Pertunjukan malam yang spektakuler.
Aku suka sekali menikmati Fusion Jazz. Hentakan musik yang ekspresif, ungkapan jiwa musisi jazz Indonesia yang semakin hari semakin variatif. Paduan musik etnik Sunda dibalut sentuhan instrumen musik modern, membuat penonton malam itu terlarut.
Kamu juga terlihat sangat antusias, sadar tidak sadar kamu selalu menghentak-hentakan tangan dan kakimu, seolah kamu yang bermain drum atau memetik udara seolah-olah kamu yang bermain gitar. Sesekali kamu memberi komentar atas permainan sang drumer dan gitaris. Bisa saja telingamu mendengar nada-nada yang tidak pas pada permainan itu. Aku suka caramu menikmati musik.
Waktu menunjukan pukul 20.00, penampilan Jazz itu sedang mencapai klimaks, tiba-tiba kamu bertanya
"Eh.. Lili, kamu udah makan belum?"
"Belum Ver, kenapa? Kamu laper ya?"
"Iya, lumayan, yuk makan malem dulu."
Kita berjalan meninggalkan taman Jazz memasuki gedung utama. Sepanjang jalan kamu selalu merangkul bahuku. Kadang kesal juga rasanya saat berjalan bersamamu, kamu tinggi menjulang sementara aku kecil, hanya setiinggi pundakmu, tetapi aku suka. Rasanya nyaman berada dalam rangkulanmu, bahumu yang bidang, membuatku ingin terus bersandar padanya.
Kita tiba di sebuah Cafe. Kamu memilih meja outdoor, agar kita bisa menikmati pemandangan langit malam yang cantik yang ditaburi bintang-bintang dan menikmati desiran air mancur. Kita duduk saling berhadapan.
Kamu memesan Choco-Cheese Cake dan segelas air putih sementara aku memesan segelas susu putih hangat dan cookies, aku tidak lapar malam itu. Menu sedang disiapkan. Kita duduk terdiam. Sayup-sayup musik Jazz masih terdengar cukup jelas di telingaku, jari tangan kananku mengetuk-ngetuk meja, mengikuti irama piano yang sedang dimainkan, sementara kamu terus memandangi aku hingga aku salah tingkah sendiri.
Lalu kamu bertanya,
"Kamu pernah lihat di kaca gak? Bagaimana ekspresi kamu saat menerawang suara piano?"
"Gak pernahlah, kurang kerjaan banget."
"Hahaha... Kamu harus lihat deh, muka kamu tuh lucu, belum lagi pas kamu cuap-cuap sendiri tambah lucu kayak ikan cupang."
"Iiiiih... Jahat!"
Aku mulai mencubiti kamu, merasa lucu, kesal dan geli mendengar pernyataanmu.
"Duuuh, kamu kecil-kecil cubitannya maut ya?"
"Biarin."
Aku mencibir.
Suasana hening kembali. Suara musik Jazz masih terdengar dan aku kembali mengetuk-ngetukan jari-jariku. Tiba-tiba tanganmu meraih jemari tangan kananku dengan lembut.
Aku tahu ini bukan hal baru, tetapi selalu saja, setiap kamu menggenggam tanganku dan menatap mataku dalam-dalam, detak jantungku mulai tidak beraturan. Dan aku hanya tersipu malu memalingkan wajah.
"Lili..."
Aku tahu maksud panggilan itu, kuberanikan diri menatap matamu.
"Lili..."
Aku melihat kamu merogoh sesuatu dari saku celanamu. Ternyata, sebuah kotak mungil berbentuk hati berwarna merah. Hatiku semakin tidak beraturan. Tangan kirimu tetap menggenggam tangan kananku, perlahan-lahan, tangan kananmu membuka kotak itu. Tampak benda kecil, sebuah lingkaran emas bertahtakan sebuah permata mungil. Aku tak sanggup berkata-kata lagi.
"Would you be mine?"
Aku terkesiap mendengar pertanyaanmu. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu yang ada di dalam hatiku, tetapi lidahku kaku dan sepertinya ada sesuatu di dalam tenggorokanku.
Perlahan kamu memasangkan cincin mungil itu pada jari manisku.
"Puji Tuhan, ternyata pas." Katamu sambil tersenyum.
Rasanya... Jantungku ingin melompat dari rongga dadaku, bibirku bergetar, tanpa permisi, air mata mulai berjatuhan dari mataku.
"Kenapa Lili? Kamu gak suka cincinnya? Tentang, itu baru cincin tunangan kita kok, nanti aku belikan yang lebih bagus."
Aku menggeleng, tangisku semakin menjadi.
Kamu menungguku tenang, wajahmu tampak cemas. Aku tidak ingin membuatmu khawatir, aku segera menguatkan diriku untuk mengangkat bicara.
"Aku...", aku tidak sanggup mengatakannya.
"Iya, Lili?"
"Aku... Gak siap." Air mataku mengalir semakin deras, lega rasanya, namun ada rasa sakit yang hatiku rasakan saat mengucapkan itu.
Kamu tampak tenang, perlahan bibirmu menyunggingkan sebuah senyuman dan kamu tertawa.
"Aku gak minta jawabannya sekarang, sayang. Tenang aja, aku akan kasih kamu waktu untuk memikirkan jawabannya." Kamu menggenggam kembali tangan kananku lalu mengecupnya.
******
Sisa malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus merenungi pertanyaanmu. Aku
duduk bersandar di atas ranjangku. Sepanjang malam, ku pandangi terus benda
kecil mengkilap yang melingkar di jari manisku.
Aku takut, jujur, pernikahan adalah sesuatu yang belum bisa aku bayangkan. Tetapi,
aku teringat kata-katamu saat mengantarku pulang setelah pertunjukan Jazz malam
itu,
“Jangan khawatir, kita hadapi ini bersama-sama. Kamu gak sendirian, Lili,
ada aku yang akan selalu bersamamu.” Lalu kamu mengecup keningku.
Malam berakhir, aku masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat.
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment