Malam ini gue lagi menikmati sisa awal pekan yang cukup mengasyikan. Inti kegiatan gue seharian ini adalah menikmati candu aksara, entah itu membaca habis novel Sang Pemimpi, mulai membaca novel Winter in Tokyo, membaca postingan puisi-puisi, ngobrol bersama sahabat lewat SMS atau sekedar membaca Timeline Twitter lalu me-retweet sesuatu yang menarik.
Tiba-tiba saja, di tengah kukungan zona nyaman, gue menerima sebuah SMS. Isinya tidak bercerita tentang sesuatu yang gue bayangkan, entah itu ajakan nonton Harry Potter and Deathly Hallows Part 2, atau mungkin sekedar SMS kata-kata pembangkit semangat, atau mungkin SMS curhatan temen gue yang lagi galau akut, atau SMS dari operator yang ga pernah gue gubris. Ternyata itu SMS dari "miss Catty" seorang sahabat lama. Isi SMS ini sangat mengejutkan gue. Sangat mengejutkan, karena dalam SMS itu sahabat gue minta dukungan doa. Awalnya gue kira doa untuk keluarga siapa gitu yang salah satu anggota keluarganya meninggal. Ternyata jauh lebih lirih. Sahabat gue minta dukungan doa untuk cucu seorang guru Toefl (di SMP gue dulu) yang akan menjalani operasi pada hari Selasa. Bukan sekedar operasi usus buntu atau sinus, tetapi operasi pengangkatan bola mata. Karena cucu malang yang baru berusia 2 minggu itu terkena kanker.
Gue cuma bisa lirih, sedih membaca SMS itu. Gue gak bisa membayangkan, bahkan gue gak berani membayangkan bagaimana rasanya menjadi si adik kecil itu. Kehilangan indra penglihatan di usia sedini ini. Bagaimana rasanya menjadi dia? Adik kecil yang malang. Bagaimana ia bisa mengenal arti sebuah warna? Apa itu hijaunya rumput? Apa itu putih awan? Apa itu indah biru langit? Apa itu merah darah? Apa itu jingga di langit sore?
Gue gak sanggup jika seumur hidup gue hanya mengenal kegelapan, merasa sendirian tanpa arah. Kesedihan yang gue rasakan juga gak sebanding dengan kesedihan yang dirasakan guru gue dan keluarganya.
Gue dan temen-temen gue gak bisa melakukan apa-apa. Tetapi kami semua yakin, tangan Tuhan pasti bisa melawat, memberi mujizat bagi adik kecil kami. Ratusan pucuk "surat" telah kami kirim pada Tuhan, kami yakin Ia telah membaca "surat-surat" kami. Dua hari lagi, bukan waktu yang lama, tetapi tidak ada yang mustahil dengan bantuan tangan Tuhan. Apapun yang Tuhan akan kerjakan, itulah yang terbaik bagi ma'am dan keluarganya.
Mendengar kisah adik kecil, gue jadi teringat film Indonesia yang baru gue tonton, Surat Kecil Untuk Tuhan. Sedikit ulasan, film ini terinpirasi dari kisah nyata seorang gadis bernama Gitta yang menderita kanker ganas pada jaringan otot lunak wajahnya. Luar biasanya dalam penderitaannya ia tidak pernah menyerah, ia selalu berjuang bahkan bisa menjadi yang terbaik di antara teman-temannya. "Aku ingin menjadi bintang Sirius, yang selalu bersinar paling terang", kira-kira begitulah kutipan yang gue dapet dari dialog film itu. Tetapi sayang, karena bintang Sirius menghabiskan energinya untuk terus bersinar terang, maka umurnya tidaklah panjang.
Gue melihat pada diri gue.
Kalian lihat diri kalian.
Sempurnakah?
Tentu saja
TIDAK
Karena Sempurna adalah Tuhan.
Tanpa cacat dan cela.
Begitulah yang gue ucapkan pada diri gue di depan cermin.
TETAPI
Kondisi hidup gue
Dapat didefinisikan sabagai "kesempurnaan". Walau pun terkadang gue gak puas dengan kondisi fisik gue yang bertubuh kecil mungil, tetapi inilah "kesempurnaan" bagi gue; gue sehat selalu, gue gak mengidap penyakit keras yang bisa merenggut hidup gue, gue masih bisa hidup dalam standar normal hidup manusia, kehidupan gue tercukupi dan berbagai "kesempurnaan" lainnya.
Tetapi sayang, terkadang kita yang merasa sempurna dan memiliki "kesempurnaan" selalu lupa diri; kita lupa diri karena terlalu menikmati hidup dalam zona nyaman, saat menghadapi sedikit kesulitan saja, mulai lah rentetan keluh kita lantunkan, mulai bersungut-sungut, mulai malas-malasan, jadi "pelajar/pekerja kreditan" yang selalu menunda mengerjakan tugas. Nanti, nanti dan nanti. Selalu nanti. Atau... "Entar dulu deh". Padahal kita cukup tahu kalau masa depan itu dimulai dari sekarang, bukan nanti. Tetapi kita lupa atau mungkin mulai jenuh dengan pernyataan itu. Gue mengibaratkan masa depan itu sebuah bangunan besar yang ditopang ribuan pilar. Sadar atau tidak, saat kita mulai menunda melakukan sesuatu sekecil apapun itu berarti kita telah melucuti satu persatu pilar masa depan kita.
Semua keputusan ada di tangan kita, apa kita akan terus melucuti pilar-pilar masa depan kita, atau menyusun lebih banyak pilar lagi? Terserah padamu kawan.
Nama lain pilar masa depan yang sering kita abaikan adalah kesempatan.
Kesempatan itu berlian bukan sekedar emas, bahkan bagi gue harganya lebih mahal dari berlian. Sekecil apapun kalian memandang kesempatan, jangan pernah disia-siakan. Terkadang kita gak menyadari bahwa dalam kesempatan itu, kita sedang ditahbiskan, diberi suatu kehormatan, diberi ilmu baru; bukan sekedar ilmu yang akan berakhir pada kertas ijazah, tetapi ilmu yang belum tentu semua orang bisa miliki.
Dan ingat kawan, jangan memandang rendah diri kalian, kalian gak perlu merasa rendah diri di depan manusia yang menurut kalian lebih hebat. Kita semua setara, hanya jumlah pilar kita yang berbeda. :)
Jadi, kalau ingin masa depan kalian lebih terjamin, kalian harus ingat nama-nama pilar masa depan ini:
Iman, Semangat dan Kesempatan.
Listen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment