Listen


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
Sunday, November 27, 2011 0 comments

Pojok Galau

Both everything and everybody will change but I never expect it.

Mungkin aku adalah masa lalu yang terperangkap dalam masa modern saat ini. Aku sering berharap segala keadaan tidak akan pernah berubah. Semua yang dulu tampak baik, sekarang tampak buruk bagiku, sekecil dan sesepele apa pun perubahan sering membuatku kecewa dari pada bahagia. Aku hanya berharap... perubahan baiklah yang akan terus terjadi dalam diriku.
0 comments

Lebih dari Harapan

Tanpa mahkota, aku bukan apa-apa. Aku hanya setangkai daun, tak indah dan tak menarik. Tanpa mahkota, tak ada yang bisa mengenaliku, siapa aku ini? Aku hanya setangkai bunga, bunga yang unik yang tak akan pernah kau temui di ujung dunia mana pun, selain di sini; dalam imajinasimu. Panggil saja aku Eli. Kau akan mengenalku sebagai Eli, bunga berkelopak ungu. Sebelum menjadi setangkai bunga, aku hanya setitik benih tak berdaya.

Benihku sudah lama tertanam di dalam tanah yang subur di sebuah pot. Tanah yang menguburku dalam-dalam, yang angkuh dan tak pernah mengajakku berbicara. Ia hanya memberiku asupan nutrisi yang aku butuhkan, sementara aku butuh lebih dari itu. Ingin aku mendengar suaranya, memanggil namaku, ehm... tak perlu namaku, cukup memanggilku saja dengan sebutan apapun, dengan senang hati aku akan mendengarkannya.

Terkubur, sendirian dan kesepian. Menyedihkan rasanya saat kau dekat dengan sosok yang sangat kau idamkan, tetapi ia tidak pernah mengajakmu berbicara. Benih dan tanah, kami begitu dekat, tetapi kami sangat jauh.

“Rafli, kau dengar aku? Aku....”

Rafli tak menjawab panggilanku. Sudah berkali-kali aku mencoba mengajaknya berbicara, tetapi aku tidak pernah berhasil. Apa ku sudahi saja perasaan tak bertuan ini? Lagi pula, kami berbeda; sangat berbeda, tidak ada ikatan genetik yang terhubung dalam sel kami.

Musim panas tiba. Aku sudah bertunas. Aku merasa tidak normal tumbuh sendirian sebagai tunas sementara benih-benih lagi masih tertidur dalam lingkupan tanah mereka. Lega rasanya bisa melihat dunia luar dengan tangkai mungilku. Aku tak akan bisa betunas tanpa kemurahan hati tanah.

“Terima kasih, Rafli.”

Ia tetap diam. Aku sempat berpikir, jangan-jangan selama ini aku mengajak bicara sosok yang bisu. Ah... tidak mungkin, aku pernah sekali mendengar suara Rafli, menyanyikan nyanyian musim semi, tentang bunga-bunga indah dan cantik. Entah mengapa aku iri mendengar sanjungan tanah pada bunga-bunga itu. Mengapa ia hanya memperhatikan bunga-bunga cantik di luar sana, sementara aku dicampakan seperti ini? Tidak pernah ia memuji setitik kecantikanku. Atau mungkin.... aku memang tidak cantik? Hmmm.... yah... kurasa itu wajar. Huh... dasar, kurasa semua tanah dalam pot mana pun sama saja! Tak bisa melihat kencantikan yang terpendam, hanya memperhatikan kecantikan di luar saja!

Sebagai tunas, aku hanya bisa memandang iri kecantikan bunga-bunga itu. Lihat saja mereka; berkelopak indah, anggun, wangi dan sangat mempesona. Tidak heran jika tanah selalu menyanjung diri mereka.

“Bunga-bunga, kelopakmu mempesona hatiku, tancapkan akar-akar serabutmu di lubuk hatiku,akan ku jaga dirimu.”

Aku mulai muak mendengar basa-basi gombalan Rafli si tanah. Tidak adakah kata lain yang bisa ia ucapkan?

“Ehm... Tunas. Tumben sekali beberapa hari ini kamu tidak mengajakku berbicara. Ada apa?”

Mungkin duniaku sempit, tetapi Rafli adalah tanah terbodoh yang pernah aku kenal. Ku diam saja.

“Kamu lapar? Maaf persediaan garam mineralku sudah menipis, jadi.... kamu diet dulu ya hari ini, hehe...”

Demi pupuk urea, ia sangat menyebalkan! Sangat tidak peka! Aku hanya butuh sosok pendengar, sosok yang mau mendengarkanku, sosok yang mau berbagi keluh kesah denganku, sosok yang mau berbagi cerita denganku. Aku butuh teman bicara!

****

Waktu berlalu dengan cepat. Kini aku bukan setangkai tunas lagi. Aku setangkai bunga kecil bermahkota ungu. Aku berhasil melewati tahap-tahap berat dalam hidupku. Rasanya... asik sekali menjadi bunga kecil bermahkota ungu. Aku menjadi pusat perhatian bunga-bunga besar bermahkota merah dan putih.

“Eli... selamat, kamu berhasil melewati tahap yang sangat sulit. Senang rasanya melihat kamu berhasil tumbuh menjadi setangkai bunga.”

Wow... ada apa ini? Sejak kapan Rafli tahu namaku?

“Bagaimana kamu tahu namaku? Kita kan belum pernah berbincang-bincang sebelumnya.”

“Tapi kamu kan sudah memperkenalkan dirimu. Kamu lupa?”

Astaga. Aku baru ingat. Aku tidak sangka, ternyata ingatan Rafli sangat kuat.

“Eh... iya, aku lupa, maaf.”

Sejak aku menjadi bunga, hubunganku dengan Rafli semakin membaik. Jujur, aku senang sekali, tetapi terkadang aku merasa sedih, mengapa tidak dari dulu saja ia memperlakukanku seperti ini? Aku terlanjur sakit hati dengannya. Terkadang aku merasa aneh, sejak aku menjadi bunga, aku tidak pernah mendengar Rafli menyanyikan gombalannya yang memuakan pada bunga-bunga lain. Sesekali ia menyanjung diriku, yah... memang tidak sesering yang ia lakukan pada bunga-bunga lain. Tidak peduli, aku tetap senang. Suatu hari aku bertanya pada Rafli:

“Rafli, kemana nyanyian gombalmu itu? Rasanya sudah cukup lama kau tidak menyanjung bunga-bunga itu.”

“Hahaha.... untuk apa? Aku sudah mendapatkan kesempurnaan yang tak bisa dilukiskan oleh nyanyian
gombal, yaitu dirimu.”

Walau baru menjadi bunga beberapa minggu, rasanya aku sudah mendengar gombalan ini 100 kali. Basi sih tapi.... aku suka itu.

“Eli... mungkin ucapan-ucapanku ini terdengar seperti humus busuk belaka, tetapi itulah kenyataan. Sudah berbulan-bulan aku membungkam mulut demi menyaksikan kamu tumbuh sempurna, menjadi bunga...”

“Aku tidak sempurna. Lihat bunga-bunga itu. Mereka lebih indah, lebih anggun dan menarik perhatian manusia. Sementara aku? Siapa yang mau memetik bunga ungu kecil seperti aku?”

“Justru karena kamu tidak menarik di mata manusia, maka kamu jadi terlihat semakin menarik bagiku. Karena selama tidak ada manusia yang berani memetik dirimu, maka selamanya kamu akan bersama denganku.”

“Apa yang menarik dari diriku?”

“Kehadiranmu.”

“Hanya itu?”

“Yap.”

Aku memilih berdiam diri saja, semakin banyak bertanya, semakin banyak aku mendapat jawaban yang tidak enak.

“Eli. Jangan salah sangka. Kehadiranmu itulah segalanya. Aku tidak butuh bunga yang indah, aku hanya butuh bunga yang selalu berada di sampingku. Karena kehadiranmu, mengindahkan hari-hariku.”

Suasana mendung di hatiku berganti, menjadi cerah. Rasanya matahari terpancar 24 jam hari ini. Bahagia.... aku sangat bahagia mendengar pengakuan Rafli, si tanah gombal.

****

Tubuhku sudah renta. Aku tak lebih dari setangkai bunga yang layu. Perlahan-lahan kelopakku berguguran. Sedih rasanya, mengetahui sebentar lagi, kebersamaan ku dan Rafli harus berakhir. Akankah ini berakhir? Saat tubuhku menjadi humus, menjadi makanan bagi Rafli, menjadi sumber nutrisi bagi benih berikutnya? Aku tak sanggup memikirkannya, itu hanya membuatku semakin sedih.

“Eli, tumben sekali kamu berdiam diri pagi ini? Ada apa? Ada sesuatu?”

“Aku layu Rafli...”

“Tenang saja, kamu tetap cantik walau mahkotamu sudah berguguran.”

“Bukan itu yang aku takuti.”

“Apa? Katakan saja padaku.”

“Aku takut menjadi tiada.”

“.....”
Rafli terdiam. Bingung ingin berkata apa.

“Rafli... Sudah berapa lama kamu menjadi tanah?”

“Tidak tahu. Rasanya sudah lama sekali, mungkin.... 100 tahun?”

“Sudah berapa kali kamu menyaksikan bunga yang layu?”

“Ehm... Tidak ingat mungkin 100 kali?”

“Berapa bunga yang sudah melebur menjadi humus dengan dirimu?”

“Ehm... Tidak ada.”

Aneh. Tidak masuk akal. Aku tidak yakin.

“Kenapa? Yah... aku tahu itu aneh, tapi... itulah kenyataan pahit yang aku alami.”

“Pahit? Maksudmu.”

“Selama 100 tahun itu sudah 100 kali aku gagal menjaga benih yang tertanam dalam diriku. Mereka.... calon bunga-bunga yang indah. Aku berusaha memenuhi segala kebutuhan mereka, demi mereka akan ku lakukan apapun. Rasanya bahagia sekali saat kamu berhasil menjaga setitik benih hingga ia tumbuh menjadi setangkai atau bahkan rangkaian bunga yang indah. Selama ini, aku mengira, dengan meladeni setiap ucapan dan pertanyaan mereka maka aku telah memberi yang terbaik. Tetapi semakin hari aku belajar, cinta yang sesungguhnya, bukanlah dari perkataan, melainkan dari tindakan nyata. Dan.... aku berhasil. Dengan kehadiranmu Eli, bunga ungu kecilku, hidupku terasa lengkap.”

Aku tidak percaya. Ternyata... ini alasan mengapa ia begitu diam, tidak pernah menggubris ocehanku yang tidak jelas. Tetapi, mendengar penjelasan tanah, hatiku semakin rapuh, aku semakin tidak sanggup berpisah dengannya. Aku tidak mau!

“Tapi Rafli. Aku tidak seabadi dirimu.”

“Kamu tetap abadi. Sebagai humus yang akan menyatu dengan tanah kering, kita akan saling melengkapi.”

“Abadi? Apakah keabadian akan ku dapat setelah aku sudah mati nanti?”

“Justru, kematian adalah awal dari keabadian. Aku tidak akan menjadi tanah sebelum batu menjadi pasir. Begitu pula dengan dirimu. Tak perlu takut, kematian itu... tidak menyakitkan. Lebih cepat dari pada kau bernafas.”

Tak perlu menunggu berlama-lama lagi. Aku biarkan panas merenggut tubuhku, melayukan setiap jengkal tubuhku, hingga aku lapuk, tergeletak di atas tanah kering, menunggu saat aku menjadi humus.

oleh:
(DEER) dan (Angelia)
Monday, November 7, 2011 0 comments

Kunci F

Melihatmu
mengingatkanku pada satu masa
saat aku belajar Piano
pertama kali

Aku baru mengenal kunci F
kadang aku keliru menilainya
menyamakannya dengan kunci G
yang sama sekali berbeda

Kunci F
nyanyianmu tenang
walau tampil sesekali
namum kehadiranmu
mampu menggugah hatiku

Kunci F
sangat misterius
suaramu berbisik;
begitu rendah dan lembut
nada-nadamu sulit kuterka

Aku bingung
bagaimana aku harus memahami dirimu?

Aku ingin mengenalmu

Nyanyikanlah melodimu
aku akan mendengarkannya
0 comments

Balada Harmoni

Menjadi harmoni yang indah
impianku tentang dirimu
bersama diriku kelak

Kita berada dalam dunia yang sama
tertoreh pada selembar partitur
kita begitu dekat
hanya terpisah dalam 2 bar berbeda

Kita pribadi yang berbeda
aku kunci G
dan kau kunci F
menyanyikan melodi berbeda
namun seirama dalam harmoni

Kadang aku menangkap melodi indahmu
yang selaras dengan melodiku
kau separuh jiwaku dalam harmoni
yang menyempurnakan kekuranganku
tanpamu,
melodiku hanyalah nyanyian kering

Kita dua kunci yang berbeda
melaju dalam dua bar berbeda
mengejar tempo hingga akhir lagu

Tak perlu aku sama dengan dirimu
dengan perbedaan
kita ciptakan harmoni yang indah

Tak ada lelah mengejar tempo
walau tiada akhir lagu
selama aku
bersama denganmu
bergelung dalam harmoni
0 comments

Curahan Hati

Apakah aku mencintaimu?

Aku rasa
aku hanya mengagumimu saja
kau tidak rupawan
tetapi kau menawan

Rasanya
aku merasa nyaman denganmu
sebagai teman bermain saja
kau bukan penghiburku
namun kau adalah hiburanku

Kau sangat berbakat
terkadang
aku iri denganmu
tetapi kau ajariku banyak hal
kau guruku yang hebat

Kau jenaka
tetapi kau bisa bungkam seribu bahasa
sulit aku memahami dirimu saat kau sendirian
aku lebih suka dirimu yang jenaka

Mungkin...
salahku mengartikan rasa ini
atau
aku belum mengerti arti rasa ini?

Apa pun itu
aku tidak ingin memaksa diriku
untuk selalu mengingini dirimu
yang dekat
namun nun jauh di sana
Sunday, November 6, 2011 0 comments

Balada Hati

Satu rasa
berbaris dalam untaian kata
yang tak mampu dilafalkan lidah

Ia hanya bergulat,
meringkuk dipojok ruang gelap
menunggu seberkas cahaya
menyinari tubuhnya

Ketika cahaya terpantul
pada kulitnya yang berkilau
ia berharap
seseorang akan melihatnya,
seseorang akan mengerti,
seseorang akan menjamahnya

Tetapi sampai kapan
ia harus menunggu
terkunci dalam lorong gelap
dingin dan tak bertuan?

Sampai kapan ia menunggu
seseorang datang
membuka lorong gelap
membopong dirinya keluar dari sana?

Ia hanya sebuah rasa
teruntai dalam tiga kata
terpahat dalam loh hatiku
ia ingin didengar
ia siap berteriak
namun hanya mampu berbisik

Aku sayang kamu...
Tuesday, November 1, 2011 0 comments

Saya Siap Berkarir

“Dengan kemampuan dan ilmu yang sudah kalian miliki, apakah siap kalian bersaing di dunia karir kedepan?”

Pendidikan merupakan sumbangsi terbesar dalam pembentukan karakter dan kematangan masyarakat, terutama dalam dunia karir. Masyarakat yang sadar pentingnya arti pendidikan, berlomba-lomba mengenyam pendidikan terbaik. Sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki pendidikan terbaik di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya, sehingga hanya calon siswa-mahasiswa pilihanlah yang bisa mengenyam pendidikan terbaik tersebut.

Sekarang ini, para peserta didik sudah paham arti penting pendidikan bagi mereka. Melihat sekolah dan perguruan tinggi yang semakin selektif memilih calon peserta didik, para siswa dan mahasiswa tidak lagi mengandalkan The Power of Money, melainkan The Power of Brain. Mereka bersaing secara sehat; menambah ilmu, mengejar berbagai prestasi, mengumpulkan nilai-nilai baik, mengasah bakat dan kreativitas agar mereka terbentuk menjadi pribadi yang berkualitas, yang pantas mengenyam pendidikan terbaik. Bagi mereka,ini adalah jalan untuk meraih sebuah impian yaitu memperoleh pekerjaan yang dapat menjamin kehidupan mereka.

Dari sebuah poling, sebanyak 12 dari 12 siswa-mahasiswa yang mengakui bahwa mengenyam pendidikan di sekolah atau pun di perguruan tinggi merupakan hal yang bermanfaat. Karena di sekolah atau pun perguruan tinggi mereka tidak sekedar memperoleh wawasan akademis dan non akademis, tetapi mereka juga belajar hal baru seperti; bersosialisasi, menyiapkan mental untuk bersaing menjadi yang terbaik, belajar mandiri manage waktu, disiplin mengerjakan tugas dan bertanggung jawab. Mereka merasa hal-hal tersebut adalah bekal yang diperlukan untuk menyiapkan masa depan mereka.

Sepuluh peserta poling menyatakan setuju bahwa kuliah diperlukan untuk menambah ilmu dan mengasah kemampuan dan 4 di antara 12 berpendapat bahwa kuliah sangat diperlukan untuk memperoleh gelar setinggi-tingginya, karena masa kini gelar juga menjadi kebutuhan dan jaminan untuk bekerja. Ada pula 3 pendapat yang mengutarakan belajar tidak harus dari bangku kuliah saja dan bahwa ilmu saja tidak cukup, seseorang juga harus memiliki keberanian untuk mencoba kesempatan pengalaman bekerja dan mengambil resiko berbisnis, bahkan 1 dari 3 pendapat tersebut mengutarakan bahwa kuliah tidak sepenuhnya mutlak dan penting karena kenyataannya banyak orang yang mampu berkarir tanpa mengenyam bangku kuliah.

Di luar sana masih ada siswa-siswi, khususnya lulusan SMA yang belum siap bekerja sebelum menjejaki dunia perkuliahan, mereka khawatir tidak bisa mendapat pekerjaan yang dapat menjamin kehidupan mereka jika mereka tidak kuliah dan punya gelar sarjana. Tetapi ternyata dalam poling 10 dari 12 siswa-mahasiswa menyatakan bahwa diri mereka sudah siap bersaing di dunia karir dengan kemampuan yang mereka telah miliki.

Satu dari 12 poling menyatakan pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa adalah pekerjaan yang sangat menjamin, karena bahasa tidak akan pernah mati dan dibutuhkan dalam segala pekerjaan, 2 dari 12 menyatakan bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan jasa tidak akan pernah mati dan 2 dari 12 poling lain menyatakan pekerjaan yang berhubungan dengan inovasi juga merupakan pekerjaan yang menjamin. Selebihnya menyatakan bahwa segala pekerjaan bisa menjamin jika dikerjakan sesuai dengan keahlian dan dikerjakan dengan sepenuh hati dan maksimal.

Menurut saya, terjamin atau pun tidaknya suatu pekerjaan adalah hal relatif, tidak sekedar ditentukan dari jenis pekerjaan apa yang diambil atau pun berapa gaji yang akan ditetapkan bagi kita, tetapi lebih ditentukan oleh kesanggupan kita mengerjakan pekerjaan tersebut secara maksimal sehingga kita dapat memperoleh hasil yang setara dengan usaha kita. Bekerja hanya sarana, tidak ada pekerjaan yang menjamin 100% kehidupan kita, tetapi diri kita sendirilah yang menjamin kehidupan kita dengan bekerja. Sebenarnya ada banyak kesempatan kerja di luar sana, hanya saja terkadang orang-orang tidak bisa melihat kesempatan tersebut karena mereka dibutakan oleh ambisi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka saja. Bekerja yang tidak sesuai dengan keinginan adalah ketakutan utama sekaligus batu sandungan bagi orang-orang yang baru terjun di dunia karir. Mendapat pekerjaan yang tidak sesuai kemampuan bukanlah alasan yang tepat untuk merasa terhambat; sama seperti di dunia pendidikan sebuah tugas, PR atau pun ulangan tidak akan diberikan ketika murid-murid belum siap menanggung kewajiban tersebut, jika kita sudah diterima pada suatu pekerjaan, dapat disimpulkan tidak ada pekerjaan yang tidak dapat kita kerjakan.

Jadi, tidak ada alasan untuk takut mencoba berkarir dini hari, walau pun tanpa gelar sekali pun. Lebih baik memiliki pengalaman bekerja dengan hal-hal kecil dari pada tidak memiliki pengalaman sama sekali. (DEER)
 
;