Listen


MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com
Thursday, December 23, 2010

17th year of me - Last Symphony

Setelah semalaman terlelap, pukul 07.00 mama membangunkan aku dan Yola. Pagi itu adalah pertama dan terakhir kalinya aku menikmati bangun pagi di pulau. Rasanya enak sekali, aku membuka pintu untuk menikmati udara pagi yang tidak terlalu dingin dan berangin pastinya. Aku cukup menyesal bangun terlambat pagi itu, aku tidak sempat menikmati bahkan mengabadikan keindahan sunrise di pulau itu. Singkat cerita, aku dan Yola langsung bersiap-siap mandi dan berpakaian. Aku membawa kantong plastik kecil, berharap bisa menemukan kerang yang baru terdampar setelah semalam air laut pasang naik. Dari kejauhan aku dan Yola melihat pemandangan spektakuler, "kok air lautnya keliatan tinggi ya", "emang kayak gitu tau, karena kemaren gelap aja ga terlalu keliatan", jawabku. Tetapi penjelasan singkat itu tidak bisa menjawab pertanyaan yang ada dalam pikiranku sendiri; memang aneh. Setelah kami mendekati pantai, kami tidak menemukan bibir pantai yang kemarin kami pijak, ternyata hingga pagi itu air laut masih pasang dan belum surut juga. Perburuan kami lakukan di pinggir bibir pantai yang tidak di tutupi oleh pasang laut, kami hanya berburu beberapa kerang saja. Sebenarnya, dalam benakku aku ingin sekali berenang atau bermain pasir dan membuat istana dari pasir, tetapi karena tidak membawa peralatan, tidak ada yang menemani dan air sedang pasang, aku urungkan saja niatku itu.

Selesai berburu sedikit kerang, papa menawarkan aku dan Yola untuk ikut papa bersepeda keliling pulau. Aku menerima ajakan tersebut dengan senang hati, kapan lagi bisa seperti ini. Kami menyewa 3 sepeda sanki berkeranjang berwarna pink, dengan uang 5000 rupiah untuk 1 sepeda selama 1 jam, kami bisa mengelilingi satu pulau Untung Jawa ini. Perjalanan kami mulai. Ternyata dugaanku benar, ada pemandangan indah lainnya di sisi lain dari pulau kecil itu. Ada perkampungan kecil nan modern, ada pasar ikan, aku juga bisa melihat tanaman mangrove yang tertanam di rawa-rawa yang berbau amis (aku sedikit mual saat melewatinya); tanaman itu sudah tumbuh cukup tinggi dan membentuk canopy hijau yang indah di atas jalan setapak yang kami lewati. Sayang sekali, karena bersepeda aku tidak bisa mendokumentasikan semua keindahan yang aku lihat; "aku memilih untuk menikmati dari pada berusaha menyimpannya", tetapi aku punya rekaman singkat perjalananku melewati jalan setapak. Aku sangat menikmati hembusan angin pantai pagi itu, walaupun lagi-lagi angin pantai dalam perutku berpilin dan menyiksaku lagi. Perjalanan kami bersepeda tidak lebih dari 1/2 jam, aku senang bisa cukup berkeringat pagi itu, sisa waktu 1/2 jam itu kami berikan pada teman papa yang juga mau menyewa sepeda. Pas sekali, selesai bersepeda, waktu sarapan pagi tiba. Kali ini menu kami adalah nasi goreng. Dengan perut kosong dan lapar, aku mulai melahap habis nasi goreng, telur mata sapi dan kerupuk udang dalam sekejap. Selesai makan, aku menikmati nuansa pagi sambil menyeruput habis segelas teh manis hangat, enak sekali rasanya.

Selesai makan, aku kembali beristirahat di penginapan selama satu jam sambil menunggu perahu kami tiba. Setelah beristirahat selama 1 jam, aku dan Yola berjalan ke pantai lagi, kami melihat ada kaki lima yang menjual asesoris, masing-masing kami membeli 1 buah gantungan kunci berbentuk kerang, dengan hiasan kaca berisi kerang-kerang kecil dan kepiting kecil. Selesai membeli asesoris, kami kembali kepenginapan bersiap-siap membawa barang bawaan kami, karena perahu kami akan segera tiba. Ini adalah saat-saat paling menegangkan bagi Yola, sejak kejadian kemarin, ia takut sekali naik perahu. Bahkan sangkin takutnya Yola sampai bersumpah, ia akan menjadi anak yang rajin belajar kalau ia bisa selamat sampai seberang. Entah kenapa aku tidak yakin akan janji itu.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya perahu kami tiba, perahu kayu bermesin yang sama seperti kemari. Yola semakin tegang, ia terus berharap akan keajaiban; perahu kayu tersebut di ganti kapal Feri, tetapi harapan tinggal harapan, kami serombongan menaiki perahu kayu, aku dan keluargaku mengambil tempat duduk di tengah. Untuk mengusir ketegangan, aku mendengarkan lagu-lagu classic di ear phone-ku. Seorang anak buah perahu menutup bagian kanan perahu dengan tenda, mesin di nyalakan, sang nahkoda memundurkan perahu perlahan dan menambah kecepatan perahu hingga mesin kembali meraung. Perahu kembali melesat dengan kecepatan yang lebih tinggi dari kemarin, tetapi belum sampai 5 menit, perahu kami di ombang-ambing oleh gelombang besar, gelombang yang lebih besar dari pada kemarin, aku dapat merasakan sensasi seperti naik wahana Wing di Dufan dan jika ada ombak yang sedikit lebih besar lagi, perahu kami bisa terbalik. Kali ini aku mulai ketakutan, anak-anak kecil di dalam perahu mulai berteriak dan menangis memanggil ibunya, apalagi gadis kecil di sebelah kanan Yola, ia berteriak paling kencang diantara semua anak, teriakannya membuat hatiku semakin tidak tenang, ingin sekali rasanya aku berteriak DIAM atau membekap mulutnya, tapi apa daya, tapat disebelah kirinya ada ibu anak itu. Di belakangku, Michael bahkan Yola ikutan berteriak memanggil mama, sedangkan mama sendiri juga sudah ketakutan. Michael yang ketakutan duduk di tengah, mencengkram lengan mama dan papa, mama terus memeluknya, sementara Yola mencengkram kursi kayu, sekali-sekali ya berteriak memanggil mama, mama justru tambah marah padanya; hahaha, kasihan. Aku duduk sendirian di kursi kayu mulai berdoa memohon keselamatan, aku berusaha meyakinkan diriku, kami semua akan selamat, karena Tuhanku adalah seorang pelaut yang hebat yang dapat menenangkan badai. Perlahan-lahan gerakan perahu mulai stabil, tetapi lagi-lagi ada gelombang besar dari kanan yang menghempas perahu kami, aku bisa melihat ada muncratan air yang keluar dari cela-cela tenda yang membasahi sebelah kanan kapal. Aku melihat sang nahkoda tetap tenang memutar kemudinya dan anak buahnya hanya duduk bersantai di dek depan perahu, sepertinya mereka malah menikmati pemandangan dan cipratan air asin tersebut. Aku berusaha menenangkan diri dan mencoba menikmati alunan musik di ear phone, tetapi intro lagu Sleeping Beauty Ballet - Dance Of The Lilac Fairy dari Tchaikovsky malah menambah ketegangan dalam hatiku, aku segera mematikan lagu itu menenangkan diri selama 10 detik dan mengganti play list dengan lagu-lagu Gospel, hatiku langsung tenang saat itu juga. Aku kembali menikmati ayunan keras perahuku; "untuk apa aku takut, toh perahu ini tidak akan terbalik, kalaupun terbalik aku kan bisa berenang, tetapi aku yakin perahu ini tidak akan terbalik sampai di seberang sana", aku terus memikirkan hal tersebut. Lama-kelamaan rasa takutku hilang, aku kembali menikmati symphony alam yang menakjubkan, aku malah sempat merekam sedikit lukisan alam tersebut dalam hp-ku. Aku melihat anak kecil di sebelah kanan Yola hanya bisa berpasrah dalam pelukan mamanya, Yola duduk mematung mencengkram kursi kayunya, Michael dan mama juga ikut mematung. Aku dan papa hanya bisa tertawa melihat wajah mereka yang mulai pucat dan ketakutan setengah mati. Gelombang kembali menerpa, Yola semakin memperkuat cengkramannya, Michael berteriak "mama takut", mama hanya diam membisu, untuk mencairkan suasana papa berkata "udah liat aja di seberang, pulaunya udah deket", mama hanya memberi tatapan tajam pada papa. K
Karena pada kenyataannya kami masih harus bertahan 15 menit lagi di atas perahu ini.

15 menit berlalu, kuhentikan lagu di ear phone dan menyimpan HP ku ke dalam tas, bersiap-siap menurunkan barang. Perahu berhenti di bibir pantai, lantas kami harus turun. Lagi-lagi kami turun dengan tangga kayu kecil yang kami pakai pada hari pertama naik kapal. Sampai di pulau seberang, kami duduk-duduk di warung sambil minum air kelapa. Aku sangat menikmati kelezatan air kelapa itu, Yola masih terlihat shock, terkadang ia mengumpat, "dasar kapal terkutuk, pulau terkutuk, laut terkutuk". Begitu pula dengan mama, mama tidak bisa menikmati makanan atau minuman apapun. Selesai bersantap dan membeli oleh-oleh beberapa potong ikan asin, kami kembali ke mobil dan pulang.
Siang itu menjadi siang terakhirku menikmati symphony alam laut pulau seribu. Aku masih dapat mengingat dengan jelas deburan ombak yang selalu aku dengar di pulau itu.

Sesempainya aku di rumah, aku masih merasakan boat syndrome, setiap kali aku diam, aku bisa merasakan secara nyata goyangan ombang-ambing pelan. Bahkan saat aku berbaring di tempat tidur, aku bisa merasakan tubuhku di ajak berlayar di atas perahu dan gelombang lembut ombak menina bobokan aku.

0 comments:

Post a Comment

 
;