Listen


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
Sunday, October 14, 2012

Juli dan Ana -Part 1-

-Aku-

Juli. Rasa nyaman selalu kurasakan setiap kali berada disisinya. Ingin rasanya bisa meghabiskan setiap detik bersama dia, entah itu belajar bersama, bercerita atau sekedar duduk-duduk santai di bawah pohon seperti saat ini.

Dia sahabat baikku, ia lebih tua 2 tahun dariku. Sejak kami masih kecil, kami sering bermain bersama. Aku ingat, ia yang selalu meneraktirku es krim setiap hari Sabtu dan kebiasaan itu terus berlangsung hingga saat ini. Aku suka es krim, lebih tepatnya, es krim yang ia beri. Dari semua teman yang aku kenal, hanya Juli yang (betah) menjadi sahabat baikku.

Ia tahu segala hal tentang diriku dan begitu pula sebaliknya. Rasanya sulit menyimpan rahasia darinya. Setiap hari kami sempatkan sedikit waktu untuk bertemu setidaknya untuk bercerita apa saja yang kami alami selama satu hari. Belakangan ini, semenjak aku sudah mulai kuliah, kami semakin jarang bertemu. Maklum, mahasiswa baru yang masih dalam masa orientasi, pulang kuliah ada saja kegiatan (gak penting) yang harus aku ikuti. But, thank God it's Saturday, baik aku maupun Juli tidak punya kesibukan, akhirnya kami bisa bersama-sama lagi.

Hari yang indah, aku hanya duduk bersandar di bawah "Pohon Sahabat" (pohon masa kecil kami), sementara Juli sedang asik membaca novel sambil berbaring di rumput. Sekilas aku menatap Juli. Entahlah, aku melihat semakin hari, Juli tampak semakin.... Tampan? Yah... Memang Juli menjadi pria idaman di kampus, tetapi, sebagai sahabat yang sudah lama mengenal Juli, bagiku ia biasa-biasa saja. Tetapi....

"Ana, gimana ospeknya? Udah selesai?"

"Belum, Jul, tinggal 1 minggu lagi, jenuh banget rasanya satu bulan harus pake name tag gede, kemeja dan rok panjang, penampilanku jadi culun tau gak?"

"Hahahahaha.... Yang sabar ya, adek, dulu aku juga begitu. Kamu enak udah ga ada lagi senioritas, semua kakak-kakakmu baik, dulu aku disiksa habis-habisan."

"Itu sih deritamu, makanya jangan ketuaan, hahaha..."

"Dasar maba! Tua-tua begini, bentar lagi aku skripsi nih, kamu belajar yang bener ya, biar lulusnya cepet."

"Iya kakak."

Beruntung rasanya mengenal Juli, selain menjadi teman, Juli juga bisa menjadi kakakku.

"Jangan ngecengin cowo-cowo mulu di kampus, hahaha...", ejek Juli.

"Idiih... Enak aja, aku kan anak baik-baik, pacaran aja belum pernah."

Ia, rasanya cukup menyedihkan, sampai saat ini aku belum pernah pacaran, bukan karena gak laku, tetapi aku belum menemukan orang yang tepat. Sudah berapa puluh cowo yang aku tolak karena aku gak merasa nyaman dengan mereka.

"Eh, kamu udah nemu gebetan belum di kampus? Biasanya maba-maba cewe tuh lagi semangat-semangatnya cari kecengan, apalagi yang udah senior, hahaha...", Juli masih asik dengan bukunya.

"Belum, Jul."

"Ah, yang bener kamu? Hayoo ngaku aja, aku bantuin pedekate deh."

"Beneran Jul,  belum nemu, dan alasannya masih sama kayak dulu."

Juli menutup novelnya, lalu beranjak duduk, dan menatapku.

"Ana... Kamu udah kuliah loh, kamu gak bisa terus-terusan berpegang sama prinsip anak SMA kayak gitu. Sampai kapan kamu berharap bisa ketemu sama orang yang bener-bener bisa bikin kamu nyaman?"

Aku hanya terdiam, bingung mau menjawab apa.

"Coba deh kamu pikirin baik-baik An." Juli kembali berbaring di rumput sambil membaca buku.

"Kamu sendiri Jul, belum pernah pacaran lagi kan sejak lulus SMA? Itu kenapa coba?" Tanyaku, sedikit menyindir Juli.

"......" Juli diam mematung.

"Kenapa coba Jul?"

"Itu lain soal."

"Lebih jelasnya?"

"Karena... Cewe yang aku tembak, gak ada yang mau sama aku."

"Hahahahahaha...." Aku tertawa lepas.

"Jahat kamu An, masa temen susah diketawain?"

"Hahaha... Ampun Juli."

Juli kembali duduk, kali ini ia ikut bersandar di pohon, di samping kiriku.

"Nah itulah cinta dalam hidup An. Cowo memang yang memilih namun pada akhirnya cewe yang memutuskan untuk menerima atau enggak. Agak gak adil sih buat kita cowo-cowo, karena kita yang pusing mikirin gimana caranya bisa melunakan hati kalian para cewe, yang kadang bisa lebih keras dari batu. Aku tahu rasa patah hati yang dirasain cowo-cowo yang kamu tolak."

"Dan aku juga tahu apa alasan cewe-cewe yang nolak kamu, Jul. Mereka gak mau nyakitin kamu."

Keheningan menyusup di antara percakapan kami. Juli membuka kembali percakapan kami.

"Ehm... Kamu pribadi pernah gak suka sama cowo gitu, yah mungkin yang cuma sekedar kamu bisa lihat dari kejauhan?"

Aku hanya menggeleng.

"Kamu pernah gak Jul, suka sama cewe yang sebenarnya bisa kamu deketin, tapi kamu bingung gimana caranya deketin dia?"

Juli terdiam, tampak berpikir seperti mengingat-ingat sesuatu.

"Mungkin. Pernah."

Lagi-lagi kami terdiam. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, suara dedaunan kering yang berjatuhan kini mengisi kehenigan di antara kami.

"Hoaam... Duh aku ngantuk. Numpang tidur yaa..." Seperti biasa, Juli membaringkan kepalanya di atas pangkuanku. Matanya mulai mengatup damai.

"Dasar tukang tidur." Aku membelai lembut rambut Juli. Aku tersenyum sendiri memandangi Juli yang sedang terlelap dalam pangkuanku. Mataku menerawang cukup jauh, mengingat pertanyaan terakhir Juli. Aku menjawabnya dalam hati,

"Bagaimana mungkin? Sementara seseorang yang aku suka berada sangat dekat denganku."

Kamulah alasan mengapa aku menolak mereka dan kamu juga alasan aku berbohong pada diriku sendiri.






0 comments:

Post a Comment

 
;