Benihku sudah lama tertanam di dalam tanah yang subur di sebuah pot. Tanah yang menguburku dalam-dalam, yang angkuh dan tak pernah mengajakku berbicara. Ia hanya memberiku asupan nutrisi yang aku butuhkan, sementara aku butuh lebih dari itu. Ingin aku mendengar suaranya, memanggil namaku, ehm... tak perlu namaku, cukup memanggilku saja dengan sebutan apapun, dengan senang hati aku akan mendengarkannya.
Terkubur, sendirian dan kesepian. Menyedihkan rasanya saat kau dekat dengan sosok yang sangat kau idamkan, tetapi ia tidak pernah mengajakmu berbicara. Benih dan tanah, kami begitu dekat, tetapi kami sangat jauh.
“Rafli, kau dengar aku? Aku....”
Rafli tak menjawab panggilanku. Sudah berkali-kali aku mencoba mengajaknya berbicara, tetapi aku tidak pernah berhasil. Apa ku sudahi saja perasaan tak bertuan ini? Lagi pula, kami berbeda; sangat berbeda, tidak ada ikatan genetik yang terhubung dalam sel kami.
Musim panas tiba. Aku sudah bertunas. Aku merasa tidak normal tumbuh sendirian sebagai tunas sementara benih-benih lagi masih tertidur dalam lingkupan tanah mereka. Lega rasanya bisa melihat dunia luar dengan tangkai mungilku. Aku tak akan bisa betunas tanpa kemurahan hati tanah.
“Terima kasih, Rafli.”
Ia tetap diam. Aku sempat berpikir, jangan-jangan selama ini aku mengajak bicara sosok yang bisu. Ah... tidak mungkin, aku pernah sekali mendengar suara Rafli, menyanyikan nyanyian musim semi, tentang bunga-bunga indah dan cantik. Entah mengapa aku iri mendengar sanjungan tanah pada bunga-bunga itu. Mengapa ia hanya memperhatikan bunga-bunga cantik di luar sana, sementara aku dicampakan seperti ini? Tidak pernah ia memuji setitik kecantikanku. Atau mungkin.... aku memang tidak cantik? Hmmm.... yah... kurasa itu wajar. Huh... dasar, kurasa semua tanah dalam pot mana pun sama saja! Tak bisa melihat kencantikan yang terpendam, hanya memperhatikan kecantikan di luar saja!
Sebagai tunas, aku hanya bisa memandang iri kecantikan bunga-bunga itu. Lihat saja mereka; berkelopak indah, anggun, wangi dan sangat mempesona. Tidak heran jika tanah selalu menyanjung diri mereka.
“Bunga-bunga, kelopakmu mempesona hatiku, tancapkan akar-akar serabutmu di lubuk hatiku,akan ku jaga dirimu.”
Aku mulai muak mendengar basa-basi gombalan Rafli si tanah. Tidak adakah kata lain yang bisa ia ucapkan?
“Ehm... Tunas. Tumben sekali beberapa hari ini kamu tidak mengajakku berbicara. Ada apa?”
Mungkin duniaku sempit, tetapi Rafli adalah tanah terbodoh yang pernah aku kenal. Ku diam saja.
“Kamu lapar? Maaf persediaan garam mineralku sudah menipis, jadi.... kamu diet dulu ya hari ini, hehe...”
Demi pupuk urea, ia sangat menyebalkan! Sangat tidak peka! Aku hanya butuh sosok pendengar, sosok yang mau mendengarkanku, sosok yang mau berbagi keluh kesah denganku, sosok yang mau berbagi cerita denganku. Aku butuh teman bicara!
****
Waktu berlalu dengan cepat. Kini aku bukan setangkai tunas lagi. Aku setangkai bunga kecil bermahkota ungu. Aku berhasil melewati tahap-tahap berat dalam hidupku. Rasanya... asik sekali menjadi bunga kecil bermahkota ungu. Aku menjadi pusat perhatian bunga-bunga besar bermahkota merah dan putih.
“Eli... selamat, kamu berhasil melewati tahap yang sangat sulit. Senang rasanya melihat kamu berhasil tumbuh menjadi setangkai bunga.”
Wow... ada apa ini? Sejak kapan Rafli tahu namaku?
“Bagaimana kamu tahu namaku? Kita kan belum pernah berbincang-bincang sebelumnya.”
“Tapi kamu kan sudah memperkenalkan dirimu. Kamu lupa?”
Astaga. Aku baru ingat. Aku tidak sangka, ternyata ingatan Rafli sangat kuat.
“Eh... iya, aku lupa, maaf.”
Sejak aku menjadi bunga, hubunganku dengan Rafli semakin membaik. Jujur, aku senang sekali, tetapi terkadang aku merasa sedih, mengapa tidak dari dulu saja ia memperlakukanku seperti ini? Aku terlanjur sakit hati dengannya. Terkadang aku merasa aneh, sejak aku menjadi bunga, aku tidak pernah mendengar Rafli menyanyikan gombalannya yang memuakan pada bunga-bunga lain. Sesekali ia menyanjung diriku, yah... memang tidak sesering yang ia lakukan pada bunga-bunga lain. Tidak peduli, aku tetap senang. Suatu hari aku bertanya pada Rafli:
“Rafli, kemana nyanyian gombalmu itu? Rasanya sudah cukup lama kau tidak menyanjung bunga-bunga itu.”
“Hahaha.... untuk apa? Aku sudah mendapatkan kesempurnaan yang tak bisa dilukiskan oleh nyanyian
gombal, yaitu dirimu.”
Walau baru menjadi bunga beberapa minggu, rasanya aku sudah mendengar gombalan ini 100 kali. Basi sih tapi.... aku suka itu.
“Eli... mungkin ucapan-ucapanku ini terdengar seperti humus busuk belaka, tetapi itulah kenyataan. Sudah berbulan-bulan aku membungkam mulut demi menyaksikan kamu tumbuh sempurna, menjadi bunga...”
“Aku tidak sempurna. Lihat bunga-bunga itu. Mereka lebih indah, lebih anggun dan menarik perhatian manusia. Sementara aku? Siapa yang mau memetik bunga ungu kecil seperti aku?”
“Justru karena kamu tidak menarik di mata manusia, maka kamu jadi terlihat semakin menarik bagiku. Karena selama tidak ada manusia yang berani memetik dirimu, maka selamanya kamu akan bersama denganku.”
“Apa yang menarik dari diriku?”
“Kehadiranmu.”
“Hanya itu?”
“Yap.”
Aku memilih berdiam diri saja, semakin banyak bertanya, semakin banyak aku mendapat jawaban yang tidak enak.
“Eli. Jangan salah sangka. Kehadiranmu itulah segalanya. Aku tidak butuh bunga yang indah, aku hanya butuh bunga yang selalu berada di sampingku. Karena kehadiranmu, mengindahkan hari-hariku.”
Suasana mendung di hatiku berganti, menjadi cerah. Rasanya matahari terpancar 24 jam hari ini. Bahagia.... aku sangat bahagia mendengar pengakuan Rafli, si tanah gombal.
****
“Eli, tumben sekali kamu berdiam diri pagi ini? Ada apa? Ada sesuatu?”
“Aku layu Rafli...”
“Tenang saja, kamu tetap cantik walau mahkotamu sudah berguguran.”
“Bukan itu yang aku takuti.”
“Apa? Katakan saja padaku.”
“Aku takut menjadi tiada.”
“.....”
Rafli terdiam. Bingung ingin berkata apa.
“Rafli... Sudah berapa lama kamu menjadi tanah?”
“Tidak tahu. Rasanya sudah lama sekali, mungkin.... 100 tahun?”
“Sudah berapa kali kamu menyaksikan bunga yang layu?”
“Ehm... Tidak ingat mungkin 100 kali?”
“Berapa bunga yang sudah melebur menjadi humus dengan dirimu?”
“Ehm... Tidak ada.”
Aneh. Tidak masuk akal. Aku tidak yakin.
“Kenapa? Yah... aku tahu itu aneh, tapi... itulah kenyataan pahit yang aku alami.”
“Pahit? Maksudmu.”
“Selama 100 tahun itu sudah 100 kali aku gagal menjaga benih yang tertanam dalam diriku. Mereka.... calon bunga-bunga yang indah. Aku berusaha memenuhi segala kebutuhan mereka, demi mereka akan ku lakukan apapun. Rasanya bahagia sekali saat kamu berhasil menjaga setitik benih hingga ia tumbuh menjadi setangkai atau bahkan rangkaian bunga yang indah. Selama ini, aku mengira, dengan meladeni setiap ucapan dan pertanyaan mereka maka aku telah memberi yang terbaik. Tetapi semakin hari aku belajar, cinta yang sesungguhnya, bukanlah dari perkataan, melainkan dari tindakan nyata. Dan.... aku berhasil. Dengan kehadiranmu Eli, bunga ungu kecilku, hidupku terasa lengkap.”
Aku tidak percaya. Ternyata... ini alasan mengapa ia begitu diam, tidak pernah menggubris ocehanku yang tidak jelas. Tetapi, mendengar penjelasan tanah, hatiku semakin rapuh, aku semakin tidak sanggup berpisah dengannya. Aku tidak mau!
“Tapi Rafli. Aku tidak seabadi dirimu.”
“Kamu tetap abadi. Sebagai humus yang akan menyatu dengan tanah kering, kita akan saling melengkapi.”
“Abadi? Apakah keabadian akan ku dapat setelah aku sudah mati nanti?”
“Justru, kematian adalah awal dari keabadian. Aku tidak akan menjadi tanah sebelum batu menjadi pasir. Begitu pula dengan dirimu. Tak perlu takut, kematian itu... tidak menyakitkan. Lebih cepat dari pada kau bernafas.”
Tak perlu menunggu berlama-lama lagi. Aku biarkan panas merenggut tubuhku, melayukan setiap jengkal tubuhku, hingga aku lapuk, tergeletak di atas tanah kering, menunggu saat aku menjadi humus.
oleh:
(DEER) dan (Angelia)
0 comments:
Post a Comment