"Ayo neng dimakan permennya biar gak muntah lagi", pak tua itu menawariku 3 butir permen mint.
"Gak ah pak, saya gak kuat makan", jawabku singkat.
Pak Tua ini menatapku dengan simpati dan mulai bertanya,
"neng perlu apa lagi?"
"neng perlu apa lagi?"
Sesaat aku menimbang-nimbang, aku butuh kehangatan,
"Mmm... Kalo bisa saya minta balsem aja"
"Mmm... Kalo bisa saya minta balsem aja"
"Yah neng, kalo balsemkan cuma di luar, mending permen makan aja"
Dari pada aku merepotkan bapak ini terus,
"Ya udah deh pak, nanti saya makan.
Maaf ya saya repotin bapak", jawabku lirih, sambil menitikan air mata karena kepalaku bertingkah lagi.
"Ya udah deh pak, nanti saya makan.
Maaf ya saya repotin bapak", jawabku lirih, sambil menitikan air mata karena kepalaku bertingkah lagi.
"Gak apa-apa neng, bapak ikhlas nolongin. Lanjut jalan ya"
"hmmm", jawabku singkat.
"hmmm", jawabku singkat.
Dengan guncangan yang tiada henti, perlahan-lahan becak tua itu meninggalkan perumahan kumuh.
Sebelumnya mari kita pekikan semangat para pejuang kita,
"MERDEKA! MERDEKA MERDEKA!"
65 tahun sudah bangsa ini berdiri, 65 tahun sudah bangsa ini bercita-cita, 65 tahun sudah kita mengakhiri pertumpahan darah demi meraih sebuah KEMERDEKAAN!
Bangsa Indonesia telah terlepas dari tangan penjajah, kita sudah merdeka, tak perlu lagi ada peluh dan darah yang tercecer.
Tetapi semangat bangsa untuk meraih cita-cita yang lebih tinggi tidak boleh pudar!
"Puasa... Puasa... Puasa..."
Terdengar sayupan di antara pekik kemerdekaan.
Ternyata ada saudara-saudara kita yang sedang berpuasa.
Aku salut dengan saudara kita, mereka tetap bersemangat merayakan hari kemerdekaan ini.
Lihat bendera-bendera berkibaran di tiang bambu di depan rumah mereka. Bukti semangat mereka menghargai kemerdekaan.
"Bagaimana dengan tujuh belasan hari ini?"
Aku tidak tahu bagaimana suasana tujuh belasan di RT/RW/Kelurahan tempat kalian, tetapi di tempatku, suasananya sangat berbeda dari tahun lalu.
Tidak ada teriakan anak-anak, gelak tawa ibu-ibu/bapa-bapa, tidak ada pohon pinang dadakan dan buahnya tidak tumbuh.
Ah... Mereka saja malas tidak mau memeriahkan hari dengan perut kosong, lemah!
Lihat para petugas upacara di Istana, beberapa di antara mereka pasti ada yang puasa dan mereka kuat, hebat!
Aku memutuskan membuat acara tujuh belasanku sendiri.
Bagaimana dengan bersepeda?
Sepertinya cuaca pukul 09.00 ini sangat mendukung.
Kaos merah-celana putih dan sepeda merah adalah atribut yang cocok.
Daftar tujuan dan belanja yang belum jelas sudah terukir dalam pikiranku.
Sepi... Sepi... Sepi...
Pemandangan yang aku lihat saat berkeliling dengan sepeda merahku.
Semua warung tutup, jalanan sepi, hanya bunyi bel sepedaku yang terdengar nyaring.
Aduh... Sepertinya aku haus dan lapar..
Eh, Tidak-tidak, aku tidak boleh asal mengisi perutku di tengah jalan yang di kerumuni orang-orang seperti ini, hargai mereka yang sedang berpuasa.
Tapi perjalanan masih jauh..
Bagaimana bisa merdeka jika perut kosong?
Ah... Mereka yang puasa saja bisa, masa aku tidak?
Ayo, kayuh terus pedalmu! Merdekakan dirimu, meleburlah dengan lembabnya udara pagi menjelang siang ini!
Akhirnya aku sampai tujuanku. "Toko barang antik", sebenarnya sebuah toko buku bekas. Tetap saja toko itu antik, karena menjual barang-barang ber-history. Bahkan toko itu menjual anak tikus mati.
oh, ternyata aku salah, itu tidak di jual, itu bonus dari bangunan kayu tua.
Belum sampai 10 menit, aku merasakan sensasi yang tidak menyenangkan,
kepalaku pening.
Kenapa ini? Ada apa? Sepertinya hari tidak panas. Aku harus bersandar sebentar dan melanjutkan perjalananku.
Kepalaku sudah tidak pening lagi.
Aku harus kuat! Masa belum makan nasi saja sudah lemas, manja sekali?!
Mana ada pejuang yang manja!
Ayo, kayuh terus pedalmu! Merdekakan dirimu, meleburlah dengan lembabnya udara pagi menjelang siang ini! Lawan dahagamu hingga kau sampai persemayamannmu.
Smpai juga tempat persemayamanku di superindo pamulang.
Akhirnya, dapatku lepaskan juga dahagaku dengan rakus.
Segelas es sirup strawberry ini saatnya bagiku untuk membalas derita karena dahaga.
Tetapi....
Ada apalagi ini?
Kepalaku semakin berat, penat, pandanganku kabur.
Perutku mual akan ketamakanku.
Seperti orang yang mabuk karena sebotol ethanol.
Ku baringkan kepalaku pada meja kayu sementara jari-jariku merengkuh kening.
Entah tak tau apa yang terjadi, 1 setengah jam berlalu, aku terbangun dengan air liur basi pada pipi kananku. Aku bangkit, tetapi kepalaku masih terasa sakit, aku melihat seorang petugas mengamatiku dari belakang, beberapa tamu rumah makan cepat saji menatapku sesaat dengan tatapan bingung, kasihan dan sebal lalu melanjutkan makan mereka lagi.
Pertanyaan,
apakah tidak ada orang yang tahu apa yang terjadi padaku?
Kenapa tidak ada orang yang membangunkanku?
atau..
adakah orang yang peduli dengan kondisiku?
jawaban,
tidak ada.
Dari pada hanya membuang waktu sia-sia disini, kuputuskan untuk keluar dan mencari barang pada daftar belanjaku.
Mission completed,
waktunya pulang, tetapi bagaimana aku bisa berkendara dengan keadaan mabuk seperti ini? Kepalaku semakin pusing, perutku semakin mual karena tusukan angin lembab dan dingin, sisa hujan siang ini.
Aku tidak melihat ada seorangpun yang bisa dimohon pertolongan.
Tetapi pertolongan selalu ada.
Tak perlu aku memohon.
Aku melihatnya, secerca harapan.
Tukang becak.
Ya... Seorang tukang becak.
Aku meminta tolong pada Pak Tua ini untuk mengantarku pulang beserta sepedaku.
Cukup unik, datang dengan sepeda-pulang dengan sepeda naik becak.
Sementara Pak Tua dengan 2 orang temannya mengakali bagaimana agar sepedaku bisa naik di atas becak, aku bersandar di dalam singgah sana merah dengan keadaan tubuh yang semakin melemah karena kepala dan perut yang gak bisa diajak kompromi.
Aku tidak bisa menahan kuasa perutku, akhirnya aku dapat memuntahkan sebagian ketamakanku, ku ambil kantong plastik buku tulisku.
Bau sirop strawberry hangat dan kudapan rasa rumput laut tercampur jadi satu dalam plastik buku tulis. Untung saja aku membeli buku, memang buku bisa menjawaban segala perkara kita.
Perjalanan dengan becak pun dimulai.
Aku beruntung bapak ini orang yang sabar, karena sepanjang perjalanan beberapa kali aku merintih, muntah-muntah, tak jarang menangis. Bagaimana tidak, keadaanku semakin buruk karena guncangan di dalam becak, ditambah jalan di pamulang yang berlubang besar, membuatku semakin menggila di becak ini. Hingga aku meminta bapak ini harus menghentikan pejalanan di jalan kecil perumahan kumuh karena kepalaku yang semakin sakit dan tak karuan dan perutku yang pada akhirnya berhasil membuang semua ketamakanku dalam kantong plastik paper plus yang malang.
Sementara aku mencoba membereskan kekacauan diriku, bapak tukang becak ini meninggalkanku di becak sendirian, ia pergi ke sebuah rumah kumuh. Aku tak tahu apa yang ia lakukan. Sesaat kemudian ia menawariku 3 buah permen mint. Katanya agar aku tidak merasa eneg lagi, tapi aku hanya menyimpan dan menolak memakan karena aku terlalu muak menelan sesuatu. Sungguh tak tahu terimakasih.
Pak Tua ini ingin sekali menolongku pulang, ia meminta aku menunjukan alamat rumahku dengan jelas, ia juga meminta kartu pelajarku. Aku tahu maksudnya baik, tetapi aku tidak menggubrisnya, aku hanya menjawab ia-apa-ia-apa.
Merasa cukup jelas, dengan guncangan yang tiada henti, kami melanjutkan perjalanan dari perumahan kumuh menuju perumahan rumahku. Sepanjang perjalanan aku bisa tidur lumayan nyenyak, hingga sampai di depan ruko kerabat keluargaku. Rinai, penjaga toko yang mengenal sepedaku yang terikat mantap di depan becak tertawa dan memanggilku, aku hanya berkata, diam kau!
Ternyata ia tidak hanya berteriak padaku, ia berteriak pada papaku yang ada dirumahnya.
Akhirnya penyelamatan pada diriku dimulai. Sepeda merahku di titip di ruko, sementara aku pulang menggunakan becak dan papa menunjukan jalan di depan.
Ayo, kayuh terus pedalmu! Merdekakan dirimu, meleburlah dengan lembabnya udara siang ini! Ikuti jalan sang kepala suku hingga sampai persemayaman kami.
Akhirnya aku sampai di tempat persemayaman kami, benar tebakanku, aku akan kena sedikit omelan dari mama, sementara mbak langsung membawaku ke dalam rumah, maksudnya baik merangkulku karena ingin menolongku, tetapi aku tidak membiarkan mbak mematahkan rusuk kananku. Dengan sempoyongan aku berjalan sendirian ke tempat tidurku yang nyaman. Benar-benar seperti orang mabuk, kepala pusing dan perut mual, melupakan lingkungan sekitar, emosional dan tak tahu terimakasih.
Aku tak perlu meneguk ethanol untuk tahu bagaimana rasanya mabuk, aku sudah merasakannya.
Ya ampun, aku belum berterimakasih dengan Pak Tua itu, sementara papa membayar Pak Tua itu, aku sedang enak-enakan di atas ranjang berselimut tebal dan beralas bantal yang nyaman.
Ckckck....
Sekarang aku baru sadar, betapa buruknya resiko yang akan dihadapi jika kita mengisi kemerdekaan dengan perut kosong.
Begitu pula yang telah di alami oleh para pejuang kita, dalam kasus ini mereka tidak asal melawan penjajah dengan tubuh kosong.
Pikiran dan hati mereka dipenuhi oleh tujuan dan strategi yang jelas bagaimana mereka mencapai sebuah kemerdekaan, sekali untuk selamanya.
Kepedulian.
Siapapun kita, jika kita benar-benar merasa kalau kita adalah bangsa Indonesia yang mau mewujudkan cita-cita luhur bangsa kita, kita harus memiliki kebersamaan yang kuat yang di wujudkan dari sebuah kepedulian. Sekecil apapun bentuknya, semua orang ingin di pedulikan.
Hari Kemerdekaan tidak harus di isi oleh berbagai hal yang hura-hura apalagi tanpa tujuan seperti yang aku lakukan, kita bisa mengisinya dengan kegiatan bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment