Listen


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
Saturday, February 23, 2013

Ayo Wisata Sejarah dan Alam di Sumedang!




Wilujeng Sumping!!

 
Wah... Setelah sekian lama mati suri, hari ini aku akan menghidupkan kembali blog ini dengan sebuah cerita baru, sebuah perjalanan menuju kota Sumedang selatan.  Kali ini aku akan memperkenalkan lima orang teman baru, Azmi (red. Mbak Azmi, mbak Kebumen), Ratna (red. Mak uwo Ratna), kang Teddy, kang Sandy, dan kang Esa (red. Akang-akang kasep Sumedang).
Awalnya, kami ibu-ibu PKK yang terdiri dari 10 dara yang geulis, (hiper)aktif dan cerdas berencana untuk pergi 1 hari berwisata alam ke Sumedang pada minggu terakhir dalam libur semester  1, namun setelah “seleksi alam” tersisalah tiga wanita perkasa, yaitu, aku, mbak Azmi dan mak uwo Ratna. Mbak Azmi punya kenalan yang tinggal di Sumedang, konon katanya mbak Azmi kenal dengan mereka dalam suatu petualangan mendaki gunung Tampo Mas (1680 Km dari permukaan laut) yang ada di Sumedang Selatan. Mereka adalah kang Teddy, kang Sandy, dan kang Esa, mereka adalah anak-anak pecinta reptil dan ular, nah dalam cerita ini mereka adalah para guide dan teman baru yang seru dan asik!


Jumat, 13 Februari 2013, pagi hari pukul 06.00 kami 3 ibu PKK berkumpul di gerbang lama (gerlam) Universitas Padjadjaran Jatinangor, kami sarapan bubur ayam yang nikmat dan murah (harga mahasiswa). Selesai sarapan kami mulai menunggu kendaraan. Karena ini pengalaman pertama kami keluar Jatinangor menuju Sumedang, kami bingung harus naik apa, banyak alternatif kami bisa naik bus, angkot, atau elf, tetapi kami bingung harus naik yang mana, akhirnya kami memutuskan untuk naik Elf di Jalan Raya Sumedang, perjalanan yang kami tempuh cukup jauh dan memakan waktu yang cukup lama, terutama karena ada kemacetan di daerah Cikuda ke atas, perjalanan ini pun tidak membosankan karena sepanjang perjalanan kami disuguhi keasrian alam Sumedang, perbukitan, tebing-tebing, dan rumah-rumah penduduk. Dengan membayar Rp 7000 per orang kami diantar sampai di pertigaan Polres di Sumedang Selatan. Lalu kami melanjutkan perjalanan singkat dengan angkot coklat Cileunyi-Sumedang menuju alun-alun Sumedang, biayanya Rp 2000 per orang.
  
Sedikit review, seharusnya kami tidak perlu naik Elf, cukup naik angkot Cileunyi-Sumedang saja dari Jatinangor, selain mudah, kami juga bisa menghemat biaya transportasi, hanya dengan membayar Rp 6000 kita bisa sampai di alun-alun Sumedang.

Setelah menunggu ketiga orang teman baru kami dari Sumedang, kang Teddy, kang Sandy dan kang Esa, akang-akang kasep Sumedang ini punya banyak rekomendasi objek wisata yang asik. Kedatangan kami di Sumedang disambut hangat, walau agak sedikit canggung namun lama-kelamaan kami bisa akrab juga, setelah agak bingung memutuskan akan pergi ke mana,  kami pun memulai petualangan kami menuju gunung Kunci, jarak gunung Kunci cukup dekat dari alun-alun Sumedang, sehingga kami hanya perlu berjalan kaki saja. Gunung kunci bukan gunung bebas yang belum terjamah manusia, menurut cerita akang-akang Sumedang, dahulu gunung ini merupakan benteng Belanda, pada gunung ini pun dibangun ruang-ruang dan terowongan, di sekeliling gunung juga dikelilingi tembok yang merupakan benteng pertahanan dan juga penjara. Kalau kata kang Teddy sekarang benteng ini berubah fungsi, bukan lagi benteng pertahanan Belanda melainkan benteng pertahanan orang-orang yang lagi pacaran, cukup terbukti kemarin kami menemuka ada pasangan yang asik pacaran di gunung Kunci, yang berpegangan tangan mengitari benteng, ada pula coretan hari jadi dan ungkapan cinta di tangga dan di batu sekitar gunung. Ada-ada saja mereka. 

Sekarang gunung Kunci dikelolah menjadi objek wisata alam, hanya dengan membayar Rp 3000 kami bisa menikmati keindahan alam gunung Kunci. Bagi yang ingin berkunjung, kalian tidak perlu khawatir dengan track gunung yang sulit, gunung Kunci sudah dibangun jalan setepak yang mempermudah perjalanan kita. Di gunung Kunci kita bisa menemukan lorong yang merupakan terowongan Belanda, sepanjang lorong ada pintu dan tangga menuju bilik yang lain, ruangan dalam terowongan itu lembab, pengap dan cukup gelap sehingga kami butuh bantuan cahaya untuk melihat jalan. Keluar dari lorong, kami berjalan di atas tembok benteng yang sudah tua, berlumut tetapi masih kokoh, tidak jauh dari benteng pertahanan terdapat panggung pertunjukan yang sengaja dibangun untuk konser. Sambil duduk bersantai dikursi penonton, kang Esa dan kang Sandy “beratraksi” dengan peliharaannya, ternyata tanpa aku tahu, kak Esa membawa ular peliharaannya di dalam tasnya yang bentuknya seperti batok kelapa, aku kira isinya air minum, ternyata... ular! >< Aku cukup shocked, hanya bisa duduk menjauh, memperhatikan dan membatin, ya ampun baru kali ini aku berada dekat dengan ular, seseuatu yang paling aku takuti setelah cicak! ><. Setelah duduk santai kami berjalan lagi menelusuri jalan setapak, lalu kami menemukan taman kecil dan memutuskan untuk duduk-duduk santai mengobrol di saung dan bermain ayunan. Setelah puas di Gunung Kunci, kami (ibu PKK) diajak melanjutkan perjalanan menuju museum Prabu Geusan Ulun.
Museum Prabu Geusan Ulun, terletak tepat di seberang alun-alun Sumedang. Hanya dengan membayar Rp 3000, kita bisa belajar lebih dekat dengan sejarah Sumedang, wisata kali ini kami ditemani seorang ibu yang menjadi guide kami, ibu guide menjelaskan cerita sejarah di balik pusaka dalam bahasa Sunda sementara kang Sandy yang menerjemahkan. Museum ini berisi peninggalan-peninggalan kerajaan Sumedang dahulu kala, museum ini menyimpan banyak pusaka, seperti baju dan jubah, mebel, alat musik gamelan, naskah kuno, kereta kencana,  alat makan kerajaan, miniatur tokoh wayang, dan berbagai senjata yaitu keris, tombak dan meriam.

Aku pribadi tertarik melihat koleksi naskah kuno dan keris. Naskah kuno tersebut banyak ditulis dalam bahasa Sunda dan menggunakan kaligrafi, berisi cerita sejarah dan karya sastra. Pada satu ruangan yang berisi kumpulan naskah kuno, terdapat sebuah lukisan, ibu guide bercerita (dan kang Sandy menerjemahkan) bahwa pada lukisan itu terdapat pangeran Kusumahdinata IX dan jendral  H.W. Daendels. Setelah berhasil menarik simpati rakyat, Daendels memerintahkan rakyat untuk membangun jalan dalam program kerja rodinya. Pada masa itu rakyat masih menggunakan cangkul untuk membangun sehingga pekerjaan berjalan lama, melihat kinerja yang lambat, pasukan Daendels pun marah dan memforsir tenaga rakyat, mengetahui hal tersebut pangeran Kusumahdinata IX turun tangan menemui Daendels membela rakyatnya, setelah berunding, Daendels pun memutuskan untuk meminjamkan palu dan martil untuk mempermudah pekerjaan rakyat. Karena keberanian pangeran Kusumahdinata menghadapi Daendels, ia pun diberi pangkat kolonel, rakyat lebih sering menyebutnya pangeran Kornel.

Koleksi Keris di museum ini sangat beragam, dari keris yang biasa saja sampai yang dihias emas. Setiap tahun pada bulan tertentu keris-keris ini dimandikan dengan air kembang, konon keris ini masih mempunyai “isi”. Keris yang menarik di museum ini adalah keris Nagasasra I dan Nagasasra II, sekilas aku melihat keris ini seperti  keris kembar, namun jika diteliti ada sedikit perbedaan yang terletak pada ukirannya, sejarahnya kedua keris ini adalah hadiah dari seorang raja (aku lupa namanya) yang diberikan pada pangeran Kusumahdinata IX. Jika kita memperhatikan lukisan yang terdapat di ruang naskah kuno, pada saat pangeran Kusumahdinata IX mengahadap jendral Daendels, ia sedang menyandang sebuah keris, keris itu adalah Nagasasra II.

Ada sebuah ruangan khusus yang sangat dijaga ketat karena berisi barang berharga kerajaan, hampir semua barang tersebut berlapis emas, seperti mahkota, perhiasan dan keris. Dalam ruangan tersebut terdapat pula koleksi alat makan kerajaan yang  terbuat dari kristal dan perak yang diukir unik dan artistik. Ada pula koleksi tusuk konde yang juga merupakan senjata yang dipakai para wanita kerajaan sebagai alat pertahanan diri.

Setelah asik berkeliling melihat koleksi pusaka yang mewah, kami diajak menuju garasi yang menyimpan kereta kencana pada zaman kerajaan, semuanya masih asli, hanya direnovasi saja agar kereta kencana tersebut masih kokoh. Ada pula satu kereta kencana tiruan yang megah, kami diperbolehkan berfoto-foto di sana,  untuk sedikit kenang-kenangan, mengingat sedikit sekali objek yang aku foto di museum.

Setelah beristirahat sejenak, kami kembali menyusun rencana berjalan-jalan, akhirnya tercetuslah ide untuk pergi ke curug Gorobog. Perjalanan kali ini ditempuh dengan 2 motor, perjalanan kali ini kami tidak ber-6, mengingat kendaraan tidak mencukupi, kang Teddy mengalah dan kembali ke kandang, sebutan untuk sekre anak-anak pecinta reptil dan ular. Sementara menunggu teman-teman yang sedang salat, aku dan kang Sandy duduk istirahat dan berbincang tentang Sumedang, ada statement kang Sandy yang selalu aku ingat “Sumedang adalah tempat untuk pulang”, kang Sandy menjelaskan, siapa pun yang ke Sumedang,  orang asli Sumedang atau hanya pendatang yang baru berkuncung, suatu saat ketika mereka pergi jauh merantau, mereka akan ingat Sumedang dan pasti ingin datang/pulang kembali ke Sumedang. Hmmm, menarik.

Tujuan akhir sekaligus klimaks perjalanan kami, curug Gorobog. Letak curug Gorobog sangat jauh dari alun-alun Sumedang, tepatnya di desa Citengah. Hari masih sangat cerah, mendukung perjalanan kami, jika waktu masih cukup kami ingin melanjutkan perjalanan menuju kebun teh yang letaknya masih di atas lagi dari curug Gorobog.  Perjalanan kali ini jauh dan menantang, bukan karena kami harus berjalan kaki mendaki gunung atau menembus hutan, namun karena kami harus duduk cukup lama di sepeda motor, belum lagi aku dan mbak Azmi harus dibonceng tiga oleh kang Esa, berat badan kami yang cukup berat  dan kondisi jalan yang cukup rusak, licin dan menanjak menjadi kesulitan tersendiri bagi kami, mak uwo Ratna yang enak Cuma bonceng dua dengan kang Sandy. 

Namun selama perjalanan, rasa letih dan bosan tidak aku rasakan, karena selebar mataku terbuka aku hanya melihat keasrian  pegunungan, sawah, sungai, tebing dan rumah perduduk. Hamparah warna hijau sawah dan gunung, bunyi aliran sungai yang deras, udara dingin dan bersih yang memenuhi  paru-paru, dan kembusan angin yang menggigit kulit wajah terekam dengan baik di memoriku,  awalnya aku ingin merekam keindahan ini dengan video di handphone-ku untuk menjadi kenang-kenangan dan dokumentasi, namun aku batalkan, karena tidak semua kenangan indah yang ditangkap oleh mata dan direkam oleh otak bisa terekam baik di handphone, jika kalian ingin tahu, silahkan rasakan dan alami sendiri.

Setelah melewati jalan yang hampir seluruhnya menanjak dan berbatu, kami pun sampai di gerbang utama curug Gorobog, ternyata gerbang yang biasanya ada penjaganya tersebut digembok, sehingga kami memilih masuh dari jalan setapak di samping agar bisa masuk. Setelah cukup bersusah payah karena sol sepatuku licin, akhirnya kami sampai di jalan utama menuju curug Gorobog. Pemandangan di curug ini..... WAW! Di sebelah kiri aku bisa melihat tebing yang menghampar luas di penuhi pohon-pohon liar yang besar, di bawah tebing aku bisa melihat batu-batu sungai yang hitam dan aliran sungai yang jernih dan deras. Berjalan kurang lebih sekitar 1 kilometer kita akan menemukan  tujuan utama kita, curug Gorobog. Bagiku pemandangan curug ini, fantastis, airnya deras dan sangat jernih, tebing disekitar curug sangat hijau, menyejukan mata. Kami pun berfoto-foto, mengabadikan pemandangan ini, tiba-tiba hujan turun, udara sekitar kami menjadi semakin dingin. Setelah hujan reda, kami berjalan semakin dekat menuju curug. Air curug ini sangat dingin dan bersih, aku ingin berenang atau sekedar menyeburkan diri ke dalamnya tetapi karena tidak membawa baju ganti, kuurungkan saja niatku, kata kang Esa dan kang Sandy air di curug ini bersih dan boleh diminum langsung, terpikir olehku ingin membawa air curug itu sebotol, tetapi aku lupa karena terlalu asik berfoto-foto dan membuat dokumentasi.

Setelah menghabiskan waktu bersenang-senang di curug, kami beristirahat sejenak pada sebuah saung terbuka, sambil menunggu hujan reda. Di tengah istirahat, kami dikejutkan dengan adanya seekor ular yang nampaknya sedang beristirahat di atap saung. Kang Sandy dan kang Esa pun mulai beraksi menangkap ular tersebut. Aku, Azmi dan Ratna hanya bisa bergidik dan berdiri dari jauh, ular tersebut berwarna coklat, berukuran sedang kira-kira 1/2 meter dan kata kang Esa dan kang Sandy ular itu berbisa tinggi. Segera setelah menangkap ular dan memasukan ke dalam tas, kami langsung berangkat pulang menuju kandang.

Setelah melewati jalan yang sebagian besar menurun dan melewati pemandangan hijau yang fantastis, singkat cerita kami sampai di kandang. Di sini aku menemukan pemandangan yang sangat tidak biasa, banyak anak-anak sedang berlatih penangkapan dan tentu saja mereka praktek dengan seekor ular. Lututku rasanya lemas. Tidak hanya ular, ternyata ada biawak kecil juga di sana, diikat dengan tali kekang layaknya seekor anak anjing kecil. Mak uwo Ratna dengan berani mendekati biawak tersebut, mengelus kulitnya dan menggendongnya. Kami berfoto bersama dengan seorang teman baru dari sekre, namanya Ara, masih SMA tapi sudah berani bermain dengan ular. Aku penasaran seperti apa sih kulit biawak itu, aku memang tidak berselera mengelusnya seperti yang dilakukan mak uwo Ratna dan mbak Azmi, aku menyentuhnya dengan ujung jariku, ternyata kulit biawak itu kasar, seperti kulit buah leci. Setelah megamati latihan penangkapan, kami di undang ke sekre, aku pribadi takut masuk ke dalam, tetapi kang Sandy meyakinkan semua ular sudah di bawa keluar. Setelah masuk ke dalam, ternyata masih banyak ular di dalam box kaca dan plastik yang belum di keluarkan, kuberanikan diri saja, sudah berani masuk ke sekre yang ada ular dalam kotak transparan saja sudah merupakan kemajuan yang pesat untukku. Yaa, aku standing applause untuk diriku sendiri, kamu hebat Deb! Hahaha. Tapi sayang sekali aku masih belum mau menyentuh ular, agak menyesal sih ketika pulang dari kandang aku belum menyentuh seujung jari pun seperti apa kulit ular hidup itu, lain kali harus aku coba! (Mungkin).

Selesai latihan penangkapan, ular-ular di masukan ke dalam kandang dan teman-teman pecinta reptil dan ular berkumpul bersama di dalam sekre, kami saling berkenalan dan bercerita. Menurutku mereka anak yang asik, supel dan lucu, ada-ada saja tingkah mereka yang membuatku tertawa dan merasa nyaman di sana, tidak perlu waktu yang lama untuk akrab dengan mereka, tetapi mungkin kunjungan selanjutnya boleh jadi diperlukan. :D

Waktu menunjukan pukul 17.00, sayangnya petualangan kami harus berakhi, setelah berpamitan, kami ketiga ibu PKK harus pulang mengingat keesokan harinya kami ada perwalian dan kami butuh istirahat ekstra.

Sampai di kamar kos, aku langsung meng-upload hasil jepretan mata Xlavie-ku, sambil sesekali mengingat apa saja yang sudah aku lakukan sepanjang hari di Sumedang, dari pagi hingga sore.

Cerita di blog ini hanya lukisan kecil petualangan seharian di Sumedang Selatan. Dari blog ini aku berterima kasih lagi (dan lagi) untuk ketiga akang-akang kasep Sumedang, hahaha... Kang Teddy, kang Sandy dan kang Esa yang udah mau direpotin sama kami bertiga, jangan kapok-kapok ngajak keliling Sumedang lagi ya kang, hehehe... Ditunggu untuk wisata budaya, kuliner dan alam yang selanjutnya. Makasih banyak ya akang-akang. :D

Dan special thanks untuk mbak Kebumen a.k.a Azmi yang udah ngajakin ngacir dan ngenalin teman-teman baru yang asik dan oke bangetlah! Dan juga untuk mak uwo Ratna yang udah mau ikut nemenin juga nih, rasanya gak rame nih kalau gak ada mak uwo! 

Lepas dari zona nyaman itu asik, harapanku perjalanan selanjutnya bisa lebih seru lagi, rasanya aku mau mengeksplor seluruh keindahan Sumedang! -DEER-


1 comments:

Unknown said...

wah anak unpad juga ya?
baca tulisan ini jadi nostalgia pas KKN haha

Post a Comment

 
;