seru lagi, rasanya aku mau mengeksplor seluruh keindahan Sumedang! -DEER-


Friday, October 19, 2012 0 comments

Setia -Part 3-

Tiga minggu berlalu. Selama itu pula, sesuai dengan keinginanku, kamu pun berjanji tidak akan menemuiku sebelum aku memiliki jawaban yang pasti.

Kini, aku telah memiliki sebuah jawaban.

Aku pun menunggumu di taman. Duduk manis di sebuah ayunan kayu panjang. Mataku terus mengamati cincin emas yang melingkar di jari manisku. Jantungku terus berdebar kencang, gelisah menanti kehadiranmu.

Rasa gelisah pun semakin tidak karuan menghantuiku saat aku melihat mobil Yaris merah berhenti di ujung taman. Keluar dari mobil, kamu tampak tersenyum lebar. Kamu berjalan mendekat, dengan setelan polo shirt belang-belang dan celana jeans. Aku melihat tanganmu membawa setangkai mawar putih, kesukaanku.

"Selamat pagi tuan putri." Ucapmu sambil mengembangkan senyuman manis, lalu kamu memberiku setangkai mawar putih itu.

"Terima kasih," aku membalas tersenyum. Kuhirup aroma mawar putih itu, segar sekali, seperti baru dipetik dari taman. Kamu duduk di sampingku, matamu tak ada lepasnya mengamatiku. Membuatku jadi salah tingkah.

"Santai saja Lili. Ehm... Bagaimana kabarmu hari ini? Sehari aja gak ketemu kamu tuh rasanya... Berat. Tiga minggu tanpa kamu tuh, rasanya sepi."

"Iya... Aku juga kesepian gak ada kamu, gak ada yang gangguin aku lagi. Seneng rasanya bisa lihat kamu lagi sekarang." Aku tertawa lepas, senang rasanya bisa melihatmu lagi

Kamu mengusap kepalaku lalu mengecup keningku. Kamu menatap dalam-dalam mataku, aku bisa melihat ke dalam matamu, kamu sedang menunggu sebuah jawaban. Aku mengamati cincin yang melingkar di jari manisku. Aku memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.

"Maaf... Verdy, aku..."

Ketegangan menyusup di antara kita, kamu tampak kaku menunggu jawabanku.


"Verdy... Aku... Aku sayang kamu. Aku gak mungkin nolak cinta kamu, aku terima lamaran kamu."

Ketegangan pun mencair di antara kita. Wajahmu tampak berseri-seri, kamu tertawa lepas sekali, lalu kamu memelukku erat sekali. Aku juga sangat bahagia, aku merasakan air mataku mulai mengalir deras membasahi bajumu.

*****

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengenakan gaun putih yang sangat cantik dan kamu, menggunakan tuxedo hitam, kemeja putih, dan dasi kupu-kupu, kamu tampak tampak sekali hari itu.
Sore itu kita tidak sedang pergi ke konser Jazz. Kita sedang berdiri di depan altar dan mengikat janji suci.

"Apakah Anda bersedia hidup dalam kasih yang Yesus Kristus beri bagi Anda dan saudara Verdy?"

"Ya, saya bersedia."

Aku bersedia mengikat diriku pada setiap janji suci, sebagaimana yang telah aku dan Verdy janjikan, bahwa kami selalu menjaga kesucian diri kami untuk pernikahan yang suci ini.

Sekarang pada jari manis kita telah terlingkar sebuah cincin emas. Namaku pada cincinmu dan namamu pada cincinku. Aku tidak melihat kemewahan pada cincin itu, namun makna di balik cincin ini, seperti yang kamu katakan padaku pada janji setia kita,

"Cincin ini adalah lambang lingkar kesetiaan kita. Yang tak berujung dan tak berbatas."
Aku tidak akan melupakan janji setia itu.
 

"Tuhan telah mempersatukan Anda sekalian, sebagai pengesahan, saudara Verdy, silahkan, Anda boleh mencium pasangan Anda."

Kita tertawa kecil, merasa lucu dan malu.

Perlahan-lahan kamu membuka cadarku, tangan kananmu dengan lembut membelai pipiku. Mata kita saling bertemu, kamu memelukku dengan erat namun lembut, wajahmu menunduk mendekati wajahku. Untuk pertama kalinya, aku bisa merasakan betapa lembutnya sentuhan bibirmu pada bibirku.

"Lili... Our first kiss." Kamu berbisik padaku. Aku tersipu. Ternyata, seperti ini rasanya.

****

"Berharap kamu ada di sana.

Inilah yang aku lakukan setiap kali hujan tiba. Aku datang ke taman bermain, tempat di mana kamu menungguku."

Dua tahun sudah setelah pernikahan kita. Aku senang bisa melewati suka dan duka bersama dirimu. Aku bahagia.

Tetapi, mengapa kamu pergi terlalu cepat?

Mereka bilang, kamu pergi ke sebuah tempat yang indah, di mana tidak ada lagi air mata dan kesedihan. Aku percaya itu.

Namun, salahkah aku, jika aku berharap kamu menungguku di taman itu. Lagi?

Hujan selalu mengantarku pada ingatan masa lalu yang sangat indah.

Aku tahu, itu hanya imajinasiku.


"Aku yakin, Tuhan punya rencana yang terbaik. Bagiku dan bagimu, Ver."

Cincin yang terukir namamu sudah tidak melingkar di jariku, cincin itu sekarang berada dalam genggamanku. Ku kubur cincin itu ke dalam tanah berlumpur lalu kutinggalkan. Berharap dengan demikian, perlahan-lahan aku bisa merelakanmu.

Namun namamu Verdy, masih terukir dan melingkar di loh hatiku.
Kamu tidak akan tergantikan.

Thursday, October 18, 2012 0 comments

Setia - Part 2-

Pertunjukan malam yang spektakuler.

Aku suka sekali menikmati Fusion Jazz. Hentakan musik yang ekspresif, ungkapan jiwa musisi jazz Indonesia yang semakin hari semakin variatif. Paduan musik etnik Sunda dibalut sentuhan instrumen musik modern, membuat penonton malam itu terlarut.

Kamu juga terlihat sangat antusias, sadar tidak sadar kamu selalu menghentak-hentakan tangan dan kakimu, seolah kamu yang bermain drum atau memetik udara seolah-olah kamu yang bermain gitar. Sesekali kamu memberi komentar atas permainan sang drumer dan gitaris. Bisa saja telingamu mendengar nada-nada yang tidak pas pada permainan itu. Aku suka caramu menikmati musik.

Waktu menunjukan pukul 20.00, penampilan Jazz itu sedang mencapai klimaks, tiba-tiba kamu bertanya

"Eh.. Lili, kamu udah makan belum?"

"Belum Ver, kenapa? Kamu laper ya?"

"Iya, lumayan, yuk makan malem dulu."

Kita berjalan meninggalkan taman Jazz memasuki gedung utama. Sepanjang jalan kamu selalu merangkul bahuku. Kadang kesal juga rasanya saat berjalan bersamamu, kamu tinggi menjulang sementara aku kecil, hanya setiinggi pundakmu, tetapi aku suka. Rasanya nyaman berada dalam rangkulanmu, bahumu yang bidang, membuatku ingin terus bersandar padanya.

Kita tiba di sebuah Cafe. Kamu memilih meja outdoor, agar kita bisa menikmati pemandangan langit malam yang cantik yang ditaburi bintang-bintang dan menikmati desiran air mancur. Kita duduk saling berhadapan.
Kamu memesan Choco-Cheese Cake dan segelas air putih sementara aku memesan segelas susu putih hangat dan cookies, aku tidak lapar malam itu. Menu sedang disiapkan. Kita duduk terdiam. Sayup-sayup musik Jazz masih terdengar cukup jelas di telingaku, jari tangan kananku mengetuk-ngetuk meja, mengikuti irama piano yang sedang dimainkan, sementara kamu terus memandangi aku hingga aku salah tingkah sendiri.
Lalu kamu bertanya,

"Kamu pernah lihat di kaca gak? Bagaimana ekspresi kamu saat menerawang suara piano?"

"Gak pernahlah, kurang kerjaan banget."

"Hahaha... Kamu harus lihat deh, muka kamu tuh lucu, belum lagi pas kamu cuap-cuap sendiri tambah lucu kayak ikan cupang."

"Iiiiih... Jahat!"
Aku mulai mencubiti kamu, merasa lucu, kesal dan geli mendengar pernyataanmu.

"Duuuh, kamu kecil-kecil cubitannya maut ya?"

"Biarin."
Aku mencibir.

Suasana hening kembali. Suara musik Jazz masih terdengar dan aku kembali mengetuk-ngetukan jari-jariku. Tiba-tiba tanganmu meraih jemari tangan kananku dengan lembut.
Aku tahu ini bukan hal baru, tetapi selalu saja, setiap kamu menggenggam tanganku dan menatap mataku dalam-dalam, detak jantungku mulai tidak beraturan. Dan aku hanya tersipu malu memalingkan wajah.

"Lili..."

Aku tahu maksud panggilan itu, kuberanikan diri menatap matamu.


"Lili..."

Aku melihat kamu merogoh sesuatu dari saku celanamu. Ternyata, sebuah kotak mungil berbentuk hati berwarna merah. Hatiku semakin tidak beraturan. Tangan kirimu tetap menggenggam tangan kananku, perlahan-lahan, tangan kananmu membuka kotak itu. Tampak benda kecil, sebuah lingkaran emas bertahtakan sebuah permata mungil. Aku tak sanggup berkata-kata lagi.

"Would you be mine?"

Aku terkesiap mendengar pertanyaanmu. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu yang ada di dalam hatiku, tetapi lidahku kaku dan sepertinya ada sesuatu di dalam tenggorokanku.

Perlahan kamu memasangkan cincin mungil itu pada jari manisku.

"Puji Tuhan, ternyata pas." Katamu sambil tersenyum.

Rasanya... Jantungku ingin melompat dari rongga dadaku, bibirku bergetar, tanpa permisi, air mata mulai berjatuhan dari mataku.

"Kenapa Lili? Kamu gak suka cincinnya? Tentang, itu baru cincin tunangan kita kok, nanti aku belikan yang lebih bagus."

Aku menggeleng, tangisku semakin menjadi.

Kamu menungguku tenang, wajahmu tampak cemas. Aku tidak ingin membuatmu khawatir, aku segera menguatkan diriku untuk mengangkat bicara.

"Aku...", aku tidak sanggup mengatakannya.

"Iya, Lili?"

 "Aku... Gak siap." Air mataku mengalir semakin deras, lega rasanya, namun ada rasa sakit yang hatiku rasakan saat mengucapkan itu.

Kamu tampak tenang, perlahan bibirmu menyunggingkan sebuah senyuman dan kamu tertawa.

"Aku gak minta jawabannya sekarang, sayang. Tenang aja, aku akan kasih kamu waktu untuk memikirkan jawabannya." Kamu menggenggam kembali tangan kananku lalu mengecupnya.

******

Sisa malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus merenungi pertanyaanmu. Aku duduk bersandar di atas ranjangku. Sepanjang malam, ku pandangi terus benda kecil mengkilap yang melingkar di jari manisku.

Aku takut, jujur, pernikahan adalah sesuatu yang belum bisa aku bayangkan. Tetapi, aku teringat kata-katamu saat mengantarku pulang setelah pertunjukan Jazz malam itu,

“Jangan khawatir, kita hadapi ini bersama-sama. Kamu gak sendirian, Lili, ada aku yang akan selalu bersamamu.” Lalu kamu mengecup keningku.

Malam berakhir, aku masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat.

Sunday, October 14, 2012 0 comments

Juli dan Ana -Part 1-

-Aku-

Juli. Rasa nyaman selalu kurasakan setiap kali berada disisinya. Ingin rasanya bisa meghabiskan setiap detik bersama dia, entah itu belajar bersama, bercerita atau sekedar duduk-duduk santai di bawah pohon seperti saat ini.

Dia sahabat baikku, ia lebih tua 2 tahun dariku. Sejak kami masih kecil, kami sering bermain bersama. Aku ingat, ia yang selalu meneraktirku es krim setiap hari Sabtu dan kebiasaan itu terus berlangsung hingga saat ini. Aku suka es krim, lebih tepatnya, es krim yang ia beri. Dari semua teman yang aku kenal, hanya Juli yang (betah) menjadi sahabat baikku.

Ia tahu segala hal tentang diriku dan begitu pula sebaliknya. Rasanya sulit menyimpan rahasia darinya. Setiap hari kami sempatkan sedikit waktu untuk bertemu setidaknya untuk bercerita apa saja yang kami alami selama satu hari. Belakangan ini, semenjak aku sudah mulai kuliah, kami semakin jarang bertemu. Maklum, mahasiswa baru yang masih dalam masa orientasi, pulang kuliah ada saja kegiatan (gak penting) yang harus aku ikuti. But, thank God it's Saturday, baik aku maupun Juli tidak punya kesibukan, akhirnya kami bisa bersama-sama lagi.

Hari yang indah, aku hanya duduk bersandar di bawah "Pohon Sahabat" (pohon masa kecil kami), sementara Juli sedang asik membaca novel sambil berbaring di rumput. Sekilas aku menatap Juli. Entahlah, aku melihat semakin hari, Juli tampak semakin.... Tampan? Yah... Memang Juli menjadi pria idaman di kampus, tetapi, sebagai sahabat yang sudah lama mengenal Juli, bagiku ia biasa-biasa saja. Tetapi....

"Ana, gimana ospeknya? Udah selesai?"

"Belum, Jul, tinggal 1 minggu lagi, jenuh banget rasanya satu bulan harus pake name tag gede, kemeja dan rok panjang, penampilanku jadi culun tau gak?"

"Hahahahaha.... Yang sabar ya, adek, dulu aku juga begitu. Kamu enak udah ga ada lagi senioritas, semua kakak-kakakmu baik, dulu aku disiksa habis-habisan."

"Itu sih deritamu, makanya jangan ketuaan, hahaha..."

"Dasar maba! Tua-tua begini, bentar lagi aku skripsi nih, kamu belajar yang bener ya, biar lulusnya cepet."

"Iya kakak."

Beruntung rasanya mengenal Juli, selain menjadi teman, Juli juga bisa menjadi kakakku.

"Jangan ngecengin cowo-cowo mulu di kampus, hahaha...", ejek Juli.

"Idiih... Enak aja, aku kan anak baik-baik, pacaran aja belum pernah."

Ia, rasanya cukup menyedihkan, sampai saat ini aku belum pernah pacaran, bukan karena gak laku, tetapi aku belum menemukan orang yang tepat. Sudah berapa puluh cowo yang aku tolak karena aku gak merasa nyaman dengan mereka.

"Eh, kamu udah nemu gebetan belum di kampus? Biasanya maba-maba cewe tuh lagi semangat-semangatnya cari kecengan, apalagi yang udah senior, hahaha...", Juli masih asik dengan bukunya.

"Belum, Jul."

"Ah, yang bener kamu? Hayoo ngaku aja, aku bantuin pedekate deh."

"Beneran Jul,  belum nemu, dan alasannya masih sama kayak dulu."

Juli menutup novelnya, lalu beranjak duduk, dan menatapku.

"Ana... Kamu udah kuliah loh, kamu gak bisa terus-terusan berpegang sama prinsip anak SMA kayak gitu. Sampai kapan kamu berharap bisa ketemu sama orang yang bener-bener bisa bikin kamu nyaman?"

Aku hanya terdiam, bingung mau menjawab apa.

"Coba deh kamu pikirin baik-baik An." Juli kembali berbaring di rumput sambil membaca buku.

"Kamu sendiri Jul, belum pernah pacaran lagi kan sejak lulus SMA? Itu kenapa coba?" Tanyaku, sedikit menyindir Juli.

"......" Juli diam mematung.

"Kenapa coba Jul?"

"Itu lain soal."

"Lebih jelasnya?"

"Karena... Cewe yang aku tembak, gak ada yang mau sama aku."

"Hahahahahaha...." Aku tertawa lepas.

"Jahat kamu An, masa temen susah diketawain?"

"Hahaha... Ampun Juli."

Juli kembali duduk, kali ini ia ikut bersandar di pohon, di samping kiriku.

"Nah itulah cinta dalam hidup An. Cowo memang yang memilih namun pada akhirnya cewe yang memutuskan untuk menerima atau enggak. Agak gak adil sih buat kita cowo-cowo, karena kita yang pusing mikirin gimana caranya bisa melunakan hati kalian para cewe, yang kadang bisa lebih keras dari batu. Aku tahu rasa patah hati yang dirasain cowo-cowo yang kamu tolak."

"Dan aku juga tahu apa alasan cewe-cewe yang nolak kamu, Jul. Mereka gak mau nyakitin kamu."

Keheningan menyusup di antara percakapan kami. Juli membuka kembali percakapan kami.

"Ehm... Kamu pribadi pernah gak suka sama cowo gitu, yah mungkin yang cuma sekedar kamu bisa lihat dari kejauhan?"

Aku hanya menggeleng.

"Kamu pernah gak Jul, suka sama cewe yang sebenarnya bisa kamu deketin, tapi kamu bingung gimana caranya deketin dia?"

Juli terdiam, tampak berpikir seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Mungkin. Pernah."

Lagi-lagi kami terdiam. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, suara dedaunan kering yang berjatuhan kini mengisi kehenigan di antara kami.

"Hoaam... Duh aku ngantuk. Numpang tidur yaa..." Seperti biasa, Juli membaringkan kepalanya di atas pangkuanku. Matanya mulai mengatup damai.

"Dasar tukang tidur." Aku membelai lembut rambut Juli. Aku tersenyum sendiri memandangi Juli yang sedang terlelap dalam pangkuanku. Mataku menerawang cukup jauh, mengingat pertanyaan terakhir Juli. Aku menjawabnya dalam hati,

"Bagaimana mungkin? Sementara seseorang yang aku suka berada sangat dekat denganku."

Kamulah alasan mengapa aku menolak mereka dan kamu juga alasan aku berbohong pada diriku sendiri.






0 comments

Kepada Bintang



Malam gelap dan sepi
aku berharap ada bintang menemaniku
dalam mimpi

Di mataku,
sinarmu, bintang, tak pernah padam
di balik cerahnya langit pagi
kamu tetap bersinar terang

Kamu bintang yang paling terang
malam dan pagi,
di hatiku
selalu

Langit mendung,
awan menghalangi cahayamu

Bintang, aku rindu kamu
Friday, October 12, 2012 0 comments

Random: Kacamata Hidup

Wilujeng Sumping...
Herzlich Wilkommen..
Bienvenue...
Welcome...
Selamat datang.



Yap, itu sedikit sapaan dalam beberapa bahasa yang aku pelajari (pamer dikit bisa macem-macem bahasa, hehe), sebenarnya masih ada satu bahasa lagi, yaitu bahasa Rusia, tetapi berhubung program yang terkait untuk menulis alfabet Rusia belum terinstal dalam Laptopku, jadi tidak usah saja.
Akhirnya, ada juga kesempatanku untuk berbagi cerita dalam blog ini.

Well... 1 bulan lebih 2 minggu sudah aku menetap di ranah Jatinangor yang cuacanya sedang adem-ademnya, seruuuu banget rasanya tinggal sendirian di kamar sepetak, di mana semua aktivitas dari tidur sampe tidur (lagi), aku lakukan di kamar ini. Belum lagi kegiatan-kegiatan yang kulakukan di luar kamar yang udah super cozy ini, entah itu kuliah, latihan paduan suara, pergi ke Bandung atau ngeceng... eeh maksudnya nangkring (FYI, ngeceng di Jatinangor itu diartikan sebagai... apa yah... kalau kata temenku dan yang aku tangkap, ngeceng di sini tuh artinya deketin cowo/cewe, macem pedekate atau semacamnya, sementara ngeceng yang aku tahu dulu yaah sama aja kayak nangkring a.k.a nongkrong a.k.a ngumpul sama temen2 a.k.a jalan-jalan ke mall-mall atau semacamnya. So, hati-hati menggunakan istilah di sini, bisa salah arti, nanti orang lain nangkepnya beda kita juga yang rugi, okeey?)

Kembali ke cerita. Ehemm...

Rasanya tinggal jauh dari rumah itu... SERUU! Walau pun aku masih sering kangeen banget sama suana rumah, keluarga dan sahabat-sahabat di Tangerang Selatan sana. Di sini aku dituntut super duper mandiri, aku gak bisa bergantung sepenuhnya sama orang lain, semuanya harus aku kerjain sendiri, mulai dari belajar, beres-beres kamar, nyari makan, nyiapin sarapan (ini yang lumayan repot), nyuci, manage waktu sampai ngatur keuangan (ini yang susah) aku harus tahu yang mana yang menjadi kebutuhan yang harus di prioritaskan dan yang mana yang bisa di tunda. Dulu waktu masih sekolah, aku bisa dengan seenak jidat foya-foyain duit jajan yang orang tua dan nenek kasih, mau pake beli baju atau sepatu seabrek, atau jalan-jalan sama temen atau disimpen sendiri yaah itu terserah aku karena biaya hidupku sehari-hari seperti makan dan lain-lainnya, yah orang tua yang tanggung. Sementara sekarang aku di kasih jatah uang saku 1 bulan sekian rupiah oleh orang tua dan aku gak bisa pakai itu seenak jidat kayak waktu zaman SD, SMP, SMA. Sekarang biaya apa pun harus aku yang manage sendiri. Aku gak bisa dengan seenak jidat menghabiskan uangku untuk hal-hal yang gak penting. Aku teringat sebuah statement yang pernah diutarakan guruku waktu SMA, begini katanya,

"apakah kalian bisa menghabiskan uang Rp 200.000 rupiah dalam waktu 1 hari?"

Lantas aku tertawa garing, dalam pikiran, aku membayangkan itu gampang banget tinggal pergi ke mall cari dress yang harganya 200.000 dan misi pun selesai. Lalu guruku bertanya lagi,

"tetapi, apakah kalian bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam waktu sehari?"

Pertanyaan ini yang membuat aku juga sadar untuk tidak menghambur-hamburkan uang.
Aku cukup menyesal karena rekening bank yang telah nyokap buat saat aku SMP gak pernah mencapai target, mencapai target sih tapi selalu aja, ada aja yang aku perlu sehingga tabungan itu habis. Menyesal banget sih enggak karena... yah aku sendiri menikmati apa yang ku dapat.

Waktu liburan kelulusan SMA, aku mencoba bekerja. Aku ngajar jadi guru les keyboard dan piano privat, menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan bagi aku dan penghasilanku sebagai guru amatiran yaah... tidak seberapa, tetapi aku suka itu. Dan aku juga mencoba magang dibidang administrasi di bengkel (ini jauuh lebih sulit dan memakan banyak waktu dari pada menjadi guru les), jujur, menjadi administrator bukan bidang yang aku suka, aku bekerja hanya 2 hari (karena setelah 2 hari bekerja, semua karyawan libur lebaran), tetapi aku membuktikan aku bisa bekerja dengan maksimal dan hasil usahanya pun, cukup. Dari hasil aku bekerja, aku bisa membuka rekening baru untuk menyimpan biaya hidupku selama di Jatinangor.

Kuliah di luar kota dan nge-kos sendirian itu adalah tantangan yang cukup besar bagiku. Aku bersyukur banget, Tuhan baik masih menyertaiku dan ngasih segala kemudahan, salah satunya tempat kosku ini. Walau kata orang nge-kos di tempat aku ini rawan maling lah, jauh dari keramaian kota dan terpencil, aku merasakan yang sebaliknya. FYI, aku tinggal di Cisaladah, tepat di sebelah jembatan Cingcing, yang menjadi jalan penghubung, objek wisata peninggalan Belanda sekaligus mitos masyarakat. Letaknya sangaaaaat dekat dengan Fakultasku (FIB), dari kamarku menuju kelas cuma butuh 5 menit. Aku udah kerasan banget tinggal di sini. Letaknya jauh dari keramaian kota, nah justru itu aku seneng karena selalu mengingatkan aku sama rumah aku yang juga jauh dari keramaian. Tempat ini justru mendukung semua kegiatanku, aku aktif di kegiatan kampus, jadi kalau mau apa-apa aku bisa tinggal pulang bentar ke kos-an, mungkin bisa curi-curi tidur siang dulu baru deh ikut UKM, dll.

Aku pribadi memang tipe orang yang suka jalan-jalan dan makan-makan, tetapi aku juga adalah orang yang sangat memperhitungkan jadwal kegiatan-kegiatanku, aku gak mungkin jalan-jalan setiap hari atau pergi makan-makan mewah setiap hari karena aku punya kegiatan lain yang lebih penting, jadi ada saat-saat tertentu aku mau memanjakan diri, aku menyebutnya sebagai "Hari Jenuh", di mana aku memang sangat jenuh dan butuh refreshing seperti hari ini. Aku jadi keinget terus sama nyokap, tiap minggu ada aja nyokap suka ngajak aku makan salad di Pizza Hut atau makan mi ayam atau sekedar keliling Pamulang saat aku emang lagi bosan. Saat bosan, aku inget SMA-ku tersayang, Santa Ursula BSD, aku memang sering merasa sangat bosan sekolah di sana, namun setiap hari aku menemukan dan menerima hal-hal luar biasa di sana, dan karena sekolah ini pula, aku bisa seperti ini :). Ternyata, rasa bosan pun bisa menjadi rindu.

Rasanya... Bener-bener gak nyangka aku bisa ada di sini sekarang, di Jatinangor, di kamar kos, di Universitas Padjadjaran. Memang benar, rancangan Tuhan itu jauuuh lebih indah dari pada mimpi kita. Aku inget, aku selalu memimpikan bisa kuliah di Sastra Perancis UI dan punya jaket kuning, jaket yang selalu mencolok dan menggoda. Dan ternyata aku mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari sekedar impian, aku mendapatkan realita, kenyataan. Memang Tuhan itu luar biasa merancangkan hidupku sedemikian rupa :). Sejak menjejakan kaki di Jatinangor dan Sastra Jerman, tidak pernah ada terlintas di pikiranku untuk minggat dan mengejar impianku yang dulu.

Impian terbesarku masih tetap sama. Aku ingin menjadi musisi dan penulis yang luar biasa. Aku ingin tulisanku dipublish dan difilmkan, aku ingin pergi ke Perancis, menikmati keindahan negara itu, menonton pertunjukan opera di sana, berkeliling Eropa, bertemu dengan seniman jalanan dan belajar hal-hal menarik di sana. Aku ingin sekali menulis cerita tentang Perancis dan Jerman. Aku ingin merasakan tuts-tuts piano di Jerman, mungkin piano yang pernah dimainkan oleh Mozart atau Bethoven. Satu mimpi baru lagi, aku ingin mengukir puisiku di sebuah tempat di Perancis dan Jerman dalam 3 bahasa, Indonesia, Jerman dan Perancis. Mungkin juga Sunda dan Rusia, hahaha. XD



 
;