Listen


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
Friday, August 19, 2011 0 comments

Au Revoir (Part 2)

Kegalauan membawaku ke dalam masa lalu yang lebih dalam. Saat itu aku masih berumur 11 tahun dan David 13 tahun. David dan keluarganya pindah ke Batam untuk memenuhi panggilan dinas ayahnya sebagai PNS. Walaupun David sudah mengabariku sejak 2 bulan sebelumnya, perasaanku (sebagai bocah kecil) masih saja direlung rasa gelisah.
Sungguh, berat sekali rasanya saat berpisah dengan David; saat acara perpisahan, hanya aku satu-satunya tamu undangan yang tidak bisa mnenikmati pesta itu, tetapi untunglah ada David yang merubah suasana hatiku saat itu.

"Darla... Kamu kok diem aja sih?"

"Aku sedih Dave."

"Loh? Sedih kenapa? Pestanya kurang seru? Atau kamu masih laper? Sini aku temenin makan deh."

Mendengar tawaran David, aku mengangguk dan tersenyum, walaupun perutku tidak lapar sama sekali.
Yah... Aku hanya bocah ingusan yang tidak mengerti apa isi hatiku saat itu, yang aku tahu aku hanya sedih melihat pesta itu dan aku hanya ingin selalu berada di samping David. Sepanjang hari itu kami menghabiskan waktu bersama. David mengajakku ke sebuah ruangan besar, ruang pribadi miliknya. Lantai ruangan itu berupa kayu pelitur dan dinding-dindingnya dibalut wallpaper coklat muda dengan gambar not balok. Dinding ruangan ini juga di gantungi lukisan-lukisan abstrak karya ayah David. Inilah ruang musik milik David. Di tengah ruangan hangat ini berdiri sebuah Grand Piano hitam. David mempersilahkan aku duduk di sebuah sofa, sementara ia berjalan menuju Grand Pianonya dan mulai melantunkan sebuah lagu, ia bilang judulnya Je Chante Pour Passer le Temps karya Giovanni Mirabassi seorang pianis Prancis, lagu itu cukup panjang, tetapi aku menyukai lagu itu. David sangat suka hal-hal berbau Prancis, bahkan menurutku sejak kecil ada bibit pria romantis Prancis yang tertanam dalam dirinya, ku rasa itu gen dari ayahnya yang memiliki darah campuran Prancis-Jawa.

Selesai bermain Piano, David menuntunku ke taman bunga milik ibunya. Rasanya baru kali itu David mengajakku ke dalam taman bunga yang indah itu. Taman itu di penuhi bunga-bunga, ada Lili, bunga Matahari, Lavender, bunga Pukul Empat yang sedang mengerutkan kelopaknya dan beraneka Mawar merah, alba dan ada juga mawar merah muda. Mataku terpana pada setangkai mawar merah muda yang lembut dan menjanjikan itu. Aku menjulurkan tanganku perlahan ingin menyentuh kelopaknya, tetapi tangan David segera menahan tanganku dengan lembut.

"Jangan... Aku tidak ingin mengecewakan mamaku."

Aku hanya menatapnya dengan tatapan bingung.

"Mamaku berjuang cukup keras untuk menciptakan mawar ini. Mama sudah puluhan kali mencoba menggabungkan dua mawar yang berbeda tetapi gagal dan inilah satu-satunya Mawar yang berhasil mama buat. Jadi maaf ya Darla."

Akupun paham, aku tersenyum dan mengangguk padanya. Ia membalas tersenyum. Ia menyuruhku menunggu sebentar di taman sementara ia pergi ke dalam rumah. Cukup lama, sambil menunggu, aku duduk di atas batu dekat sebuah kolam ikan buatan. Aku mendengar suara derap sepatu berlari menyusuri rerumputan dan suara desah nafas yang keras. Yap itu David. Ia menyembunyikan sesuatu di belakangnya.

"Apa itu?", tanyaku polos.

"Bukan apa-apa sampai kamu mau menuruti instruksiku, kamu mau?"

Permainan apa yang akan David tunjukan kepadaku? Aku mengangguk tanda setuju.

"Oke, pejamkan matamu."

Tanpa membantah ataupun bertanya, aku langsung memejamkan mataku. Aku mendengar suara sepatu David melangkah menjauhiku, ingin ku buka mata tetapi aku tidak mau, aku tidak mau mengecewakannya. Kupejamkan mataku kuat-kuat, kubalik tubuhku membelakangi David dan pekerjaannya. Cukup lama, aku mendengar suara-suara seperti tangkai bunga yang digunting, ranting yang dipatahkan dan desir angin. Aku semakin penasaran, apa yang dikerjakan David di luar sana? Tak lama aku mendengar langkah kaki David mendekat padaku.

"Buka matamu", ucapnya lembut. Lalu aku buka mataku. Aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Di atas kedua belah tanggannya aku melihat rangkaian mahkota bunga mawah putih dengan mawar merah di tengah-tengahnya. Aku tercengang, kagum menyaksikan rangkaian bunga indah itu.

"Mahkota ini untuk yang mulia sang putri. Semoga kecantikan dan kelembutan hati sang putri terus terpancar seperti pancaran putih mahkota ini". Aku hanya tertawa. Tertawa bahagia menerima pujian itu.

"Masih ada sesuatu yang ingin aku beri untuk yang mulia."

"Apa itu?"

"Emm... sebelumnya yang mulia berbalik arah dulu ya, jangan ngintip, hehehe..."

"Hehe... Oke", seruku menikmati permainan itu seraya membalikan tubuh.

Tidak lama kemudian David menepuk bahuku dan menyuruhku berdiri. Ia menyembunyikan sesuatu lagi di belakangnya. David berlutut di hadapanku, lalu menyodorkan serangkai mawar merah untukku.

"Princess, would you be my queen?"

Aku tersenyum, tertawa melihat aksi lucu David hari itu. David yang semula wajahnya serius juga ikut tertawa.

"Hahaha... Princess, I'm waiting for your answer."

"Hihihi... Yes, I would be your queen", jawabku seraya menerima rangkaian bunga itu.

Aku suka sekali permainan ini, entahlah, ada sesuatu yang membuat aku ingin selalu berada di dekat David.

"Oh tidak David, tangan kamu!", seruku menunjuk tangan David yang berdarah tersayat-sayat duri Mawar.

"Oh ini? Gak apa-apa, udah biasa kok."

"Loh, gak bisa dibiarin begini aja Dave, ayo kita obatin dulu lukanya, oke?"

Di dalam rumah, aku mulai membersihkan lukanya dan memberinya larutan iodin.

"Bagaimana rasanya Dave?"

"Lebih baik. Terima kasih ya Princess."
Aku hanya tersenyum malu.

Kami berjalan menuju taman lagi, waktu berjalan cepat, langit siang berubah menjadi senja dengan semburat merah keemasan yang cantik. Sambil berjalan aku memerhatikan seikat bunga mawar yang Dave beri untukku. Aku menemukan setangkai mawar merah muda, aku mulai was-was mengingat ibu Dave, tetapi untunya ini bukan mawar asli, ini hanya mawar plastik. Aku penasaran apa maksud Dave menyisipkan mawar ini?

"Dave, kenapa kamu nyisipin mawar plastik merah muda di antara bunga mawar merah?"

David tersenyum, seperti merasa lucu.

"Darla. Mawar merah itu adalah janji-janji yang aku kasih buat kamu".

"Dan mawar merah muda plastik ini?"

"Itu... adalah sebuah harapan."

"Maksudmu?"

"Darla, kamu itu sahabat terbaik yang pernah aku punya, aku beruntung banget bertemu orang kayak kamu. Tetapi, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Aku benci mengatakan ini, tetapi... sudah saatnya kita berpisah Darla."

Aku tak sanggup menahan air mataku, hari itu pertama kali dalam hidup aku menangisi kepergian seseorang, seorang sahabat.

"Ta....tapi... aku.. Gak mau pisah.. hiks... sama kamu.."

"Tenang Darla, aku janji, cepat atau lambat aku akan kembali suatu saat nanti".

"Tapi... bagaimana kalau kamu gak kembali?"

"Selalu ada harapan Darla. Sekecil apapun itu, simpanlah baik-baik di dalam hatimu".

Aku tidak bisa menahan tangis kepedihanku. Ditinggal seorang sahabat jauh lebih menyakitkan. David memelukku, membelai lembut rambutku, membiarkan setiap tetes air mataku membasahi bajunya, merembes hingga ke dadanya. Membiarkan air mata itu mengering di sana. Ia merengkuh wajah kecilku dengan tangannya yang besar dan kasar. Jari-jarinya menghapus air mataku dengan lembut dan hati-hati agar tidak menyakiti mataku.

"Aku akan kembali, sahabat", ucapnya sambil mengecup keningku. Kecupan persahabatan.
Tuesday, August 16, 2011 0 comments

Au Revoir (Part 1)

Tik... Tok... Tik... Tok...
"Bagaimana, aku harus bagaimana?", jariku mulai mengetuk-ngetuk kaca jendela seraya menimbang-nimbang.

Tik... tik... tik...

Di balik kaca jendela kamarku, ku perhatikan titik-titik air itu berjatuhan satu persatu dari langit. Begitu anggun mendarat di atas dedaunan, bunga, dinding, atap dan kaca jendela kamarku. Titik-titik itu semakin banyak, mereka turun dengan cepat, membrutal menghantam segala objek yang ku lihat. Tiupan angin kencang memutar, mengaduk titik-titk hujan itu hingga berpilin dan menghantam keras kaca jendelaku.

"Praaak", benturan itu memudarkan lamunanku.

"Astaga! Ah! Aku harus bagaimana?". Rasanya aku sudah mulai frustasi memikirkan hal ini terus-terusan.

Di balik jendela, ku pandangi lagi jalanan komplek di bawah sana. Hujan masih mengguyur, mengguyur semakin deras. Di tengah derasnya guyuran hujan itu, di jalanan yang basah berdiri seseorang. Seseorang yang masih setia menunggu. Aku tak tahu apa yang masih ia tunggu, yang aku tahu di luar sana sangat dingin terutama di bawah guyuran hujan seperti itu dan aku harap orang itu segera baranjak dari sana. Sayangnya, harapanku sirna, tubuhnya yang tinggi, tegap dan kekar itu tetap diam, seperti ada paku yang menancapkan kakinya di atas aspal. Wajahnya membeku seperti patung sesosok malaikat, iya tidak peduli hujan menghantam keras wajahnya. Ia bekacamata dengan bingkai hitam putih. Bola matanya coklat tua menjadi gelap dan tajam. Mata itu tidak berkedip, mata yang terus memandang ke dalam mataku dan memerhatikan gerak-gerikku. Entahlah, rasanya tidak ada kaca pembatas di antara kami saat aku melihat mata itu, bahkan aku merasa seperti ditelanjangi saat menatap ke dalam bola mata itu, sepertinya ia tahu segala hal tentang diriku dari kulit hingga ke dalam sumsum tulangku. Jari-jari tangannya yang panjang menggenggam selembar kertas gambar besar. Walaupun kertas besar itu basah dan hampir hancur karena terpaan hujan, tetapi untaian kata pada kertas itu masih terngiang-ngiang di dalam pikiranku.

"Maafin aku :(", ujar tulisan dengan spidol hitam yang mulai luntur itu.

Bukan hanya itu, ia juga membawa serangkai besar mawar putih (kesukaanku disaat seperti ini) yang kelopaknya mulai rontok dan beterbangan disapu angin.

Aku tidak mau menatap mata itu, aku tahu diriku akan lemah terpedaya olehnya.

"Pergilah!", teriakku di balik kaca jendela. Walaupun pada akhirnya aku sadar ini tidak akan berhasil. Kemudian ku buka kaca jendelaku. Hujan mulai menerpa wajahku

"UDAH! PERGI! Aku bilang PERGI Dave!", teriakku di tengah gemuruh hujan. Hatiku sakit, tetapi aku harus membiasakannya. "Rasa sakit ini hanya sementara", bisik hatiku.

Ternyata usahaku sia-sia. David diam membatu, ia hanya menggelengkan kepalanya saja. Apa sih yang cowo ini mau? Ku tutup kembali jendelaku berikut dengan tirai birunya. Aku tidak sanggup melihatnya. Aku duduk bersandar di bawah ranjangku. Persis di sebelah kiriku ada bufet kayu kecil, di atasnya ada vas bunga kaca berisi rangkaian mawar merah yang mulai layu, di tengah rangkaian mawar merah itu, berdiri setangkai mawar merah muda terbuat dari plastik yang ukurannya lebih kecil dari mawar merah.

"Okeh, ini hanya imajinasiku saja, pemandangan itu tidak nyata", ucapku mulai membodohi diriku. Wajahku basah sekali, walaupun sudah tidak diterpa hujan, aku masih merasakan air mengalir dari mata membasahi pipiku. Sakit sekali rasanya, ditelan emosi dan keegoisanku sendiri. Aku berdiri dari lantai beranjak ke atas tempat tidurku. ku baringkan tubuhku di atas sprai biru muda polos dan ku peluk bantal bulu berwarna merah muda. Lembut, perlahan-lahan kelembutannya menenangkan amarah dalam hatiku. Tetapi kini kegalauan mulai menyelimuti diriku. Air mataku kembali menetes. Kelembutan bantal bulu ini membawaku ke dalam kenangan indah masa laluku dengan dia. Sakit rasanya saat mengingat lagi keindahan, cinta dan masa-masa manis yang ku lalui dengannya.

"Tidak... Itu bukan salahnya. Pilihan ada padanya, itu hak Dave memutuskan memilih aku atau...", aku tak sanggup memikirkannya lagi.

"Memang sudah pasti bahwa suatu pertemuan pasti diakhiri perpisahan. Dan... mungkin ini sudah saatnya.... a... aku.... harus... harus.... berpisah... dengannya". Ku tarik napasku dalam-dalam saat mengucapkan kata itu.

Pikiranku terlintas dilema, bertahan atau berakhir? Mempertahankan atau mengakhiri saja? Aku tidak sanggup dengan perasaan seperti ini. Ingin aku mengakhirinya karena aku takut hubungan ini tidak akan bertahan lama lagi, melihat dia yang akhir-akhir ini mulai dingin padaku, tidak memancarkan senyum manis kesuakaanku, sibuk dengan dunianya bahkan mulai (sengaja) menghindar dari diriku, membuatku semakin tertekan. Tetapi chemistry yang sudah kami bangun sejak kecil dan berbagai kisah manis hubungan istimewa kami yang sudah berjalan hampir 3 tahun, hal ini yang membuatku ingin terus mempertahankan hubungan kami. Tetapi... lagi-lagi hal itu.... Mengapa dia membohongiku? Mengapa tidak dari awal saja? Aku benci harus menghadapi hal seperti ini. Akupun bingung apa yang ingin aku lakukan, memeluknya agar tidak terlepas dari diriku? Atau menampar dan memaki-maki dia habis-habisan?

"Egois!", bisik hatiku sinis.

"Go to hell!!", jeritku seraya guntur membelah langit.

Keheningan mengisi kamarku, hanya derap suara hujan yang aku dengar, aku mulai khawatir. Ku buka tiraiku dan... Aku masih menemukan dia di sana. Ia basah kuyup dari ujung rambut hingga kaki, kertas gambar dengan tulisan itu sudah hancur menjadi bubur kertas. Ia sedang mondar-mandir, sambil menjaga beberapa tangkai mawar putih, ia berusaha menghangatkan tubuhnya di tengah udara dingin yang menusuk. Nampak sekali kemeja putihnya tidak bisa menghangatkan dirinya lagi. Seolah-olah ia tahu aku memperhatikannya, ia berhenti, kembali berdiri, menatapku dan menyunggingkan senyum favoritku.

"Darla, aku mau berbicara denganmu!", seru Dave padaku.

Melihatnya saja aku sudah tidak mampu, apa lagi berbicara dengannya. Tetapi aku ingin sekali membicarakan hal ini dengannya, hanya saja... Tidak untuk sekarang.
Wednesday, August 10, 2011 0 comments

Random Tengah Malam

Malam ini akan menjadi acara perenungan yang panjang bagi gue. Terbukti, hingga detik ini pikiran gue masih dilintasi banyak pertanyaan dan jawaban-jawaban yang masih belum bisa gue tangkap. Dengan bantuan segenggam es krim coklat; gue mencoba menyusun semua itu lewat tulisan ini. :)

Interlude: Setelah kesepakatan bersama, malam ini gue dan regu 4 (regu saat Youth Camp) gathering untuk Brother Keeper, hal pertama yang gue denger tentang Brother Keeper adalah kegiatan ini merupakan acara kebersamaan untuk sharing, berbagi pengalaman dan dukungan. Dalam imajinasi gue, Brother Keeper ini akan mirip dengan kegiatan Komsel. TERNYATA! Brother Keeper pertama gue ini memberi jawaban yang lain dari pada yang lain :D

Gue kira hari ini kita akan membahas soal firman atau hal sejenisnya yang "berat-berat", ternyata malam ini kita sharing, mengenang kenangan masa lalu. Di antara sekian kenangan, hanya kenangan saat LTC yang bisa gue rasain kembali. Selebihnya temen-temen gue mulai nge-random pengalaman mereka saat kegiatan-kegiatan bersama lainnya, soal pelayanan dan lain-lain. Nah... Di saat ini gue cuma bisa diem, membayangkan yang mereka ceritakan dan ikut tertawa; ikut terlarut di dalam atmosfer kebahagiaan yang tercipta.

Dalam hati gue cuma berkata: Astaga! Sudah berapa momen indah yang gue lewati selama 2 tahun menghilang?? Menghilang menuju gemerlap kegelapan hidup duniawi.

Selama perjalanan pulang, ada perasaan yang berusaha menembus jantung gue.
Gue teringat kata-kata yang sering gue ucapin, untaian kata yang gak pernah absen dari bibir gue, "hidup gue kok bosenin sih?" atau "gue bosen hidup" (penegasan: dalam konteks ini gue gak berniat untuk mati muda!) atau sebuah kata singkat dan padat "bosan".

Egois. Yap, dalam diri manusia sudah tertanam sifat egois, entah kapan ada benih egois yang tersebar dalam hati manusia hingga benih itu tumbuh menjalar dan akarnya merasuk kedalam diri manusia.
Kalau melihat kembali perjalanan hidup gue, bisa dibilang hidup gw penuh dengan kepuasan, kenikmatan; party, hang out, shopping, lunch, gathering, watching movies, not only studying at home like a freak-geek. Intinya hidup gue gak membosankan, tetapi tetap saja ada yang terasa membosankan di sini.

Walaupun bisa bertahan dengan kehidupan yang terasa sama aja, tapi gue selalu ingin sesuatu yang baru, aktif dan seru.

Ternyata gue menemukan jawabannya. Ada sesuatu yang tidak seimbang sehingga hidup gue jadi terasa membosankan. Gue terlalu sibuk memberi asupan bagi daging gue sementara rohani gue mulai terkikis. Percaya tidak percaya, kedua hal ini harus seimbang, tidak berlebih ke kanan ataupun ke kiri. Kacau banget rasanya hidup gue waktu masih sangat duniawi; hampir setiap minggu gue ngambur-ngamburin duit dari bokap, bahkan tabungan gue makin menipis gara-gara kemarukan gue, yang suka ngumpul-ngumpul, hang out, makan-makan, belanja baju, dateng ke pesta-pesta, pokoknya hidup hura-hura itu asik deh bahkan selalu aja setiap satu acara berakhir, ada aja acara baru yang dateng lagi, lagi dan lagi... Terus, sampai gue bingung harus datang ke acara yang mana. Gue semakin kecanduan hal-hal hura-hura hingga pada satu kesempatan gue memutuskan untuk keluar dari gaya hidup semacam ini. Capek mann tiap minggu pulang malem -.-".

Sekarang gue udah komitmen sama diri gue, nyokap dan juga Tuhan, kalo gue berusaha membendung hasrat hura-hura itu. Terkadang ada saatnya kita harus santai, tetapi ada saatnya juga kita harus fokus bekerja; yang gue alami dalam hal ini adalah study dan pelayanan. Gue tegaskan, ini gak mudah kawan, terkadang gue harus dilanda rasa bimbang antara ikut ngumpul makan siang atau pulang ke rumah mengerjakan tugas proyek, atau pergi ngumpul bersama untuk acara ngobrol-ngobrol dan makan bersama saat akhir pekan atau bertanggung jawab dalam pelayanan. Hal-hal kecil ini tidak sepele dan perlu pertimbangan matang. Seperti yang dikatakan Alice Cullen dalam Twilight bahwa setiap keputusan yang diambil manusia akan mengubah kehidupannya kelak di masa depan. Gue hanya bisa membayangkan saja apa yang gue inginkan di masa depan nanti, tetapi gue gak tau bagaimana gue di masa depan nanti :).

Terkadang gue sebel sendiri dengan keputusan yang gue ambil belakangan ini yang mulai merubah hidup gw 90 derajat, gue mulai lebih fokus dengan PR dan tugas-tugas gue di rumah dan setiap hari kegiatan di luar rumah (setelah pulang sekolah) lebih terfokus pada Gereja. Gue pernah bertanya sendiri, "apakah gaya hidup gue saat ini terkesan old-fashion, kuno?", karena beberapa kesempatan bersenang-senang gue tolak dengan alasan belajar, ngerjain tugas ataupun pelayanan. Tetapi setelah gue diem sejenak, jawaban yang muncul adalah.... "enggak, justru ini gaya hidup yang sangat wajar dan modern".

Kapan lagi di zaman yang dilingkup paham hedonisme dan semua hal serba individu seperti ini, orang mau mengutamakan hal spiritual dan kebersamaan dalam komunitas?

Kapan lagi di zaman yang serba realistis; nyata dan berwujud ini orang mau berjuang untuk sebuah mimpi? Entahlah, mumgkin perasaan gue doang, tapi beberapa orang udah gak percaya dengan sebuah mimpi, mereka selalu menyusun rencana masa depan mereka dengan hal-hal yang realistis dan penuh pertimbangan demi mencapai keuntungan-keuntungan.

Naif. Yap, gue akui gue cuma sang pemimpi yang naif, polos dan blak-blakan. Gue menyusun masa depan gue dengan rentetan mimpi. Tetapi yang perlu kalian ketahui, gue bukan sekedar penonton mimpi, tetapi gue lah pencipta mimpi-mimpi itu. Mimpi itu terasa semakin nyata setiap kali gue mengambil sebuah keputusan kecil. Gue gak perlu berpikir muluk-muluk, seperti hal yang sedang hangat dibicarakan angkatan gue: mempertimbangkan dengan matang apa pilihan kuliah yang paling menjamin di masa depan dan pekerjaan apa yang paling menjanjikan dan memberi keuntungan besar.
Yang gue pikirkan malah apa sesuatu yang sangat gue sukai dan gue menguasai itu, maka gue akan mengambil itu. Polos... iya gue polos banget, sangkin polosnya gue gak pernah mikirin sebesar apa keuntungan yang gue ingin raih.

Ingin melihat simulasi mimpi gue?
Mari, sini gue akan menunjukan sesuatu:
Gue pengen jadi penulis yang menerbitkan buku, menyumbang sesuatu dari Indonesia dan untuk Indonesia. Lalu gue pengen banget terbang ke Prancis, jujur di tengah arus teknologi modern, gue masih gak tahu banyak hal tentang Prancis, tetapi hasrat gue menggebu-gebu pengen ke sana dan menulis sesuatu tentang Prancis dan untuk Prancis :), baru deh gue mau keliling dunia :)
Gue juga pengen banget membangun perpustakaan kota, yang lengkap, modern dan cozy. Gue pengen minat membaca orang-orang bisa tumbuh :)
Gue mau terus melayani dengan talenta bermain Piano yang udah Tuhan kasih, gw pengen nangis tiap kali menyadari betapa bodohnya gue nyia-nyiain talenta ini selama bertahun-tahun

Lantas, terkadang gue bertanya pada diri gue sendiri,
"Deb, uangnya dari mana?"
Lalu gue menjawab dengan sendiri.
"Dari Tuhan, udah tenang aja, kalau Tuhan bolehin pasti dikasih"

Untuk apa khawatir tentang apa yang mau kita makan besok, toh semua ini Tuhan yang punya, kalau kita tahu kita anakNya, ya gak usah sungkan minta, karena pasti dikasih. Seperti yang temen gue (namanya Putri) katakan, jawaban doa Tuhan itu "Iya" dan "Nanti" dan kalau seandainya gak dijawab, Tuhan pasti punya rancangan yang lebih baik! :)

Sunday, August 7, 2011 0 comments

Ingin Lebih dari Menyayangi

Suatu hari Mee Maisalf mengirim surat pada Seorang Sahabat, yaitu Kawan.

Dear Kawan,

Ini lanjutan suratku untuMu tentang dia. Dia, seseorang yang pernah aku ceritakan kepadaMu. Aku harap Kau bisa membantuku.

Entahlah Kawan, ada perasaan yang aneh setiap kali aku melihat apalagi menatapnya.
Ya... Menatap wajah datar, kurang berekspresi, bibir yang jarang melengkung dan senyum yang kering. Bahkan... Ia sama sekali tidak tampan. Aneh, aku bisa tersenyum sendiri jika memandang wajahnya.

Apakah ini ilusi atau perasaanku yang berlebihan saja, tetapi setiap kali aku menatapnya, aku bisa merasakan pancaran dari dalam tubuhnya. Pancaran kewibawaan; tenang, damai dan penuh kesabaran.
Ia... tampak manis saat tersenyum, bahkan aku bisa tertawa saat melihat ia tersenyum kecut, ia tampak lucu.

Kawan, mungkin Kau berpikir aku ini sedang jatuh cinta.
Ku tekankan padaMu, aku tidak cinta padanya.
Aku tidak ingin mencintainya, sudah cukup bagiku terluka karena cinta.
(lupakan!)

(tenang Kawan, aku sudah tidak terluka lagi, percayalah :D)

Tetapi, aku merasakan hal lain.

Aku menyayanginya.
Sayang, bukan sekedar cinta yang sering tak beralasan.
Aku menyayanginya, sosok yang sangat berarti bagiku, entahlah sebagai teman, sahabat atau kakak.

Jujur,
pernah terlintas di benak ku, aku ingin menjadi kekasihnya. Ingin memandangi matanya seharian, memeluk tubuhnya, mengecup pipinya atau bersandar di bahunya. Tetapi aku terus menampik bayangan itu, aku tidak ingin menjadi kekasihnya terlebih dahulu. Aku ingin merajut persahabatan yang istimewa dengannya.

Aku tidak mau menodai persahabatan kami dengan rasa cinta.
Ya... cinta remaja labil; cinta sesaat, bak tebu habis manis sepah dibuang.

Aku... Menyayanginya
Sahabatku, kawanku, temanku, kakakku... Si Misterius.

Kawan, bukakan mata hatiku, ajari aku agar tidak sekedar mencintai ataupun sayang padanya.
Ajari aku bagaimana harus mengasihi dia.

Aku sayang padanya.
Aku ingin mengasihi dia, apa adanya.

Salam, kecup dan pelukan hangat
SahabatMu
Mee Maisalf


Monday, August 1, 2011 0 comments

Chere Twina

Today is awesome!

Maybe I had spent a bunch of time with you, my beloved twina, I had felt a lot of amazing moment with you, but today is special. :D
Since we were in the same class in our Junior High School, we'd spent our time together; watching movies, window shopping, hanging out, sharing, and the most important thing EATING! XD (I don't know why, I always hungry all the time if I spend my time with ya :P, haha...)
Every single time we'd spent is a worth thing in my life.

Now, we've got our own choice, you've got your college and you've stayed in Kuala Lumpur, I'm happy to know that you've got many friends and you like staying there. And me... everything is same, I'm staying here, still with my beloved grey skirt and dorky High School life, well, never mind about it, coz I enjoy it. :D

Today's meeting is a rare chance, I can't keep up myself to postpone this chance.
I almost thought to cancel our meeting today for my unreasonable reason, but praise the Lord I didn't.

And always, there's no regret.
Even I'm so glad to meet you. Although you didn't bring me a chocolate (I won't stop asking for it, dammit I swear, LOL :P), but you brought something extraordinary, fresh and inspiring. Maybe your appearance, the way you act and talk do not change, but don't know how you always bring something new. Gosh! 10 for you twina!! I've learned more than enough today.

I'll pray you for best!
Never give up, always cheering, loving, caring and crazy.
My Happy Girl.
xoxo


Your buddy:
-Penyu-

Wishing we'll have another time to spend together (soon :D).
 
;