Wilujeng Sumping!!
Wah... Setelah sekian lama mati suri, hari ini aku akan
menghidupkan kembali blog ini dengan sebuah cerita baru, sebuah perjalanan
menuju kota Sumedang selatan. Kali ini
aku akan memperkenalkan lima orang teman baru, Azmi (red. Mbak Azmi, mbak
Kebumen), Ratna (red. Mak uwo Ratna), kang Teddy, kang Sandy, dan kang Esa (red.
Akang-akang kasep Sumedang).
Awalnya, kami ibu-ibu PKK yang terdiri dari 10 dara yang
geulis, (hiper)aktif dan cerdas berencana untuk pergi 1 hari berwisata alam ke
Sumedang pada minggu terakhir dalam libur semester 1, namun setelah “seleksi alam” tersisalah
tiga wanita perkasa, yaitu, aku, mbak Azmi dan mak uwo Ratna. Mbak Azmi punya
kenalan yang tinggal di Sumedang, konon katanya mbak Azmi kenal dengan mereka
dalam suatu petualangan mendaki gunung Tampo Mas (1680 Km dari permukaan laut)
yang ada di Sumedang Selatan. Mereka adalah kang Teddy, kang Sandy, dan kang
Esa, mereka adalah anak-anak pecinta reptil dan ular, nah dalam cerita ini
mereka adalah para guide dan teman baru yang seru dan asik!
Jumat, 13 Februari 2013, pagi hari pukul 06.00 kami 3 ibu
PKK berkumpul di gerbang lama (gerlam) Universitas Padjadjaran Jatinangor, kami
sarapan bubur ayam yang nikmat dan murah (harga mahasiswa). Selesai sarapan
kami mulai menunggu kendaraan. Karena ini pengalaman pertama kami keluar
Jatinangor menuju Sumedang, kami bingung harus naik apa, banyak alternatif kami
bisa naik bus, angkot, atau elf, tetapi kami bingung harus naik yang mana,
akhirnya kami memutuskan untuk naik Elf di Jalan Raya Sumedang, perjalanan yang
kami tempuh cukup jauh dan memakan waktu yang cukup lama, terutama karena ada
kemacetan di daerah Cikuda ke atas, perjalanan ini pun tidak membosankan karena
sepanjang perjalanan kami disuguhi keasrian alam Sumedang, perbukitan,
tebing-tebing, dan rumah-rumah penduduk. Dengan membayar Rp 7000 per orang kami
diantar sampai di pertigaan Polres di Sumedang Selatan. Lalu kami melanjutkan
perjalanan singkat dengan angkot coklat Cileunyi-Sumedang menuju alun-alun
Sumedang, biayanya Rp 2000 per orang.
Sedikit review,
seharusnya kami tidak perlu naik Elf, cukup naik angkot Cileunyi-Sumedang saja
dari Jatinangor, selain mudah, kami juga bisa menghemat biaya transportasi,
hanya dengan membayar Rp 6000 kita bisa sampai di alun-alun Sumedang.
Setelah menunggu ketiga orang teman baru kami dari Sumedang,
kang Teddy, kang Sandy dan kang Esa, akang-akang kasep Sumedang ini punya
banyak rekomendasi objek wisata yang asik. Kedatangan kami di Sumedang disambut
hangat, walau agak sedikit canggung namun lama-kelamaan kami bisa akrab juga,
setelah agak bingung memutuskan akan pergi ke mana, kami pun memulai petualangan kami menuju
gunung Kunci, jarak gunung Kunci cukup dekat dari alun-alun Sumedang, sehingga
kami hanya perlu berjalan kaki saja. Gunung kunci bukan gunung bebas yang belum
terjamah manusia, menurut cerita akang-akang Sumedang, dahulu gunung ini
merupakan benteng Belanda, pada gunung ini pun dibangun ruang-ruang dan
terowongan, di sekeliling gunung juga dikelilingi tembok yang merupakan benteng
pertahanan dan juga penjara. Kalau kata kang Teddy sekarang benteng ini berubah
fungsi, bukan lagi benteng pertahanan Belanda melainkan benteng pertahanan
orang-orang yang lagi pacaran, cukup terbukti kemarin kami menemuka ada
pasangan yang asik pacaran di gunung Kunci, yang berpegangan tangan mengitari
benteng, ada pula coretan hari jadi dan ungkapan cinta di tangga dan di batu
sekitar gunung. Ada-ada saja mereka.
Sekarang gunung Kunci dikelolah menjadi objek wisata alam,
hanya dengan membayar Rp 3000 kami bisa menikmati keindahan alam gunung Kunci.
Bagi yang ingin berkunjung, kalian tidak perlu khawatir dengan track gunung
yang sulit, gunung Kunci sudah dibangun jalan setepak yang mempermudah
perjalanan kita. Di gunung Kunci kita bisa menemukan lorong yang merupakan
terowongan Belanda, sepanjang lorong ada pintu dan tangga menuju bilik yang lain,
ruangan dalam terowongan itu lembab, pengap dan cukup gelap sehingga kami butuh
bantuan cahaya untuk melihat jalan. Keluar dari lorong, kami berjalan di atas
tembok benteng yang sudah tua, berlumut tetapi masih kokoh, tidak jauh dari
benteng pertahanan terdapat panggung pertunjukan yang sengaja dibangun untuk
konser. Sambil duduk bersantai dikursi penonton, kang Esa dan kang Sandy “beratraksi”
dengan peliharaannya, ternyata tanpa aku tahu, kak Esa membawa ular
peliharaannya di dalam tasnya yang bentuknya seperti batok kelapa, aku kira
isinya air minum, ternyata... ular! >< Aku cukup shocked, hanya bisa duduk menjauh,
memperhatikan dan membatin, ya ampun baru kali ini aku berada dekat dengan
ular, seseuatu yang paling aku takuti setelah cicak! ><. Setelah duduk
santai kami berjalan lagi menelusuri jalan setapak, lalu kami menemukan taman
kecil dan memutuskan untuk duduk-duduk santai mengobrol di saung dan bermain
ayunan. Setelah puas di Gunung Kunci, kami (ibu PKK) diajak melanjutkan
perjalanan menuju museum Prabu Geusan Ulun.
Museum Prabu Geusan Ulun, terletak tepat di seberang
alun-alun Sumedang. Hanya dengan membayar Rp 3000, kita bisa belajar lebih
dekat dengan sejarah Sumedang, wisata kali ini kami ditemani seorang ibu yang
menjadi guide kami, ibu guide menjelaskan cerita sejarah di balik pusaka dalam
bahasa Sunda sementara kang Sandy yang menerjemahkan. Museum ini berisi
peninggalan-peninggalan kerajaan Sumedang dahulu kala, museum ini menyimpan
banyak pusaka, seperti baju dan jubah, mebel, alat musik gamelan, naskah kuno, kereta
kencana, alat makan kerajaan, miniatur
tokoh wayang, dan berbagai senjata yaitu keris, tombak dan meriam.
Aku pribadi tertarik melihat koleksi naskah kuno dan keris.
Naskah kuno tersebut banyak ditulis dalam bahasa Sunda dan menggunakan
kaligrafi, berisi cerita sejarah dan karya sastra. Pada satu ruangan yang
berisi kumpulan naskah kuno, terdapat sebuah lukisan, ibu guide bercerita (dan kang
Sandy menerjemahkan) bahwa pada lukisan itu terdapat pangeran Kusumahdinata IX
dan jendral H.W. Daendels. Setelah
berhasil menarik simpati rakyat, Daendels memerintahkan rakyat untuk membangun
jalan dalam program kerja rodinya. Pada masa itu rakyat masih menggunakan
cangkul untuk membangun sehingga pekerjaan berjalan lama, melihat kinerja yang
lambat, pasukan Daendels pun marah dan memforsir tenaga rakyat, mengetahui hal
tersebut pangeran Kusumahdinata IX turun tangan menemui Daendels membela
rakyatnya, setelah berunding, Daendels pun memutuskan untuk meminjamkan palu
dan martil untuk mempermudah pekerjaan rakyat. Karena keberanian pangeran
Kusumahdinata menghadapi Daendels, ia pun diberi pangkat kolonel, rakyat lebih
sering menyebutnya pangeran Kornel.
Koleksi Keris di museum ini sangat beragam, dari keris yang
biasa saja sampai yang dihias emas. Setiap tahun pada bulan tertentu
keris-keris ini dimandikan dengan air kembang, konon keris ini masih mempunyai “isi”.
Keris yang menarik di museum ini adalah keris Nagasasra I dan Nagasasra II,
sekilas aku melihat keris ini seperti keris
kembar, namun jika diteliti ada sedikit perbedaan yang terletak pada ukirannya,
sejarahnya kedua keris ini adalah hadiah dari seorang raja (aku lupa namanya)
yang diberikan pada pangeran Kusumahdinata IX. Jika kita memperhatikan lukisan
yang terdapat di ruang naskah kuno, pada saat pangeran Kusumahdinata IX mengahadap
jendral Daendels, ia sedang menyandang sebuah keris, keris itu adalah Nagasasra
II.
Ada sebuah ruangan khusus yang sangat dijaga ketat karena
berisi barang berharga kerajaan, hampir semua barang tersebut berlapis emas,
seperti mahkota, perhiasan dan keris. Dalam ruangan tersebut terdapat pula
koleksi alat makan kerajaan yang terbuat
dari kristal dan perak yang diukir unik dan artistik. Ada pula koleksi tusuk
konde yang juga merupakan senjata yang dipakai para wanita kerajaan sebagai
alat pertahanan diri.
Setelah asik berkeliling melihat koleksi pusaka yang mewah,
kami diajak menuju garasi yang menyimpan kereta kencana pada zaman kerajaan,
semuanya masih asli, hanya direnovasi saja agar kereta kencana tersebut masih
kokoh. Ada pula satu kereta kencana tiruan yang megah, kami diperbolehkan
berfoto-foto di sana, untuk sedikit
kenang-kenangan, mengingat sedikit sekali objek yang aku foto di museum.
Tujuan akhir sekaligus klimaks perjalanan kami, curug
Gorobog. Letak curug Gorobog sangat jauh dari alun-alun Sumedang, tepatnya di
desa Citengah. Hari masih sangat cerah, mendukung perjalanan kami, jika waktu
masih cukup kami ingin melanjutkan perjalanan menuju kebun teh yang letaknya
masih di atas lagi dari curug Gorobog. Perjalanan kali ini jauh dan menantang, bukan
karena kami harus berjalan kaki mendaki gunung atau menembus hutan, namun
karena kami harus duduk cukup lama di sepeda motor, belum lagi aku dan mbak Azmi
harus dibonceng tiga oleh kang Esa, berat badan kami yang cukup berat dan kondisi jalan yang cukup rusak, licin dan
menanjak menjadi kesulitan tersendiri bagi kami, mak uwo Ratna yang enak Cuma bonceng
dua dengan kang Sandy.
Namun selama perjalanan, rasa letih dan bosan tidak aku
rasakan, karena selebar mataku terbuka aku hanya melihat keasrian pegunungan, sawah, sungai, tebing dan rumah
perduduk. Hamparah warna hijau sawah dan gunung, bunyi aliran sungai yang deras,
udara dingin dan bersih yang memenuhi paru-paru, dan kembusan angin yang menggigit
kulit wajah terekam dengan baik di memoriku, awalnya aku ingin merekam keindahan ini dengan
video di handphone-ku untuk menjadi kenang-kenangan dan dokumentasi, namun aku
batalkan, karena tidak semua kenangan indah yang ditangkap oleh mata dan
direkam oleh otak bisa terekam baik di handphone, jika kalian ingin tahu,
silahkan rasakan dan alami sendiri.
Setelah melewati jalan yang hampir seluruhnya menanjak dan
berbatu, kami pun sampai di gerbang utama curug Gorobog, ternyata gerbang yang
biasanya ada penjaganya tersebut digembok, sehingga kami memilih masuh dari
jalan setapak di samping agar bisa masuk. Setelah cukup bersusah payah karena sol
sepatuku licin, akhirnya kami sampai di jalan utama menuju curug Gorobog.
Pemandangan di curug ini..... WAW! Di sebelah kiri aku bisa melihat tebing yang
menghampar luas di penuhi pohon-pohon liar yang besar, di bawah tebing aku bisa
melihat batu-batu sungai yang hitam dan aliran sungai yang jernih dan deras.
Berjalan kurang lebih sekitar 1 kilometer kita akan menemukan tujuan utama kita, curug Gorobog. Bagiku
pemandangan curug ini, fantastis, airnya deras dan sangat jernih, tebing
disekitar curug sangat hijau, menyejukan mata. Kami pun berfoto-foto,
mengabadikan pemandangan ini, tiba-tiba hujan turun, udara sekitar kami menjadi
semakin dingin. Setelah hujan reda, kami berjalan semakin dekat menuju curug. Air
curug ini sangat dingin dan bersih, aku ingin berenang atau sekedar menyeburkan
diri ke dalamnya tetapi karena tidak membawa baju ganti, kuurungkan saja
niatku, kata kang Esa dan kang Sandy air di curug ini bersih dan boleh diminum
langsung, terpikir olehku ingin membawa air curug itu sebotol, tetapi aku lupa
karena terlalu asik berfoto-foto dan membuat dokumentasi.
Setelah menghabiskan waktu bersenang-senang di curug, kami
beristirahat sejenak pada sebuah saung terbuka, sambil menunggu hujan reda. Di tengah
istirahat, kami dikejutkan dengan adanya seekor ular yang nampaknya sedang
beristirahat di atap saung. Kang Sandy dan kang Esa pun mulai beraksi menangkap
ular tersebut. Aku, Azmi dan Ratna hanya bisa bergidik dan berdiri dari jauh,
ular tersebut berwarna coklat, berukuran sedang kira-kira 1/2 meter dan kata
kang Esa dan kang Sandy ular itu berbisa tinggi. Segera setelah menangkap ular
dan memasukan ke dalam tas, kami langsung berangkat pulang menuju kandang.
Setelah melewati jalan yang sebagian besar menurun dan
melewati pemandangan hijau yang fantastis, singkat cerita kami sampai di
kandang. Di sini aku menemukan pemandangan yang sangat tidak biasa, banyak
anak-anak sedang berlatih penangkapan dan tentu saja mereka praktek dengan
seekor ular. Lututku rasanya lemas. Tidak hanya ular, ternyata ada biawak kecil
juga di sana, diikat dengan tali kekang layaknya seekor anak anjing kecil. Mak
uwo Ratna dengan berani mendekati biawak tersebut, mengelus kulitnya dan
menggendongnya. Kami berfoto bersama dengan seorang teman baru dari sekre,
namanya Ara, masih SMA tapi sudah berani bermain dengan ular. Aku penasaran
seperti apa sih kulit biawak itu, aku memang tidak berselera mengelusnya seperti yang
dilakukan mak uwo Ratna dan mbak Azmi, aku menyentuhnya dengan ujung jariku,
ternyata kulit biawak itu kasar, seperti kulit buah leci. Setelah megamati
latihan penangkapan, kami di undang ke sekre, aku pribadi takut masuk ke dalam,
tetapi kang Sandy meyakinkan semua ular sudah di bawa keluar. Setelah masuk ke
dalam, ternyata masih banyak ular di dalam box kaca dan plastik yang belum di
keluarkan, kuberanikan diri saja, sudah berani masuk ke sekre yang ada ular
dalam kotak transparan saja sudah merupakan kemajuan yang pesat untukku. Yaa,
aku standing applause untuk diriku sendiri, kamu hebat Deb! Hahaha. Tapi sayang
sekali aku masih belum mau menyentuh ular, agak menyesal sih ketika pulang dari
kandang aku belum menyentuh seujung jari pun seperti apa kulit ular hidup itu, lain
kali harus aku coba! (Mungkin).
Selesai latihan penangkapan, ular-ular di masukan ke dalam
kandang dan teman-teman pecinta reptil dan ular berkumpul bersama di dalam
sekre, kami saling berkenalan dan bercerita. Menurutku mereka anak yang asik,
supel dan lucu, ada-ada saja tingkah mereka yang membuatku tertawa dan merasa
nyaman di sana, tidak perlu waktu yang lama untuk akrab dengan mereka, tetapi
mungkin kunjungan selanjutnya boleh jadi diperlukan. :D
Waktu menunjukan pukul 17.00, sayangnya petualangan kami
harus berakhi, setelah berpamitan, kami ketiga ibu PKK harus pulang mengingat
keesokan harinya kami ada perwalian dan kami butuh istirahat ekstra.
Sampai di kamar kos, aku langsung meng-upload hasil jepretan
mata Xlavie-ku, sambil sesekali mengingat apa saja yang sudah aku lakukan
sepanjang hari di Sumedang, dari pagi hingga sore.
Cerita di blog ini hanya lukisan kecil petualangan seharian
di Sumedang Selatan. Dari blog ini aku berterima kasih lagi (dan lagi) untuk
ketiga akang-akang kasep Sumedang, hahaha... Kang Teddy, kang Sandy dan kang
Esa yang udah mau direpotin sama kami bertiga, jangan kapok-kapok ngajak
keliling Sumedang lagi ya kang, hehehe... Ditunggu untuk wisata budaya, kuliner
dan alam yang selanjutnya. Makasih banyak ya akang-akang. :D
Dan special thanks untuk mbak Kebumen a.k.a Azmi yang udah
ngajakin ngacir dan ngenalin teman-teman baru yang asik dan oke bangetlah! Dan
juga untuk mak uwo Ratna yang udah mau ikut nemenin juga nih, rasanya gak rame
nih kalau gak ada mak uwo!
Lepas dari zona nyaman itu asik, harapanku perjalanan
selanjutnya bisa lebih seru lagi, rasanya aku mau mengeksplor seluruh keindahan
Sumedang! -DEER-












1 comments:
wah anak unpad juga ya?
baca tulisan ini jadi nostalgia pas KKN haha
Post a Comment