18 Desember 2010
hari yang paling aku nanti-nantiin sejak sebulan yang lalu. Aku bener-bener ga sabar memiliki status remaja 17 tahun, entah karena alasan apa aku merasakan aura kedewasaan dan kebebasan.
Sebelumnya izinkan aku melakukan sebuah pengakuan. Pada hari itu aku bolos sekolah atas persetujuan kedua orang tua gw dan pastinya atas persetujuan aku juga. Bukan kebetulan (karena aku ga pernah percaya akan kebetulan) pada tanggal 18 Desember lalu kami sekeluarga mau pergi ke Pulau Seribu (di Pulau Untung Jawa) yang merupakan program liburan gratis dari Jamsostek (kantor tempat papa bekerja), hari itu hari Sabtu dan sekolah masih berlangsung, aku di hadapi 2 pilihan, sekolah atau ikut liburan. Hanya dengan membuat sebuah alasan classic 'sakit', aku bisa bolos dengan leluasa, hahaha. Curang memang, tetapi aku menekankan, hidup adalah pilihan, aku ga mau menyia-nyiakan kesempatan yang langka ini, so aku pilih liburan, lagi pula nyokap dan bokap setuju. Tetapi setiap pilihan ada resikonya dan karma does exist! Sehari sebelum keberangkatan kita sekeluarga udah setuju akan acara bolos ini, bahkan aku dan Yola sudah memilih-milih penyakit apa yang akan kami jadikan alasan nanti, Yola milih sakit perut dan aku milih masuk angin dan kembung (alasan yang paling nendang karena pada hari kamis dan jumat (16-17) aku selalu pulang malam karena ada pergelaran Symphony Orchestra), dan ternyata pilihan penyakit itu menjadi penyakit beneran bagiku, beruntunglah Yola tidak mendapat karma hari itu. So hadiah pertamaku saat bangun pagi adalah tabuhan Bodhran (angin perut kembung yang berputar) dan tiupan Sangkakala (buang angin).
Tapi beruntunglah Tuhan memang baik, perut kembung itu sama sekali gak mengganggu akitivitasku saat belibur.
Perjalanan pertama kami tempuh dengan mobil, kami akan berangkat dari Muara Karang dan perjalanan berikutnya di lanjutkan dengan perahu motor kayu besar, sayang aku lupa nama kapalnya. Walaupun sempat merasa ketakutan, aku menikmati perjalanan 20 menit mengapung di atas laut Jawa tersebut, itu adalah pengalaman pertamaku nyebrang antar pulau dengan perahu, tidak jarang perahu yang kami tumpangi di terpa oleh ombak sedang yang cukup mengagetkan dan memukau. Ini pertama kalinya aku menaiki kapal dengan tangga kayu kecil dan pegangan dari bambu yang di pegang oleh awak kapal. Panjang tangga itu tidak sampai 5 meter, tetapi jantungku bertalu cukup keras dan tangan kiriku mulai mati rasa, aku takut kalau saja aku secara tidak sengaja menjatuhkan tas laptopku. Semua penumpang sudah duduk, mesin di nyalakan, sang nahkoda mulai memutar kemudinya, perahu berjalan mundur perlahan-lahan dan memutar 180 derajat, dengan penuh keyakinan sang nahkoda menambah kecepatan perahunya, mesin perahu mulai meraung ganas dan perahu mulai meluncur seperti mata peluru yang melawan ombak, kadang perahu tersebut sedikit oleng, tetapi disiinilah perjalanan berkesan itu dimulai.
Yola dan mama tampak ketakutan melihat ombak yang berkali-kali mengempas dan menggoyangkan kapal kami, mama terus merangkul Michael dan mencengkram tangan papa sedangkan Yola mencengkram kursi kayu. Tetapi berbeda dengan ku, justru aku sangat menikmati ombak tersebut, mungkin karena pengaruh latihan dan konser Orchestra, bagi ku, gelombang ombak tersebut melukiskan nyanyian alam yang tidak ada hentinya, bunyi gulungan ombak terdengar seperti tepuk tangan riuh dari penonton yang tidak ada hentinya yang mengharapkan penampilan lebih Orchestra alam tersebut, hempasan ombak pada body perahu terdengar seperti pukulan Crash Cymbal, gelombang seperti Crescendo besar yang di lukiskan oleh ayunan tongkat konduktor, deru mesin perahu terdengar seperti tabuhan Timpani dan Gran Cassa yang tidak ada henti-hentinya bergema hingga kami sampai ke seberang. Tidak hanya itu, ombak itu juga menampilkan lukisan permadani biru yang indah yang bergulung-gulung tanpa akhir dan ujung, buih air asin yang terhempas bak hiasan yang memperindah permadani tersebut. 20 menit berlalu Symphony dan lukisan alam tersebut harus berakhir, aku dan para penumpang harus turun dari kapal dan berjalan beberapa meter menuju penginapan kami. Kedatangan kami di sambut oleh tiupan angin pulau yang tidak ada hentinya. Aku suka hembusan angin tetapi aku terganggu oleh angin itu, selain karena merusak tataan rambutku, angin ini juga menambah parah keadaan perut kembungku. "Sial!!", umpatku dalam hati
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment